Sebut saja aku Sang Dewi. Orangtuaku memberikanku sebuah panggilan dari nama seorang Dewi yang bertahta di Olympia, sebuah gunung di Yunani. Tapi sepertinya ayah yang memilihkan nama itu untukku, bukan bunda. "Coba tanya ke Ayah," begitu jawab bunda pada suatu waktu ketika aku bertanya apa arti namaku.
"Nama kamu berasal dari nama Dewi Kebijaksanaan," jawab ayah. Dan jika sebuah nama tak lain dari sebuah doa, mungkin itulah harapan orangtuaku--ayahku, lebih tepatnya--kepadaku, agar aku menjadi orang yang bijaksana.
Aku belum tahu persis apa itu "bijaksana" yang dimaksud ayah. Satu hal yang ku tahu pasti, ayah beberapa kali--cukup sering malah--berbicara tentang "mencintai kebijaksanaan". Hemmm... apakah ayah seorang "pecinta kebijaksanaan"? Entahlah.
Sedikit pengetahuan tentang "kebijaksanaan" aku dapatkan dari salah satu buku seri Why. Sebetulnya buku itu tidak sengaja terbeli di salah satu aktivitas belanja kami. Ketika hendak membayar sejumlah buku seri Why pilihanku di kasir, perempuan petugas kasir tiba-tiba menawarkan satu judul seri Why terbaru kepada ayah. "Ini judul best seller, Pak," kata petugas kasir.
Ayah mengamati buku itu sebentar. Ku pikir buku itu tidak akan dibeli oleh ayah, karena setahuku ayah tidak pernah tergoda dengan istilah "best seller". Ayah hanya membeli buku jika topiknya menarik atau sangat penting. Tapi buku itu ternyata dibeli oleh ayah. Topik buku itu penting rupanya--untukku--menurut ayah tentu saja.
Sambil berjalan menuju bunda yang sedang menemani adik di bagian peralatan sekolah, ayah bilang buku itu akan membantu aku untuk lebih mudah memahami maksud ayah tentang "kebijaksanaan". Philosophy, demikian judul buku itu.
Tetap saja tidak mudah bagiku memahami arti "kebijaksanaan"---bahkan setelah selesai membaca buku itu. Bukan terutama soal istilah-istilahnya yang sulit kupahami, karena jika soal itu aku selalu bisa bertanya kapan saja pada ayah. Bagiku, "kebijaksanaan" adalah hal yang membingungkan, terutama ketika aku mengamati cara ayah menyikapi dunia dan peristiwa-peristiwa di dalamnya.
Pernah suatu kali aku mengalami kesedihan yang mendalam. Ketika itu Michelle, kucing pertama di keluarga kami, meninggal. Kami semua bersedih, bunda bahkan tak kuasa menahan air matanya. Aku juga melihat kesedihan di mata ayah, orang yang sering memanggil Michelle "Si Bungsu". Apalagi di malam ketika Michelle menjemput ajal, ayah masih bertugas di luar kota.
Aku menemani ayah ketika menguburkan Michelle di halaman rumah. Sambil menangis aku bertanya kepada ayah, apakah Michelle akan masuk surga?
"Seperti Michelle, kita semua akan meninggal pada waktunya," kata ayah.
"Tapi 'Yah, kita akan berkumpul di surga nanti. Ayah, Bunda, Aku, dan Ade. Bagaimana dengan Michelle? Biarpun dia seekor kucing, Michelle sudah kita anggap anggota keluarga."
"Ayah tidak tahu apa-apa tentang surga. Tentu ayah sudah mendengar banyak cerita tentang surga. Kamu juga. Tapi tetap saja ayah tidak pernah benar-benar tahu apakah setelah kematian akan ada kehidupan lagi—juga tentang surga."
Mendengar jawaban ayah, hatiku makin risau. Bagaimana jika memang tidak ada kehidupan setelah kematian? Bukankah itu berarti kita tidak bisa bersama kembali dengan orang-orang yang kita cintai?
Sepertinya ayah menangkap kerisauanku. "Kakak sudah belajar siklus kehidupan 'kan?" ayah bertanya kepadaku. Aku hanya mengangguk.
"Tak lama setelah kita meninggal, tubuh kita mulai terurai. Semua materi penyusunnya kembali ke alam, membawa serta energi kehidupannya. Michelle memang sudah tiada. Tapi kita selalu bersama unsur-unsur kehidupannya. Di tanah tempat kita berpijak, udara yang kita hirup saat bernafas, dan tetesan air hujan yang kemudian diserap tanah atau mengalir hingga ke lautan, juga berbagai sayur, buah, atau daging yang kita santap."
