Nama panjangnya agak asing di telinga kita orang Indonesia: Eni Fa'aua'a Hunkin Faleomavaega. Tetapi nama itu akrab di telinga banyak orang Papua. Sebab, Eni Faleomavaega sudah seperti penyambung lidah bagi aspirasi mereka. Semasa hidupnya, politisi Amerika Serikat ini gigih menyerukan keadilan bagi rakyat Papua.
Selama 13 periode sebagai anggota kongres AS yang mewakili Samoa (1989-2015), ia menggunakan seluruh wewenang maupun jejaringnya untuk mengartikulasikan perlunya resolusi damai bagi penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Dia percaya operasi militer di Papua telah menyebabkan terjadi genosida dalam gerak lambat, walaupun pemerintah AS melarangnya menggunakan kata itu.
Veteran perang Vietnam yang lahir di desa Vailoatai, American Samoa, 15 Agustus 1943, bertahun-tahun tanpa lelah menginisiasi berbagai resolusi untuk meminta perhatian negaranya dan dunia atas pelanggaran HAM Papua. Ia tidak selalu konfrontatif. Acap kali ia juga menjalin kerja sama dengan pemerintah AS maupun pemerintah Indonesia untuk mencari jalan keluar dari konflik yang berkepanjangan di pulau paling timur Indonesia itu.
Salah satu upayanya mengangkat permasalahan Papua di AS adalah ketika pada tahun 2010—dalam kapasitasnya sebagai Ketua Sub Komite Asia Pasifik dan Lingkungan Global di Komite Urusan Luar Negeri Kongres AS—ia menginisiasi forum dengar pendapat (hearing) tentang pelanggaran HAM di Papua.
Dengar pendapat tersebut diadakan pada 22 September 2010 di Room 2172, Rayburn House Office Building, Washington. Selain dihadiri anggota Kongres, ia juga mengundang delegasi dari Papua untuk tampil memperagakan tarian budaya Papua.
"Sepengetahuan saya, dengar pendapat hari ini merupakan dengar pendapat bersejarah. Untuk pertama kalinya dengar pendapat seperti ini diadakan di Kongres AS yang memberikan kesempatan kepada orang Papua untuk bersuara," katanya tatkala membuka dengar pendapat itu.
Apa saja yang dibicarakan dalam dengar pendapat tersebut tidak dibahas dalam tulisan ini. Namun, dokumentasinya cukup lengkap di situs resmi House of Representative AS. (Bagi yang ingin mengetahuinya lebih rinci dapat mengunjungi http://www.foreignaffairs.house.gov/). Dalam tulisan ini, yang ingin digarisbawahi adalah pengantar yang disampaikan Eni Faleomavaega, tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Judul dengar pendapat ini sendiri sebetulnya sudah cukup provokatif: Crimes Against Humanity: When Will Indonesia's Military be Held Accountable for Deliberate and Systematic Abuses in West Papua?. Judul itu dengan tegas menunjukkan warna sikap Faleomavaega, bahwa militer merupakan bagian dari masalah di Papua.
"Sejak tahun 1969, menurut pendapat saya, orang-orang Papua telah secara sengaja dan sistematis mengalami genosida gerak lambat, oleh pasukan militer Indonesia," kata dia.
Ia menyadari bahwa Indonesia tidak setuju dengan istilah itu. Ia juga tahu bahwa Indonesia menganggap persoalan Papua sebagai masalah dalam negeri yang diperkuat oleh sikap Departemen Luar Negeri AS yang mengakui dan menghormati integritas wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Namun, Faleomavaega tidak sependapat. Anggota jemaat aktif The Church of Jesus Christ of Latter-days Saints ini menilai pelanggaran HAM di Papua dan tuntutan hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua bukan hanya masalah internal pemerintah Indonesia. Lebih tepatnya, menurut dia, masalah Papua bukan soal integritas teritorial. Letak soalnya ada pada sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia, yang menurut dia, bermasalah.
Genosida Gerak Lambat?
Di mata Faleomavaega, status Papua sebetulnya sama dengan Timor Timur. Paling tidak bila ditilik dari pengalaman keduanya pernah dijajah. Tetapi hasil akhirnya berbeda. Timor Timur kemudian merdeka; sedangkan Papua, menurut Faleomavaega, "dipaksa" menjadi bagian dari Indonesia.
"Papua adalah bekas koloni Belanda selama bertahun-tahun, sama seperti Timur Timor adalah bekas koloni Portugis, seperti halnya Indonesia bekas koloni Belanda," kata Faleomavaega. Timor Timur mencapai kemerdekaannya dari Indonesia tahun 2002 melalui referendum yang disetujui oleh PBB, sedangkan Papua mengalami perjalanan rumit yang berujung pada integrasi dengan Indonesia.
