Detik demi detik, waktu terus bergerak. Bumi dan seisinya juga mengalami perubahan yang begitu dinamis. Mulai dari anak-anak akan terkaget-kaget bila waktu bermainnya tiba-tiba hilang digantikan masa dewasanya yang begitu membosankan. Guratan cerita setiap masa sering dituliskan sebagai prasasti, bagaimana dunia di masa lalu itu memiliki cerita unik di setiap periode-nya.

Tetapi, itu semua akan hilang begitu saja, bila tak satupun manusia menuliskannya. Gersang dan kaku seperti mesin. Setiap guratan tinta pena hingga moleknya huruf mesin ketik mencoretkan kisah pilu hingga bahagia.

Tidak ada tokoh seperti Palomino Molero terangkat sebagai kisah fiksi dengan kepedihan hidupnya tersayat-sayat mengejar cinta sejatinya, sebagai pembelajaran kita, kala hanyut dalam gelombang duniawi yang begitu menjerumuskan umat manusia.

Tulisan dan sastra memiliki keterkaitan, sehingga tak mudah untuk dipisahkan. Tulisan melahirkan akrobat diksi untuk menggambarkan pengalaman ataupun pengamatan secara empiris sebagai lahan kontemplasi manusia. Bahkan, sastra pun terkadang melampaui kisah-kisah secara faktual mengenai duniawi.

Sastra melampaui kisah hidup manusia, dan terkesan begitu imajinatif. Akan tetapi, keberadaannya mampu menembus batas pikir manusia, melalui sebuah kisah imajinatif dan dikaitkan tentang moralitas manusia. Harimau-harimau, gubahan Mohtar Lubis, menawarkan runtutan cerita fiksi dan pentingnya rasionalitas hingga moral manusia dalam melakoni hidup.

Teknologi dan informasi mengalami perkembangan. Manusia diayomi dari beberapa produk untuk kepentingan hidup mereka. Membaca atau menulis jauh dari kegiatan rutin untuk dilakukan sehari-hari. Hidup mereka untuk menjadi budak dari akal mereka yaitu teknologi. Kala memikirkan mengenai eksistensialisme, manusia tak lagi eksis sebagai diri mereka, melainkan di setir oleh teknologi itu sendiri.

Menyinggung mengenai eksistensialisme, Jean Paul Sartre pernah menyinggung perihal kata-kata hingga sastra. Menurutnya, kata-kata adalah aksi untuk membangun manusia menuju pilihan-pilihan lebih baik dan mengubah sejarah. Mengenai kata-kata manusia bisa mempengaruhi melalui entitas sejarah yang telah ia pandang sebagai internalisasi menuju sebuah sikap.

Bila kita tilik kembali, kecelakaan kemanusiaan pada tahun 1965 pernah terjadi. Kisah kengeriannya menyentil peneliti sampai pejuang hak asasi manusia agar ikut campur mengamati lamat-lamat masalah itu. Bahkan agar kita tahu bagaimana dinamika sosial dan politik terjadi pada era 1965, Mocthtar Prabotinggi, “Burung-Burung Cakrawala,” menyinggung sedikit kengerian kisah kecelakaan kemanusiaan, di tengah kisah hidupnya sebagai akademisi.

Hersri Setyawan dengan Memoar Pulau Buru–nya, sebagai tokoh utama ia mencatat dengan begitu jujur, sehingga kita terbawa pada situasi kelam sehingga dapat membaca manusia pada waktu itu dibius oleh konsep berpikir secara generalisir sehingga pertumpahan darah pun halal dilakoni.

Peringatan 

Mario Vargas Llosa pernah prihatin bagaimana sastra hari ini disibukkan dengan runtutan cerita ringan. Keberpihakan kaum tertindas, pembacaan persekongkolan geopolitik minim dicoretkan guna memantik semangat kritik dari bagian intelektualitas.

Gubahan nya berjudul “Matinya Seorang Penulis Besar”, menjabarkan secara gamblang, dinamika sastra di Amerika latin minim pembaca. Lesu dan letih karena sastra kurang begitu dihargai, dikarenakan belenggu tirani dan kemiskinan menjangkit mereka.

Gambaran di Amerika Latin memiliki persamaan atas kondisi pada negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia. Manusia Indonesia lebih tertarik dengan singgungan materiil semata. Menghabiskan waktu agar mengulas buku dan sastra jauh dari habitus. Ataukah, memang mereka sudah merasa nyaman dengan dinamika kondisi pada hari ini?

Sastrawan seperti Amarzan Ismail Hamid, hari ini begitu langka dalam guratannya untuk membela kaum tertindas. Amrzan menuliskan cerpen dan puisi berjudul “Boyolali,” menceritakan bagaimana petani direpresif dan ditembak mati atas nama imperialisme pada tahun 1964.

Mengenai perlawanan, Indonesia selalu bergulat demi mendapatkan sebuah kemerdekaan jati diri bangsa, sebagai bangsa merdeka. Onghokham (2009) menyampaikan bahwasanya sejak 1942, Indonesia selalu berada pada vivere pericolso, karena adanya dinamika sosial pelik seperti, inflasi perang saudara, konfrontasi dan singgungan Irian (papua), dsb.

Sastra sebagai pengingat atas dinamika yang sedang diamati. Sastra sebagai pemantik masyarakat Indonesia kini dan nanti dalam menelaah dinamika sosial yang terjadi. Ketika sastra dengan kenetralannya itu dipupuk terlalu lama, benih-benih nalar kritis akan tumpul dan dimenangkan oleh arus utama.

Penting sekali adanya sebuah keberpihakan dalam dunia sastra, untuk mewarnai dan menggambarkan bagaimana seharusnya bersikap atau bisa menjadi sebuah lahan dialektika. Begitu juga mengenai penyampaian Peter Steinfels, mengenai kemapanan semu patut untuk digubris kembali.

Konteks Peter untuk mengamati perihal neo-konservatisme, bagaimana kapitalisme dipahami sebagai pandangan paling final pada skala kontemporer hari ini. Tidak ada jalan lain, selain berjalan pada arus tersebut agar tak naif untuk mengkritik ataupun menentangnya.

Beberapa, acap kali mendidih kala neo-konservatisme ini mulai mengakar membuat tumpul nalar kritis masyarakat. Sastra sebagai pengingat menawarkan antitesa baik dari guratan fiksi ataupun opini masa melalui tulisan untuk ditawarkan di muka umum.

Pernah ketika, Sutan Takdir Alsjahbana membebebarkan mengenai sastra itu harus menancapkan diksi-diksi berkaitan sains, agar manusia Indonesia bisa terbiasa untuk telaah perihal sains bagi kemajuan bangsanya. Sastra mampu menafsirkan melalui akal budi manusia untuk ditawarkan di tengah arus hidup manusia.

Kehidupan manusia begitu riuh dengan pilihan dan tanda untuk menafsirkan makan hidup mereka. Pencerahan dengan akal budi melalui tukar gagasan dalam sebuah Sastra, sebagai bahan bakar laku hidup.

Condorcet mengilhami pencerahan hidup manusia melalui sebuah seni guratan diksi (Baca:Sastra) manusia sebagai promosi pemahaman lebih jauh manusia tentang diri dan dunia, kemajuan moralitas dan keadilan sosial hidup manusia. Maka dari itu, mendorong menulis dari bocah atau menyadarkan kaum tua untuk menulis, sebagai penanda, bahwasanya sastra penting untuk pengingat. Sekian.