"Maksud Ayah, Michelle akan menjadi bagian dari diri kita?"
"Iya, dan bukan cuma Michelle. Tapi semua kehidupan yang telah lebih dulu meninggalkan kita akan segera menjadi bagian dari kita yang masih melanjutkan hidup. Seperti bintang, kematian Michelle--juga setiap kematian--adalah cara agar kehidupan di alam semesta dapat berlanjut."
"Seperti bintang?"
"Ya, seperti bintang. Kehidupan kita berasal dari bintang yang selesai menjalani siklus hidupnya. Kita adalah debu-debu bintang."
Aku tersentak mendengar cerita ayah. Bingung karena cerita itu tidak sepenuhnya aku mengerti dan bertolak belakang dengan cerita dari Mr. Fauzan, guru pendidikan agama di sekolah. Tapi aku juga penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Tentu tidak akan cepat ku peroleh penjelasannya. Seperti biasa, paling ayah akan menyuruh aku membaca buku dulu sebelum kami mendiskusikan hal-hal yang belum aku pahami.
Percakapan di hari penguburan Michelle itu menyadarkanku tentang satu hal untuk pertama kali: ayahku adalah orang yang berbeda. Dan sejak itu pula, aku tidak lagi melihat bintang-bintang dengan cara yang sama seperti sebelumnya.
Inikah salah satu bentuk "kebijaksanaan"? Ayah, andai suatu saat kelak aku bisa menjadi Dewi Kebijaksanaan seperti yang ayah harapkan, aku ingin kita menyanyikan kembali lagu Peterpan yang dulu sering ayah nyayikan ketika mengantarku menjemput impian malam: "Aku dan Bintang".
*****
"Kak, ke sini sebentar!" Sambil menenteng komik Miiko!, aku langsung menghampiri ayah di salah satu rak di sudut toko. Kulihat sumringah sekali wajahnya. Pasti dia menemukan sebuah buku yang bagus untukku. Hemm... seri Why tentang apalagi ya?
Begitulah ayah. Hampir setiap kami menghabiskan akhir pekan di mall, ayah mengajak kami mampir di toko buku. Aku dan adik senang ke toko buku. Kebetulan kami penggemar komik anime Jepang. Tapi ayah hampir selalu punya satu atau dua buku pilihannya untukku. Iya, khusus untukku.
Kata ayah, aku mirip dengan dia waktu kecil. Ingin tahu banyak hal, hobby membaca, dan menuliskan apa yang aku pikirkan. Bedanya, kakek dan nenek, orang tua ayah, bukan orang yang punya uang berlebih untuk membelikan ayah buku. Alhasil, ayah sering menghabiskan waktu libur sekolahnya di toko buku, untuk sekadar menumpang membaca, bukan membeli buku.
Ayah juga pernah berkisah bahwa suatu kali ia berjalan kaki ke toko buku yang jaraknya mungkin sekitar 10 km dari rumah. Ia tidak tega meminta uang ongkos bis ke kakek karena banyak kebutuhan keluarga yang lebih penting.
Aku merasa sangat beruntung kalau teringat kisah ayah tentang masa kecilnya. Memang, keluarga kami tidak bisa dibilang kaya dibandingkan kebanyakan keluarga teman-teman sekolahku, sebuah SD swasta berwawasan Islami. Meski begitu, ayah dan bunda selalu memprioritaskan kebutuhan pengembangan minat dan bakat kami. Dan kalau terkait buku, ayah tidak pernah bilang tidak.
"Hey, kok bengong?" Suara ayah menyadarkanku dari lamunan.
"Sudah dapat komiknya?"
"Sudah Ayah. Aku beli satu komik dan satu novel, boleh kan?"
"Iya, boleh. Bunda dan Ade di mana?"
"Bunda sedang lihat buku-buku agama. Ade lagi cari spidol khusus untuk gambar manga."
"Ooh.... Eh, lihat ini Kak, Ayah dapat buku bagus banget. Ini bisa menjawab banyak pertanyaan kamu."
"Seri Why?"
Ayah menggeleng sambil menyerahkan sebuah buku kepadaku. Ukurannya lebih besar dari buku standar. Sampulnya didominasi warna gelap. Biru donker di bagian atas, cokelat di bagian bawah. Di antaranya ada gradasi jingga yang membentuk pelangi. Bukan, bukan pelangi, lebih mirip suasana senja. Judulnya ditulis besar dalam bahasa Inggris, dengan terjemahan bahasa Indonesia yang ditulis lebih kecil di bagian bawah. Gambar-gambar berwarna memenuhi sebagian besar halaman isi buku. Menarik.