Di mata Faleomavaega, AS berperan menekan Belanda pada tahun 1962 untuk menyerahkan kendali atas Papua kepada PBB. Di bawah kesepakatan yang dimediasi AS (Perjanjian New York), Indonesia berjanji memberi kesempatan kepada orang Papua untuk menentukan nasib sendiri.
Janji ini dalam hemat Faleomavaega (seperti juga telah diungkap oleh sejumlah ahli sejarah) tidak ditunaikan secara benar oleh Indonesia. Faleomavaega termasuk yang menganggap Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 merupakan sejarah kelam bagi Papua dan Indonesia.
Mengapa kelam? Karena menurut Faleomavaega, Indonesia menetapkan 1.025 orang dewasa Papua, "di bawah pengawasan militer yang ketat, dipilih untuk memilih atas nama sekitar 800.000 orang Papua mengenai status politik wilayah itu. Kendati terjadi pelanggaran serius terhadap piagam PBB dan tidak ada referendum berbasis luas, Papua dipaksa menjadi bagian dari Indonesia di bawah laras senjata."
Faleomavaega melihat AS ikut bertanggung jawab atas terjadinya hal itu. "Dokumen rahasia yang dirilis pada bulan Juli 2004 menunjukkan bahwa Amerika Serikat mendukung pengambilalihan Papua oleh Indonesia yang mengarah ke Act of Free Choice 1969, meskipun dipahami bahwa langkah semacam itu kemungkinan tidak populer bagi orang Papua," kata dia.
"Dokumen-dokumen laporan menunjukkan bahwa PBB memperkirakan antara 85 dan 90 persen orang Papua menentang pemerintahan Indonesia dan, akibatnya, orang Indonesia tidak akan mampu memenangkan referendum terbuka...."
Apa yang menyebabkan AS bergeming dengan fakta itu adalah karena memerlukan dukungan Indonesia pada periode Perang Dingin ketika itu. AS khawatir Indonesia akan berpaling ke Rusia. Oleh karena itu, AS seakan tutup mata terhadap nasib orang Papua.
"Secara blak-blakan, dengan imbalan sikap anti-Komunis Suharto, Amerika Serikat mengorbankan harapan, impian, dan kehidupan sekitar 100.000 orang Papua yang meninggal akibat pemerintahan militer Indonesia," kata dia.
"Meskipun ada tentangan terhadap perkiraaan (angka) ini, itu adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa Indonesia telah secara sengaja dan sistematis melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan belum diadakan pertanggungjawabannya," lanjutnya.
Faleomavaega menduga ada indikasi kuat Indonesia telah melakukan genosida terhadap orang Papua. Karena itu pula, awalnya ia ingin mencantumkan kata genosida pada judul dengar pendapat hari itu, daripada menggunakan kata-kata 'Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity).' Namun, rupanya Departemen Luar Negeri AS tidak setuju ia memakai kata tersebut. Ia diminta menghilangkan kata 'genosida'.
"Saya kecewa bahwa Departemen Luar Negeri AS meminta agar saya menghilangkan kata 'genosida' pada judul dengar pendapat ini. Departemen Luar Negeri meminta perubahan judul berdasarkan pernyataan bahwa kata genosida adalah istilah hukum," kata Faleomavaega.
Padahal, ia menambahkan, kejahatan genosida yang dicantumkan dalam Pasal 2 Konvensi PBB tahun 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman atas Kejahatan Genosida 1948 terjadi di Papua.
"Definisi genosida di bawah hukum internasional tersebut, menurut saya, secara akurat menggambarkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Indonesia, terlepas dari Departemen Luar Negeri AS setuju atau tidak," kata Faleomavaega.
Hanya Diizinkan Dua Jam di Papua
Pada kesempatan dengar pendapat itu pula, Faleomavaega berkisah tentang pengalaman pahitnya tatkala mengunjungi Indonesia. Pada tahun 2007, dengan berpegang pada janji pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ia bersama rombongan anggota kongres AS terbang ke Indonesia.
SBY dan JK kala itu berjanji akan memberi waktu lima hari untuk Faloemavaega berada di Papua, khususnya ke Biak, Manokwari, dan Jayapura. Tujuan kunjungannya adalah untuk melihat dan mendukung penerapan otonomi khusus di Papua yang sudah disetujui pemerintah sejak tahun 2001.
