Teringat di mana waktu kuliah dulu bahwa mahasiswalah pembawa perubahan. Rela mengulik habis segala kebobrokan di negara ini lalu menggorengnya di tengah jalan raya depan kantor wakil rakyat. 

Idealis, kritis, militan, dan rela berkorban. Bersuara selalu membela hak-hak rakyat. Bersatu memperjuangkan para miskin kota. Petani dikuduskan dalam mimbar-mimbar forum diskusi isu politik pemerintah.

Namun, seketika saya dibikin gusar oleh praktik-praktik senioritas para pendahulu yang merasa dirinya yang absolut. Mereka paling nyaring menyuarakan demokrasi tanpa pernah mendengarkan pendapat. 

Senior merupakan hierarki kepemimpinan yang tidak pernah ada dalam struktur organisasi. Mereka hanya perlu bertahan dengan kebodohan ketika hadir dan mengagungkan diri ketika telah lama berdiri.

Pernah suatu ketika saya yang masih berstatus baru dalam organisasi ini mengemban amanah untuk melaksanakan pendidikan bertemakan kepemimpinan. Awal pembicaraan mereka (para senior) mewahyukan kreativitas, inovasi, dan konsep yang relevan dengan tujuan untuk mendapatkan bibit pejuang yang rela mati dalam medan tempur keorganisasian.

Sebagai pemula, saya pun mempelajari serta mencari tahu bagaimana konsep yang lama bekerja. Hingga saya menemukan sesuatu yang sepatutnya tidak ada lagi dalam konsep yang akan saya garap. Dengan penuh pertimbangan, saya beserta tim berdiskusi dan menyepakati konsep baru dan meninggalkan konsep lama yang hanya banyak memfasilitasi ajang unjuk gigi para senior.

Tiba saatnya saya untuk melaporkan perkembangan kepada mereka. Uraian demi uraian telah disampaikan. Tiba-tiba saja mereka geram karena wadah eksistensi mereka pada kegiatan ini tidak lagi ada. Saya dituduh telah melecehkan konsep yang dulu mereka bangun. Alasan saya tidak digubris.

Pada akhirnya saya bersama tim maju tetap kukuh menjalankan konsep terbaru. Dengan alasan legalitas saya sebagai perencana dan penanggung jawab sudah mantap. Dan mereka hanya sebagai bahan konsultasi bukan penentu.

Sebelum pelaksanaan dimulai, intervensi dari mereka makin kuat. Makin kekeuh mereka mengintervensi kebijakan yang saya buat, makin kuat juga saya berdiri untuk mempertahakannya. Saya tantang mereka untuk memberikan alasan yang kuat selain menghormati para senior yang dulu. Namun, semua itu tidak bisa diucapkan. Mati kutu mereka.

Selama kegiatan, banyak para pendahulu yang datang. Seperti biasa, mereka juga terbagi dalam bersikap. Ada yang mendukung, ada pula yang mencoba menyisipkan kegiatan yang mereka inginkan di sela-sela kelengahan para panitia.

Sebenarnya tujuan mereka telah terbaca sejak awal. Kegiatan ini mereka anggap bukanlah tempat membentuk karakter pemimpin yang baru, melainkan hanya sebagai tempat mencari gebetan. 

Bermodal pengalaman kegiatan tahun sebelumnya yang pernah saya ikuti, hampir semua kurikulum yang mereka berikan tidak banyak berpengaruh pada pola pikir saya, melainkan mereka telah menunjukkan kegagalan mereka dalam melaksanakan alias mereka tidak mampu memimpin.

Jauh memang dari ekspektasi yang saya harapkan sebelumnya. Akan tetapi, setidaknya mereka dapat memberikan contoh yang baik sehingga dapat diaplikasikan oleh penerus mereka.

Meskipun ada sisi baiknya, dengan pengalaman seperti itu, saya menjadi bersemangat untuk memperbaiki segala ketidakpantasan yang telah mereka lakukan. Dan berupaya untuk dapat mengambil kendali. Dan akhirnya, setelah konfrontasi antara senioritas para pendahulu dan yang baru telah terlewati.

Kegiatan yang kiranya dapat memberikan pengalaman serta pengetahuan tentang bagaimana karakter pemimpin seharusnya telah terlaksana. Meskipun masih banyak perbenahan, setidaknya ini menjadi pelajaran baru bagi yang lain.

Setahun kemudian, pola pikir dalam keorgansasian ini pun berubah. Para pemimpin mereka yang baru lebih berani mengambil keputusan meskipun intervensi senior selalu datang. Inovasi dan kreativitas pun tumbuh dengan pesatnya.

Semenjak kejadian itu, saya sudah menunjukkan bagaimana menumbangkan senior yang absolut. Agar, para penerus selanjutnya tidak menganggap bahwa titah senior adalah wahyu yang suci. Perintah yang akan menimbulkan dosa besar jika membantahnya. Menyebabkan diri masuk dalam neraka intimidasi mental yang berkepanjangan.

Berbeda halnya jika apa yang ditawarkan oleh para senior yang sederhana. Mereka mendekat sederhana tanpa ada pengaruh jika apa yang mereka katakan tak dilaksanakan. 

Mereka datang dengan pilihan inovasi yang tidak sempat terlaksana. Dan memberikan penuh wewenang keputusan pada yang bertanggung jawab. Mereka sadar bahwa mereka bukan lagi bagian dari sistem. 

Mereka juga menaruh perhatian lebih akan kemajuan dan perubahan yang membawa akan kebaikan. Semua dapat terlihat jelas dari perkataan dan perbuatan yang mereka lakukan. Tinggal kita putuskan dengan menimbang apa tujuan yang ingin kita capai sebagai alat ukur kesesuaian hal yang ditawarkan.

Kalau pembaca lihat, mungkin ini adalah hal yang biasa ditemukan pada suatu organisasi kecil maupun besar. Bahkan organisasi pengaderan mahasiswa, seperti HMI, PMII, IMM, GMNI, dan sejenisnya, pasti terdapat hal yang demikian. 

Kasus seperti ini bukan hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan jalannya laju organisasi. Namun, juga akan membuat mental para mahasiswa melemah. Menjadikan mereka kurang kreatif, takut bertindak, tidak kritis, dan suka dijajah.

Lalu ketika mereka masuk dalam organisasi besar dan berpengaruh seperti sebuah institusi negara, karena mental yang lemah akan intervensi, tidak mampu memegang prinsip-prinsip, goyahlah segala kebijakan mereka dalam setiap kepentingan personal dan kelompok. Apa jadinya bangsa dengan bibit seperti ini?