"Richard Dawkins siapa, 'Yah?"
"Ilmuwan biologi paling populer saat ini. Kalau kamu baca buku itu sampai selesai, kamu akan tahu betapa ajaibnya alam semesta tempat kita tinggal."
"Hemm... The Magic of Reality. Kok ilmuwan menulis tentang magic?"
"Tidak seperti magic yang kamu bayangkan. Baca saja dulu sampai selesai, nanti kamu akan mengerti," kata Ayah sambil tersenyum. Tangan kanannya mengusap-usap kepalaku.
"Ayah, Kakak, sudah selesai?" Suara seorang perempuan tiba-tiba terdengar mendekat, memutus obrolan anak dengan ayahnya. Suara itu datang dari seorang perempuan cantik dengan jilbab ungu menutup bagian kepalanya, bundaku. Di sebelahnya adalah adikku, laki-laki dengan usia yang hanya terpaut satu setengah tahun dari usiaku.
“Sudah, Bunda.” Jawabku sambil mengangguk pelan.
Aku mengamati wajah bunda dan ayah secara bergantian. Lalu ku pandangi adik sejenak. Beginilah seharusnya sebuah keluarga, selalu bersama. Tapi entah kenapa tiba-tiba kecemasan merasuk dengan cepat selepas ku pandangi wajah mereka. Ada duka yang tak bisa ditutupi dengan senyum, dan semua itu tampak jelas di wajah bunda—juga ayah yang biasanya bertingkah konyol. Adikku pun sepertinya menyimpan sebuah rahasia.
Sesuatu sedang terjadi dalam keluaga ini, tanpa benar-benar kusadari.
*****
Betapapun cenderung menganggap diriku sebagai “anak ayah”, aku sangat menyayangi bunda. Di mataku, bunda adalah sosok perempuan tangguh penyayang keluarga. Dia juga adalah pekerja keras yang sangat mandiri. Gaya bicaranya lugas to the point, membuatnya kadang tampak lebih tegas dibandingkan ayah.
Ayah dan bunda memiliki cara masing-masing dalam menunjukkan kasih sayangnya. Jika ayah tampak sebagai guru yang bijaksana dan sekaligus teman bermain yang asyik, bunda ibarat seorang peri pelindung dengan sepayang sayap yang selalu siap melindungiku dari segala bahaya.
Ayah dan bunda memang dua pribadi yang berbeda. Bukan hanya dalam pola pengasuhan, tetapi juga dalam cara mereka memandang dunia dan menyikapinya. Beberapa perbedaan bahkan terlalu tajam dan sangat mungkin menimbulkan masalah. Bukan hanya bagi mereka berdua, tetapi juga bagi anak-anak mereka.
Seingatku, selepas aku menyelesaikan pendidikan usia dini, ayah dan bunda pernah terlibat diskusi serius tentang jenis sekolah dasar (SD) yang akan aku ikuti. Menurut Bunda, sebaiknya aku bersekolah di SD dengan kurikulum pendidikan agama yang kuat, seperti SD Islam Terpadu (SDIT) yang mulai menjamur saat itu atau bahkan madrasah. Bunda ingin anak-anaknya memiliki pengetahuan agama yang baik dan berperilaku sesuai ajaran agama—menjadi anak shalih, singkatnya.
Ayah berpendapat sebaliknya. Ayah tidak ingin aku menempuh pendidikan di sekolah yang banyak pendidikan agamanya. Apalagi jika sekolah itu mengambil satu agama tertentu sebagai watak pendidikannya. Menurut ayah, semakin beragam siswa suatu sekolah, apakah dari sisi agama dan etnis maupun strata sosial, maka semakin baik sekolah itu untuk perkembangan kepribadianku.
Bagiku sendiri, perbedaan pandangan ayah dan bunda tentang sekolah untukku itu adalah hal yang agak ganjil. Saat itu, perbedaan antara ayah dan bunda belum tampak sejelas sekarang.
Seingatku, aku tidak pernah melihat ayah melaksanakan shalat. Ayah juga sering terlihat tidak berpuasa saat bulan Ramadhan. Bunda memang melaksanakan shalat, meski tidak selalu lima waktu. Pada bulan Ramadhan, bunda juga berpuasa seperti umumnya Muslim, meski pernah juga beberapa kali kami sekeluarga menikmati makan siang di sebuah restoran pada bulan Ramadhan. Saat itu bunda belum mengenakan jilbab di kepalanya.