Namun, sementara dia dalam perjalanan ke Jakarta, Pemerintah Indonesia memberi kabar bahwa dirinya hanya akan memiliki waktu 3 hari di Indonesia. Ketika ia dan rombongan benar-benar telah menginjakkan kaki di Indonesia, ia diberitahu lagi bahwa mereka hanya punya waktu satu hari saja di Papua dan tidak diizinkan untuk mengunjungi Jayapura.
Lebih kacau lagi, setiba di Biak, ia dikabari bahwa ia dan rombongan hanya punya kesempatan dua jam. Selanjutnya, di Manokwari hanya diberi waktu 10 menit.
"Di Biak, saya bertemu dengan Gubernur Suebu dan para pemimpin adat, agama, dan pemimpin daerah yang dipilih oleh pemerintah. Tokoh Papua lainnya, seperti Tom Beanal dan Willie Mandowen, dihambat oleh militer sebelum staf saya menengahinya. Duta Besar AS Cameron Hume dan saya juga harus melewati barikade militer karena pasukan militer Indonesia telah menghalangi orang Papua untuk bertemu delegasi kami."
"Sepuluh menit kemudian, saya dibawa ke pesawat TNI dengan peralatan anti-huru hara penuh, secara paksa, membuat orang Papua tidak dapat berdialog yang berarti dengan delegasi kami. (Faleomavaega, memiliki video rekamannya)
Setelah pengalaman pahit ini dan setelah kembali ke Washington, Faleomavaega menulis surat kepada Presiden SBY, mengungkapkan kekecewaannya. "Tetapi Jakarta tidak pernah menanggapi surat saya 3 tahun yang lalu itu," kata dia.
Setahun kemudian, ia dan Don Payne mengirim surat lagi kepada Presiden SBY yang menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang penyalahgunaan kekuatan militer Indonesia. "Sekali lagi, Jakarta tidak pernah mau repot-repot membalas surat kami."
Ia juga bersama Payne menulis surat kepada Menteri Pertahanan AS Robert Gates dan melampirkan salinan surat yang telah dikirim kepada Presiden SBY.
"Terlepas dari keprihatinan serius yang kami ajukan tentang kegagalan Indonesia memenuhi janji-janjinya untuk memungkinkan akses Anggota Kongres ke Jayapura dan permintaan mereka untuk membatasi pendanaan untuk melatih pasukan militer Indonesia, jawaban Gates yang kami terima sebulan kemudian adalah 'basi' dan acuh tak acuh, seolah-olah Papua tidak memiliki konsekuensi terhadap agenda nasional kita. Dia menyimpulkan suratnya dengan salah, dengan menyatakan, 'Kinerja TNI tentang hak asasi manusia telah meningkat secara dramatis.'"
Tidak Kenal Lelah
Eni Faleomavaega meninggal dunia pada 23 Februari 2017. Ia meninggal di rumahnya di Utah, AS, pada usia 73 tahun. Ia meninggalkan seorang istri, lima orang anak, dan 10 cucu.
Intelektual muda Papua dan Anggota Tim Kerja United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk, mengenal Eni Faleomavaega sebagai sosok yang tidak kenal lelah menjadi penyambung lidah rakyat Papua.
"Saya dan Octo Mote (ketika itu Sekjen ULMWP) bertemu dia di kantornya. Dia bilang, 'Markus, saya sudah tujuh kali operasi jantung tetapi saya masih kuat. Saya akan bicara dan berjuang kuat supaya Papua bisa mendapat hak kedaulatannya. Papua selalu membuat saya kuat sekalipun dalam tubuh saya ini tidak kuat sebagai manusia,'" Markus bercerita.
Menurut Markus, dulu leluhur Faleomavaega-lah yang bekerja membawa Injil ke Papua. "Jasad dan tulang-belulang mereka disemayamkan di Papua. Saya dan rakyat Samoa Amerika punya kewajiban moral untuk membela hak politik bangsa Papua," kata dia.
Ed McWilliams, mantan pegawai Kementerian Luar Negeri AS yang cukup dekat dengan Faleomavaege, mengatakan jenazah leluhurnya ada yang dimakamkan di Papua. Itulah alasannya mengapa ia secara pribadi ikut merasa bertanggung jawab atas nasib rakyat Papua, di samping penghormatannya terhadap perjuangan rakyat Papua.
Pengacara HAM di Papua, Matius Murib, juga mengenang Faleomavaega sebagai pejuang bagi rakyat Papua. "Dia melihat ada sesuatu yang salah atas status Bangsa Papua, maka beliau memperjuangkan hak-hak Bangsa Papua di Kongres AS. Saya secara pribadi sangat mengapresiasi perjuangannya," kata Matius Murib.
Referensi