Dalam cerpen “2.0”, Dias Novita Wuri mengetengahkan salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni semakin tergantungnya mereka kepada robot. Dalam hal ini, robot tersebut adalah android, yakni robot dalam wujud manusia. Dan karena latar waktu cerpen ini adalah suatu titik di masa depan, android tersebut sudah relatif sangat maju sehingga mereka dalam beberapa hal benar-benar menyerupai manusia.
Ada dua jenis ketergantungan terhadap android yang dikemukakan di cerpen ini. Pertama, ketergantungan yang sifatnya afektif, yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Hojo kepada sesosok android perempuan—kekasihnya. Kedua, ketergantungan yang sifatnya subordinatif, yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Pemilik kepada dua sosok android pelayan yang dimilikinya.
Ketergantungan pertama terasa sangat manusiawi, dan sangat intim. Tuan Hojo memperlakukan androidnya itu seolah-olah ia benar-benar hidup, benar-benar manusia, dan benar-benar membalas kasih sayangnya. Dan menarik sekali bahwa level kecanggihan si android ini tidak cukup baik, sehingga sebenarnya mudah sekali mendeteksi bahwa ia bukanlah manusia—hanya robot. Namun di mata Tuan Hojo, hal ini sama sekali tak mengusiknya. Kasih sayang Tuan Hojo kepada si android begitu tulus. Begitu murni.
Ketergantungan kedua, sementara itu, tidak terasa manusiawi, juga tidak terasa intim. Dan ini kontras sekali dengan level kecanggihan dua android itu, di mana mereka bahkan bisa merasa sedih, prihatin, iba, dan yang semacamnya; selain itu mereka pun bisa difungsikan sebagai partner seks dan bisa meneteskan air mata. Di mata Tuan Pemilik, kedua android ini hanyalah alat. Mereka ada untuk mematuhi perintah-perintahnya. Hanya itu.
Bahwa kemudian sebuah insiden pasca-mati-lampu yang dialami Tuan Hojo dan androidnya mendorong diri-afektif kedua android canggih itu bangkit, yang membuat mereka kemudian bertanya-tanya apakah Tuan Pemilik menyayangi mereka atau tidak, dan akibat larut dalam kesedihannya “jantung” mereka rusak dan mereka pun mati, kiranya menunjukkan bahwa jenis ketergantungan Tuan Pemilik terhadap mereka tidaklah tepat. Sebagai sesosok android yang memiliki diri-afektif, semestinya, ketergantungan pertamalah yang mengikat mereka dengan Tuan Pemilik.
Tidak tepatnya jenis ketergantungan tersebut membawa kita pada persoalan lainnya yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni sulitnya mereka menjalin relasi. Tentu, yang dimaksud di sini adalah relasi yang sifatnya afektif tadi, dan di saat yang sama tepat guna—juga tepat sasaran. Ketika yang ada di hadapan adalah sesuatu yang “hidup”, yang memiliki diri-afektif, relasi yang dibangun justru relasi yang subordinatif. Ketika relasi yang dibangun adalah relasi yang afektif, yang ada di hadapan itu justru sesuatu yang “tak hidup”, yang tak memiliki diri-afektif.
Akibatnya adalah munculnya konflik dan penderitaan. Di kasus Tuan Pemilik, penderitaan itu dialami oleh si android. Di kasus Tuan Hojo, penderitaan itu dialami oleh dirinya sendiri. Seperti tidak benar-benar ada komunikasi di antara kedua belah pihak dalam relasi. Aliran afeksi dalam relasi itu, kalaupun benar ada, sifatnya satu arah.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa sampai seperti itu, apa saja yang menjadi penyebabnya. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan terkait persoalan yang disinggung di awal tadi, yakni tentang ketergantungan masyarakat Jepang kepada robot—android, dalam hal ini. Dan sebagai sebuah karya sastra, cerpen “2.0”, sudah semestinya mencoba menjawabnya.
Persoalan dan Motif di Baliknya
Mencermati kasus Tuan Hojo, bahwa ia kemudian membeli sesosok android jadul untuk ia jadikan kekasihnya agaknya bertolak pada kesepian yang dirasakannya. Tidak diinformasikan apakah ia pernah menikah atau tidak, apakah ia memiliki anak atau tidak. Namun dari apa yang terpapar di cerpen, terasa sekali, Tuan Hojo ini sendirian. Tetapi di sini pun masih belum jelas, apakah ia sendirian dalam arti hidup sendiri atau tinggal bersama orang lain tetapi merasa sendiri.
Di kasus Tuan Pemilik, alasannya sangat praktis. Kedua android canggih itu dibeli untuk menjadi pelayan kafe yang dimilikinya, juga untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sewaktu-waktu. Apakah Tuan Pemilik juga kesepian sebagaimana halnya Tuan Hojo? Mungkin saja, tetapi tentu kesepian yang dirasakannya adalah kesepian yang lain, jenis yang berbeda. Sementara Tuan Hojo memberikan kasih sayangnya yang tulus kepada androidnya, Tuan Pemilik terlihat menghindari itu. Dalam pandangannya, relasi afektif seperti itu adalah sesuatu yang mengganggu.
