Menjelang petang ini, ingin kuhitung gerimis dalam getar petir. Mustahil terhitung, memang. Dan, lebih tak terhitung lagi jarum yang kautusukkan perlahan ke hatiku. Pun air jeruk yang sengaja kaubasuhkan ke batinku.

Perih. Sakit. Bernanah!

Baru saja semua itu berangsur sembuh mengering, lalu kauhadir kembali ke hidupku. Belum puas juga rupanya, Bambank?

Terlalu baja mukamu itu. Tidak ingatkah saat berjanji ingin menemuiku, lalu kau tak juga datang? Kau malah menemui perempuan lain?

Oh iya, bukan dia yang perempuan lain. Akulah si perempuan lain itu. Oh, naifnya aku!

Ini bukan kali pertama kau membunuh hatiku. Sudah ribuan kali dalam ribuan purnama pula. Tenang saja! Bukan aku menangisi kekalahanku atas kemenangan perempuanmu itu.

Apalah artinya menjadi "orang kedua". Setelah pernah menjadi "orang pertama" yang juga tidak utama. Ah ...

Aku yang terlalu bersembunyi di balik "sayang". Aku yang terlalu bodoh dan mudah dibodohi. Seperti argumentasimu yang selalu menyalahkan, menyudutkan, dan menghabiskanku perlahan. Iya, kan?

Ah, kisah kasih sering kusut begini. Tulisan ini bukan ungkapan kesedihan sebab kekalahanku. Ketika kulihat senyum perempuanmu itu, maka keputusannya adalah menutup rapat buku tentang kita.

Tak dinyana, betapa bahagia air mukanya bersanding di sampingmu! Kurang apa lagi sehingga kau masih datang padaku (lagi)?

Kau sangat beruntung, tapi tak tahu diuntung! Mungkin itu sebabnya Tuhan memisahkan aku denganmu. Karena Dia tahu, aku orang berhati lembut dan tak pantas untuk terus ditusuki jarum olehmu.

Kenapa tak sekalian pisau saja? Biar sakitnya besar tapi cukup sekali. Daripada sakit menjarum nan keseringan begini.

Aku tidak akan pernah lupa kala malam-malamku penuh letupan darah di kepala. Sebab apalagi kalau bukan perang argumentasi kita.

"Salahmu membuatku cemburu!" Sergahmu angkuh.

Semua salahku, ya itu yang kau ulang-ulang sampai Januari kembali ke Januari lagi.

Kau berdalih "takut kehilangan". Aku yang tak bisa duduk diam. Kau pun tetap pada pemikiranmu, apalagi aku. Ya, sederhananya kita memang beda tujuan. Itu saja.

Hubungan seperti itu mau dibawa ke pernikahan (inginmu)? Ah, selera candamu terlalu berkelas, Bambank!

Harusnya kau pandai membaca situasi dan menilai seseorang. Bukan terlalu mengedepankan egomu begitu. Kau wajib belajar lagi setelah ini (oke?).

Kau tahu aku bukan spesies "anak rumahan" nan manis. Aku punya banyak teman berlain gender. Kau sungguh kebakaran jenggot dengan keadaan ini, sedangkan aku tak peduli masalah gender. Akhirnya apa, kau malah benar-benar terbakar, bukan?

Jika saja bisa, aku mengira kau akan merantai kakiku di rumah. Sayang sekali, Bambank, aku ingin menikmati dunia ini sesuka hatiku. Aku ingin menjelajah ke mana saja hingga aku lelah melangkah.

Dulu, hubungan kita tak lebih sekadar memikirkan hatimu. Iya, hatimu! Sedangkan hatiku mungkin telah jadi abu. Kau pikir aku tak ubahnya dengan boneka dan kau bisa terus memainkan remote control-nya.

Sudah kubilang, aku bisa pergi ke mana-mana dan tak takut apa-apa. Tapi kau tak pernah percaya. Tentu saja, termasuk pergi meninggalkanmu!

Kepada perempuan di sampingmu yang renyah senyumnya itu, alangkah bahagia aku melihat dia. Yang terlihat penuh asa ketika duduk di sampingmu. Aku bahkan dapat membaca bahwa dia menyemogakan seperti itu selamanya. (Perih). Sementara kau, masih saja berharap si perempuan itu adalah aku.

Tak usah berbohong. Aku tak mudah kau bohongi seperti yang usai-usai. Sudahlah!

Satu yang tidak akan mungkin kau dapati: dia berubah menjadi aku! Kau tahu, jika aku berniat jahat padamu, maka mudah saja kupermainkan hatimu. Tapi, kelas kita berbeda. Aku tak mungkin serakah dan menyimpan dua orang dalam satu hati.

Kepada perempuanmu itu: jika saja aku mau, maka mudah mendapatkan laki-lakimu, Dik! Tapi, melihat senyummu secerah mentari pagi, rasanya tidak mungkin kulakukan itu. Sebab pula, kita sama-sama perempuan. Aku pernah merasakan laki-lakiku diambil perempuan lain. Karenanya, aku tak akan pernah melakukan itu pada siapa pun. Apalagi kepadamu, yang entah mengapa aku pun menyayangimu.

Aku teramat menyayangkanmu, Dik. Lembutnya senyummu, pasti selembut hatimu. Mungkin juga kau sama sepertiku dan alasan itu yang membuatnya memilihmu. Karena melihatmu laksana melihatku.

Benar sekali, dia lebih kejam dari cairan jeruk terhadap luka.

Jika pun pradugaku adalah benar, maka aku pasti mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kau dicintai dengan tulus atau mendapatkan yang mencintaimu dengan tulus.

Yang pasti, cerita lama sudah kuusaikan. Demi apa aku kembali? Demi selalu kau sudutkankah?

Mengenyahkan perasaan terhina sebab kebohongan kala itu saja belum berhasil. Yaiyalah, aku sangat terhina karena kau ingin menemuiku dan akhirnya tak datang. Kau bilang baik-baik pun aku bisa mengerti.

Terlalu indah kerlip bintang malam dibiarkan saja hanya untuk meratapi perasaan. Terlalu indah dunia ini untuk memusingkan toxic relationship. Gunting saja dan melangkah lagi ke depan.