Sebut saja Lidia (bukan nama sebenarnya) merantau ke Balikpapan mendapatkan jodoh dan dikaruniai seorang anak perempuan yang lucu. Lidia sebagai orang perantauan yang polos, percaya pada pasangannya tidak pernah mempertanyakan latar belakang suaminya. Setelah enam (6) tahun pernikahan dan dikaruniai seorang anak kecil berumur 4 tahun, Lidia tidak membayangkan kehidupannya.
Bermula dari suami yang sakit kemudian meninggal, Lidia menganggapnya sebagai kelumrahan, termasuk setahun kemudian anak semata wayangnya menyusul bapaknya kembali ke Tuhan. Lidia sebagai orang yang hanyalah lulusan SMP tidak begitu paham tentang permasalahan HIV-AIDS, apa yang dialami oleh suami dan anaknya adalah hal biasa dalam hidup. Bahkan ketika dirinya sakit tetap dianggap biasa, baginya semua digariskan oleh Tuhan.
Ketika perkenalan yang tidak disengaja melalui temannya, Lidia berkenalan dengan seorang aktivis HIV di Balikpapan. Mendengar alur cerita nasibnya, aktivis HIV yang memahami permasalahan HIV secara detail mencoba melalukan pendekatan secara hati-hati pada Lidia untuk menganjurkan melakukan tes HIV. Secara singkat dari reaksi menolak sampai akhirnya menerima tes setelah dilakukan konseling, Lidia dinyatakan positif terinfeksi HIV.
Ketika Lidia mengetahui dirinya positif langsung stres, kalut, ketakutan-ketakutan terhadap dirinya sampai berencana melakukan jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya. Aktivis yang sangat memahami orang yang terinfeksi baru selalu mengalami pergulatan batin yang sangat besar, mencoba membangun empati, sabar dan intensif menemani Lidia.
Tulisan ini tidak hendak menggambarkan kecemasan, kekalutan dan keputusasaan Lidia yang akhirnya bisa menerima statusnya sebagai orang yang terinfeksi HIV, menemukan semangat hidup kembali dan aktif terlibat di program HIV setelah dilakukan pendampingan secara intensif. Butuh tulisan tersendiri untuk proses-proses pendampingan terhadap korban.
Potret Lidia tidak hanya ditemukan di Balikpapan saja tetapi juga di kota-kota lain. Banyak orang seperti Lidia-Lidia lain mengalami permasalahan yang sama, menjadi korban ketidaktahuan serta stigma dan diskriminasi. Laporan pemerintah melalui Ditjen P2 & PL dari tanggal 1 April 1987-31 Maret 2016 tercatat 191.073 orang terinfeksi HIV dan 77.940 orang AIDS.
Dari data baru dalam triwulan pertama mulai 1 Januari s/d 31 Maret 2016 tercatat 32.711 orang terinfeksi baru. Bila disederhanakan, artinya sama dengan setiap hari tercatat 90 orang terinfeksi HIV baru. Tentu ini sangat mengkhawatirkan dan bahaya jika tidak ditanggulangi, apalagi dengan fenomena gunung es di mana yang terlihat hanya ujungnya saja.
Diperlukan sinergi lintas sektoral, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam menanggulangi HIV yang berkembang masif.
Pewabahan HIV-AIDS adalah persoalan perilaku seseorang yang berhubungan dengan ”kesehatan” berdampak pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Karenanya cara mencegahnya perlu mengubah dari perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku hidup sehat, bukan pada identitas maupun status seseorang, juga bukan sekadar permasalahan moral.
Lidia adalah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV melalui suaminya yang baru diketahui riwayat hidupnya sebagai pengguna Napza setelah meninggal. Begitu juga anak-anak yang divonis HIV mereka dapatkan dari orang tuanya yang terinfeksi. Anak-anak adalah lembaran kertas putih, tidak ada tinta noda dari perbuatannya tetapi menerima akibat yang ditanggungnya seumur hidup.
Bila pewabahan HIV ditempatkan pada permasalahan sesuai dengan masalahnya akan lebih bisa diatasi dengan baik, namun sikap stigma dan diskriminasi yang dilakukan sebagian masyarakat telah mengacaukan semuanya, ikut andil memperluas, meningkatnya pewabahan HIV. Pandangan sebagian masyarakat yang menganggap HIV sebagai persoalan moral, mendorong orang untuk menstigma telah menyebabkan orang yang menderita semakin menderita.
Stigma dan diskriminasi membuat orang tidak mau melakukan tes, tidak berani terbuka, diam menutup rapat-rapat permasalannya karena takut diusir, diasingkan. Meskipun pada akhirnya ketahuan juga tetapi keterlambatan menyebabkan penderitaan bagi dirinya, orang yang tertular dan keluarga yang ditinggalkan.
Stigma dan diskriminasi itulah penyakit yang sebenarnya, yang menyebabkan penderitaa-penderitaan lain melebihi virus yang bersemayam dalam tubuh karena dapat mempercepat orang HIV menjadi fase AIDS. Mereka yang terbuka, menerima dirinya terinfeksi secara legowo, mengubah pola hidup sehat, tidak stres, melakukan aktivitas-aktivitas sebagaimana pada umumnya, olahraga, main musik, berkesenian telah membuatnya segar bugar seperti kita.