Di titik ini, perlu agaknya kita memperhatikan umur Tuan Hojo dan Tuan Pemilik.
Tuan Hojo, bisa dibilang, merepresentasikan orang-orang Jepang yang sudah tua dan telah kehilangan banyak hal—waktu, kesempatan, seseorang, mungkin juga uang. Karena itulah ia memiliki dorongan yang jauh lebih kuat untuk menjalin sebuah relasi afektif dengan androidnya, di mana ia menjadi satu-satunya pihak yang mengalirkan kasih sayangnya.
Tuan Pemilik, sementara itu, masih relatif muda, sedang disibukkan oleh narasi hidup yang padat dan cepat, dan agaknya merasa tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang berkenaan dengan perasaan. Dalam hal ini Tuan Pemilik merepresentasikan anak-anak muda Jepang yang terlampau terisap oleh dunia kerja, yang karena itu lambat-laun kehilangan dorongan untuk menjalin relasi afektif dengan manusia lain.
Sejauh ini, selain mengetengahkan dua persoalan tadi, cerpen “2.0” juga menghadirkan, secara implisit, motif-motif yang memungkinkan kedua persoalan tersebut muncul. Namun apakah itu sudah cukup? Menurut saya belum. Pasalnya, pada kenyataannya, realitas kontemporer Jepang jauh lebih rumit dari itu.
Realitas vs “Realitas”
Salah satu hal yang perlu kita soroti adalah tidak adanya informasi terkait lingkungan pribadi Tuan Hojo dan Tuan Pemilik—keluarganya, pekerjaannya, kesehariannya di luar kafe, dll.. Tidak adanya informasi ini menyebabkan kita tidak bisa memastikan orang seperti apa sebenarnya Tuan Hojo dan Tuan Pemilik itu. Kalaupun dari apa yang dihadirkan di cerpen kita memperoleh gambaran soal kepribadian mereka berdua, tetap saja, kita tidak bisa melacak hal-hal apa yang turut andil dalam membentuk mereka menjadi seperti itu. Tuan Hojo, juga Tuan Pemilik, seperti dihadirkan tanpa preseden, tanpa masa lalu.
Hal lainnya yang perlu kita soroti adalah tidak adanya informasi mengenai situasi sosial-ekonomi di kawasan di mana kafe itu berada. Jika informasi tersebut ada, kita bisa mengetahui apakah beroperasinya kafe tersebut di sana adalah sesuatu yang wajar belaka atau tidak, sehingga kita pun menjadi tahu apakah Tuan Hojo dan Tuan Pemilik adalah bagian dari orang-orang yang berada di jalur arus utama atau bukan. Selain itu, dengan adanya informasi tersebut, kita pun bisa menelusuri kedua persoalan tadi lebih jauh, memastikan apa sesungguhnya akar masalahnya, apakah itu masalah sosial-ekonomi atau yang lainnya.
Masih ada kiranya hal-hal lain yang perlu kita soroti dari cerpen “2.0”; detail-detail yang jika saja ada akan sangat membantu kita dalam memahami persoalan yang diketengahkan si cerpen, tentunya secara komprehensif. Sebuah cerpen, bagaimanapun, berasal dari realitas. Dan di dalam dirinya cerpen tersebut menawarkan “realitas”, yakni realitas dengan sejumlah perbedaan—detail-detail itu.
Jika perbedaan tersebut positif, dalam arti ia membantu mengungkapkan apa yang tak terungkapkan di realitas, maka itu baik bagi si cerpen. Dan memang itulah yang kita butuhkan. Sebuah cerpen yang berhasil, adalah sebuah cerpen yang menghadapkan kita kepada realitas, untuk kemudian memahaminya; bukan sekadar menawarkan kepada kita “realitas”, dan menjebak kita pada perspektif yang sempit dan cenderung sederhana.
Mau mengingkarinya segigih apa pun, kita hidup di dalam realitas. Dan ketika kita berhadapan dengan sebuah “realitas” yang ditawarkan cerpen atau karya sastra lainnya, sejatinya, kita berharap setelah itu kita memiliki perspektif yang lebih baik terhadap realitas, yang mestilah membantu kita untuk lebih memahaminya, demi kebaikan kita sendiri.
Cerpen “2.0”, sebenarnya, sudah ada pada jalur tersebut. Hanya saja, ia masih belum cukup jauh membawa kita menyelami persoalan yang diketengahkannya.
Jika kita, misalnya, menyelami persoalan itu lewat teks-teks lain, kita akan mendapati bahwa tiga di antara akar-akar masalahnya, yang memayungi akar-akar masalahnya yang lainnya, adalah kapitalisme, sistem pendidikan, dan budaya kerja yang berorientasi pada ketekunan. Dan cerpen “2.0”, di sepanjang cerita, tak menghadirkan itu.(*)
NB. Cerpen “2.0” termaktub dalam kumpulan cerpen Dias Novita Wuri, Makramé (GPU, 2017). Versi korannya, dengan judul “#2”, bisa dinikmati di sini: https://cerpen2korantempo.wordpress.com/2014/12/07/2/