Tak sulit menebak alasan di balik rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Meski segala hal tak melulu harus dikaitkan ke soal elektoral, tapi pembebasan gembong teroris itu masuk kategorinya, bahkan mungkin melampauinya.

Kebijakan-kebijakan Jokowi selaku Presiden RI memang banyak yang kontroversial. Beberapa di antaranya malah kontraproduktif. Pembubaran ormas HTI adalah satu contoh. Rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, kemungkinan besar, akan menyusul jadi contoh lain.

Kenapa kontroversial dan kontraproduktif?

HTI adalah ormas yang punya cita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah. Pancasila dan NKRI, di mata HTI, bukanlah harga mati. Mereka punya asas dan konsep pemerintahan tersendiri sebagaimana para penganut ideologi-ideologi politik lainnya di luar nasionalisme.

Harga mati Pancasila dan NKRI adalah satu bentuk keyakinan. Tidak ada keharusan bagi warga negara Indonesia untuk mengimaninya. Tapi entah kenapa konsep itu seolah menjadi yang absolut. Hingga yang tak mengakuinya, seperti orang-orang HTI, diharuskan pindah ke planet lain.

Mereka, nasionalis-absolut, menyangka bahwa Indonesia adalah miliknya semata. Mereka tak memperkenankan ada “orang lain” yang hidup di Indonesia. Mereka buta, tak mau menyadari kalau Indonesia milik semua golongan, meski yang memimpin sekarang adalah golongan yang cenderung nasionalis.

Maka kenapa saya sebut pembubaran ormas HTI sangat kontroversial. Sama sekali tak ada kesepakatan bahwa Pancasila dan NKRI adalah harga mati. Tahu-tahu, yang menolak konsep itu, diberangus.

Secara elektoral, kebijakan Jokowi semacam ini jelas kontraproduktif. HTI punya anggota yang diperkirakan mencapai 3 juta orang. Sangat tidak menguntungkan jika yang Jokowi cari adalah dukungan suara.

Tentu mendiskriminasi golongan tertentu adalah bumerang. Meski ini satu keberanian Jokowi yang patut diacungi jempol.

Beralih ke kasus Abu Bakar Ba’asyir. Majalah TIME pernah mencatat, Ba’asyir adalah perencana peledakan di Masjid Istiqlal. Pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia ini dinilai bagian dari jaringan teroris internasional yang beroperasi di Indonesia. Dari pengakuan Umar Al-Faruq, Ba’asyir dinyatakan “terlibat dalam berbagai plot”.

Semua orang juga tahu, Ba’asyir adalah salah satu aktor di balik sejumlah aksi terorisme di Indonesia. Ia terlibat dalam konspirasi serangan bom di Bali tahun 2002. Ia ikut mendanai pelatihan teroris di Aceh hingga dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun pada Juni 2011.

Tapi baru menjalani hukuman selama 9 tahun, rencana kebebasan Ba’asyir malah mencuak. Penjahat kemanusiaan itu akan dibebaskan justru atas nama kemanusiaan itu sendiri. Lagi-lagi kontroversial.

Yang kontraproduktifnya, sama seperti pembubaran HTI, karena rencana kebijakan itu hanya akan menggerus elektabilitas Jokowi selaku calon presiden petahana. Tak sedikit orang jadi marah karenanya. Dan justru kebanyakan di antaranya adalah mereka yang sebenarnya berpotensi dukung Jokowi untuk 1 periode lagi.

Sebagai simpatisan Jokowi, yang lebih baik memilih dirinya daripada harus Prabowo Subianto, saya juga ikut goyah. Kebijakan-kebijakannya yang tak patut, terutama tentang rencana pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, membuat saya harus berpikir seribu kali lagi untuk tetap berada di jalur kesimpatisan.

Bagaimana mungkin saya bersimpati kepada orang yang membebaskan penjahat? Meski diklaim atas nama kemanusiaan, tapi jangan harap bahwa semua orang akan percaya. Jangan pula berharap bahwa Jokowi benar-benar menarik itu sebagai alasan utama dan satu-satunya. Itu omong kosong.

Realitas ini mengantarkan saya pada satu keyakinan: Jokowi hanyalah capres yang oportunis. Ia punya banyak upaya untuk meraih kembali kursi kekuasaan, termasuk dengan menghalalkan segala cara.

Oportunisme memang tak masalah. Hanya saja, dasar yang memantiknya hadir, yakni ketakutan pada gerombolan yang suka marah-marah, inilah yang membuatnya sangat bermasalah. Jokowi tampak takut dengan gerombolan itu, takut dicap pengkriminalisasi umat agama tertentu, apalagi yang mayoritas.

Demikianlah yang saya temukan. Berbagai penjelasan dari para pendukungnya ikut menguatkan bahwa Jokowi penakut. Ia terkesan takut pada gerombolan sebagaimana takutnya penegak hukum yang memproses kasus “penistaan agama”. Desakan dan amukan massa jauh lebih dipertimbangkan daripada kebebasan seorang Ahok atau Meiliana.

Jika sampai kebijakan membebaskan gembong teroris Abu Bakar Ba’asyir benar-benar terwujud, khawatir saya: potensi golput kian menguat; Indonesia Menang, bukan Indonesia Maju, makin dekat. Dan itu FAK!