Banyak teman yang tetap sehat dan berstatus HIV meskipun sudah 20 tahun lebih ketika dirinya dinyatakan HIV.
Anggapan HIV sebagai penyakitnya pekerja seks, waria, gay dan para lelaki yang suka jajan seksualitas adalah keliru. Menurut laporan Depkes secara kumulatif mulai tahun 1987 sampai dengan September 2014, ibu rumah tangga yang terinfeksi mencapai 6.539 kasus, kemudian kelompok wiraswasta sebanyak 6.203 kasus, kelompok tenaga profesional/karyawan sebanyak 5.638 kasus.
Sedangkan kelompok pekerja seks (PS) yang mengidap AIDS ternyata jumlahnya lebih sedikit yaitu 2.052 kasus. Data ini menunjukkan bahwa setiap orang berisiko tertular HIV, tidak mengenal jenis usia dan latar belakang seseorang. Data ini juga menjelaskan bahwa HIV bulan persoalan moral semata.
Misalnya, kenapa negara yang terdampak dari pewabahan HIV paling besar ada di wilayah Afrika, sekitar gurun Sahara tidak di negara-negara yang gaya hidupnya dianggap liberal. Kenapa di Indonesia secara prevalensi yang tertinggi Papua, tidak di tempat-tempat yang gaya hidupnya dianggap lebih liberal. Kenapa?
Di negara atau kota yang ekonominya terbelakang pendidikannya rendah, SDM-nya rendah sangat berpengaruh pada tarap kesehatannya. Pendidikan yang rendah akan memengaruhi upaya-upaya untuk mengatasi masalah kesehatan karena berhubungan dengan pola pikir.
Orang Barat (bule) lebih takut pada orang terkena batuk, daripada orang yang terinfeksi HIV, berbeda dengan orang kita yang lebih takut pada orang yang terinfeksi daripada mereka yang terkena batuk. Ketidakmengertian sebab-sebab kesehatan akan menyebabkan tindakan stigma dan diskriminasi. Di masyarakat yang miskin, pendidikan rendah, mitos menjadi lahan yang subur untuk menumbuhkan sikap stigma dan diskriminasi.
Itulah sebabnya kenapa yang terpapar terbanyak berada di Afrika dan di Indonesia Papua. Gambaran Ini menjelaskan bawah persoalan HIV bukan karena persoalan identitas sebagai orang Papua, Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau status kerjanya. Mitos semacam itu harus dihentikan, sebab HIV adalah masalah perilaku sehat dan faktor-faktor yang mendukung terjadinya penularan seperti pendidikan rendah dan kemiskinan.
Dalam memutus mata rantai penyebaran HIV, prasyarat utama selain mengubah perilaku lama tidak sehat menjadi perilaku baru pola hidup yang sehat, yang tidak kalah penting dari itu adalah melawan stigma dan diskriminasi. Melawan stigma dan diskriminasi adalah persoalan yang serius untuk dikerjakan. Semua pelaku yang bergerak di pencegahan HIV harus mennyinergikan diri upaya-upaya nyata melawan stigma dan diskriminasi.
Permulaan baik untuk melawan stigma dan diskrimiansi telah dilakukan oleh aktivis HIV dalam menyambut Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2016. Aktivis ini berswafoto diri mengangkat tangan di mana di telapak tangannya tertulis, ”Saya Berani,” mengajak 5 (lima) orang untuk menerima tantangan melawan stigma dan diskriminasi, bersedia tes HIV dan upaya-upaya lain dalam melakukan pencegahan HIV.
Pelan tapi pasti, yang lainnya menyambut, mengikat sambung-menyambung, dengan cepat membesar menjadi simbol perlawanan terhadap stigma dan diskriminasi. Inisiasi-inisasi yang keratif ini perlu disambut, baik dalam bentuk gagasan sampai ke praktik untuk membangun gerakan melawan stigma dan diskriminasi.
Tangan diangkat tertulis ”Saya Berani” telah menyebar berarak menjadi gerakan media sosial yang masif. Melalui media sosial, gerakan melawan stigma dan diskriminasi yang cepat murah sudah berjalan, menggugah kesadaran kelas menengah melalui media bisa menghasilkan praktik ajakan ke teman, saudara, tetangga dan masyarakat untuk berhenti menstigma dan mendiskrimiansi orang yang terinfeksi HIV.
Satu pijakan membangun kesadaran untuk setop stigma dan diskriminasi sudah berjalan. Maka kerja-kerja di lapangan ketemu masyarakat, mengorganisir, mengadvokasi juga dijalankan beriringan saling melengkapi untuk melawan stigma dan diskriminasi sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran HIV.
Pekerjaan besar itu tidak langsung selesai dalam waktu yang singkat seperti kisah Roro Jonggrang tetapi dimulai dari yang kecil membesar. Mulai dari yang muda dilaksanakan tetapi perlu keberanian untuk bersikap, berswafoto dan menantang 5 teman untuk ikut gerakan para pemberani! Ini tanganku, mana tanganmu melawan stigma dan diskriminasi, memutus mata rantai penyebaran HIV?
Untuk mereka yang terlibat upaya-upaya memutus mata rantai penyebaran HIV, yang akan menyongsong Hari AIDS Dunia pada tanggal 1 Desember 2016, apakah Anda berani?