Ayah berkompromi dengan bunda dan setuju untuk mencarikan sebuah SD berwawasan Islami. Syaratnya, pendidikan dan budaya agama di sekolah harus moderat. Akhirnya ayah berhasil menemukan sekolah sesuai kriteria idealnya, sebuah SD berwawasan Islami yang tidak mewajibkan siswa-siswa perempuan untuk mengenakan jilbab. Di situlah aku akhirnya bersekolah, juga belakangan adikku menyusul satu tahun kemudian.
Semakin lama, perbedaan antara ayah dan bunda semakin menajam. Itu terjadi begitu perlahan sejak bunda mulai mengenakan jilbab. “Terserah kamu saja jika itu menjadikan kamu pribadi yang lebih baik,” begitu ku dengar ayah berkata pada bunda ketika dia memberitahukan ayah keingingannya untuk mengenakan jilbab.
Bunda tampil sebagai sosok yang semakin religius. Shalat lima waktu tidak pernah ditinggalkan. Berpuasa bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi juga di hari-hari lain yang dianjurkan. Awalnya, bunda membiarkan ayah tetap menjadi dirinya seperti biasa. Namun, dari hari ke hari, ia berusaha membujuk ayah untuk mengikuti jalan religiusnya. “Ayah, keluarga kita butuh imam,” kata bunda dalam beberapa kesempatan yang ku saksikan.
Bunda mengalami religiositasnya dalam kesendirian. Entah kenapa aku dan adikku cenderung lebih mengikuti jalan ayah, meskipun bunda tidak menyerah untuk membujuk kami sekeluarga. Kesendirian bunda akhirnya meluluhkan pendirian ayah. Sesekali ia mengikuti keinginan bunda. Ku lihat bahagia terpancar di wajah bunda tiap kali ayah mau menjadi iman, memimpin kami sekeluarga melaksanakan shalat berjamaah.
Sebagai anak yang banyak menghabiskan waktu dengan ayah, aku tahu bahwa ayah tidak pernah berubah. Bunda juga tahu, menurutku. Dalam banyak kesempatan bersamaku, ayah, secara sangat hati-hati, menyampaikan bahwa banyak hal dari ajaran agama berangkat dari kisah-kisah lama yang sulit diperiksa kebenarannya—jika bukan tidak masuk akal sama sekali. Dan jauh di dalam hatiku, aku membenarkan apa yang ayah sampaikan.
Aku tidak berani menduga berapa tahun lagi ayah dapat bertahan dengan permainan perannya. Dari berbagai status ayah di Facebook—yang secara tak sengaja bisa ku akses dari tablet-ku karena ayah lupa log-out ketika sempat memakainya—ayah memandang bahwa perbedaan tidak seharusnya disamakan, sebagaimana yang banyak tidak seharusnya disatukan. Ayah percaya bahwa setiap orang adalah pemilik bagi dirinya-sendiri. “Cinta sepasang kekasih tidak membuat mereka saling memiliki,” tulis ayah dalam sebuah statusnya.
Aku belum tahu secara pasti, tapi, sepertinya, perbedaan antara kedua orang tuaku akan segera mendatangkan masalah. Kiriman-kiriman di Facebook ayah, tentang pandangan-pandangan dan aktivitas-aktivitasnya, menyiratkan bahwa ayah sedang membangun dunia-nya sendiri—di luar keluarga kami. Dunia itu dibangun berdasarkan nilai-nilai yang dibela ayah dengan sepenuh jiwa, di mana kebebasan dilindungi dan perbedaan dihargai. Dan—ini yang membuatku bergidik—agama adalah hambatan terbesar bagi tercapainya dunia impian ayah yang sangat manusiawi itu.
Hanya soal waktu sampai bunda mengetahui aktivisme ayah yang, menurutku, lebih agresif dari sebelumnya. Atau, jangan-jangan, bunda sudah mengetahuinya. Beberapa kali aku memergoki ayah dan bunda berbincang serius dalam kamar. Mereka biasanya langsung hening ketika aku datang, tapi sisa ketegangan masih tampak di wajah mereka.
Mungkinkah cinta tak selamanya kuat untuk mendamaikan perbedaan di antara sepasang kekasih? Entahlah. Aku terlalu takut membayangkan akhir kisah ini.