Sampah sebelum revolusi industri dan kebutuhan manusia masih dipenuhi melalui bercocok tanam serta berburu belum menjadi sesuatu penting untuk diperhatikan. Namun, pasca industrialisasi dan seluruh kebutuhan manusia mulai dipenuhi melalui aktivitas industri, barulah sampah mulai mendapat perhatian khusus.
Sampah tidak lagi sekadar sesuatu yang tidak digunakan, tidak terpakai, sesuatu yang dibuang dan bersumber dari kegiatan manusia. Tetapi sudah menjadi sesuatu yang sangat serius terhadap lingkungan hidup. Sampah sudah menjadi masalah di lingkungan hidup, khususnya di lingkungan laut.
Lingkungan laut sendiri, masalah yang cukup konsisten belakangan ini muncul adalah sampah plastik. Masalah ini muncul dari serangkaian proses yang cukup panjang. Dimulai dari aktivitas konsumsi, terbuang di lingkungan dan berakhir di laut. Walaupun telah banyak diterapkan metode pengolahan sampah tetapi juga masih tetap menjadi masalah di dilingkungan.
Saat ini, tercatat 150 juta ton plastik di lautan dunia. Jumlah ini diyakini akan meningkat sebesar 250 juta lagi jika trend urbanisasi, produksi dan konsumsi manusia terus berlanjut[1]. Ditambah dengan minimnya kesadaran memanajemen penggunaan produk plastik. Maka sudah dapat dipastikan, prediksi pertambahan jumlah populasi sampah akan pasti terjadi.
Sebelum berakhir di lingkungan laut, sampah plastik merupakan produk dari kesadaran manusia. Kesadaran tentang minimalisasi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-sehari dapat dikatakan belum menjadi trend dan gaya hidup. Sampah kantong plastik, sedotan minuman dan minuman gelas kemasan adalah beberapa sampah plastik yang sangat mudah ditemukan berserakan di lingkungan sekitar.
Tidak perlu data khusus untuk menjelaskan fenomena ini dan saya yakin jika pengalaman ini dialami siapa saja. Ketika momen-momen tertentu seperti perayaan 17-an atau 17 Agustus. Pada momen ini, kita tidak perlu kemampuan khusus untuk menemukan sisa-sisa penggunaan minuman gelas, sedotan plastik dan kantong plastik.
Sampah-sampah plastik ini berserakan di mana-mana dan tidak terpedulikan. Kondisi ini cukup menjadi gambaran kesadaran manusia tentang penggunaan plastik serta kemampuan membuang sampah pada tempatnya masih sangat rendah.
Selalu ada yang melatarbelakangi mengapa orang mudah untuk tidak membuang sampah pada tempatnya. Mungkin jawaban-jawaban seperti terkendala tidak adanya tempat sampah, minimnya fasilitas tempat sampah dan jauh dari tempat sampah cukup menjadi alasan untuk membenarkan perilaku ini.
Dalam upaya membangun kesadaran ini, telah banyak dilakukan berbagai gerakan seperti kampanye (media sosial dan ruang publik), seminar-seminar, sosialisasi. Upaya-upaya ini diinisiasi tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari lembaga-lembaga sosial. Namun, gerakan ini masih belum juga cukup menghentikan atau mengurangi krisis sampah plastik di lingkungan.
Terobosan dalam pengendalian perilaku dan mengubah perilaku penggunaan plastik telah diterapkan oleh beberapa pemerintah dalam bentuk peraturan wali kota atau Bupati, terkait pelarangan penggunaan kantong plastik pada aktivitas belanja.
Di sini upaya pengendalian terhadap konsumsi plastik. Jika ini menjadi gerakan serentak untuk seluruh pemimpin daerah, maka saya yakin penggunaan plastik akan menurun dan krisis sampah plastik di lingkungan lambat laun akan berkurang.
Namun, ketika kita mencoba menakar tentang faktor penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari, maka banyak faktor menjadikan plastik sebagai pilihan utama dalam menunjang aktivitas manusia. Seperti ringan, tahan lama dan berbiaya produksi rendah.
Dari sini saya yakin, sampah plastik masih akan menjadi mimpi buruk bagi lingkungan. Bagaimana tidak, jika masalah sampah ditekan dengan pengendalian penggunaan produk plastik, namun dasar dari kebutuhan pengonsumsian tidak coba diterobos. Ini sama seperti meminum obat penurun kolesterol tetapi masih rutin mengonsumsi daging kambing.
Tentunya yang paling dekat merasakan dampak dari krisis sampah plastik di lingkungan laut adalah para penghuni lautan. Dan yang masih segar di ingatan adalah kasus matinya Paus sperma.
Melalui publikasinya @wwf_id menerangkan beberapa kilo gram sampah plastik dalam berbagai jenis serta ukuran di perut ikan tersebut. Masing-masing sampah plastik seperti plastik keras 140 gr, botol plastik 150 gr, kantong plastik 270 gr, tali rafia 3,26 kg dan gelas plastik 750 gr.
Tingginya tingkat pencemar secara langsung akan mempengaruhi kualitas lingkungan laut. Ditambah lagi, penurunan kuantitas hutan pesisir laut dan eksploitasi atas kehidupan laut ikut turut berkontribusi terhadap kualitas ekosistem laut.
Dari data @wwf_id, pada 2016 Marine mega fauna, Universitas Murdoch dan Universitas Udayana meneliti jumlah mikropalstik di perairan jalur migrasi ikan pari manta. Ditemukan rata-rata terdapat 0,48 potong per meter kubik 1,1 potong per meter kubik. Dan tingkat pencemar seperti telah mengkontaminasi ikan pari manta.
Bayangkan saja, ikan pari manta dalam satu jam menyaring air 90 meter kubik/ 90K liter. Maka, sudah dapat dipastikan tidak sedikit ikan pari manta terkontaminasi potong mikroplastik. Dan berapa banyak ikan pari manta yang akan terkontaminasi?
Dari sini sudah bisa dipastikan kontribusi sampah plastik nyata meneror lingkungan dan seluruh organisme di dalamnya. Dan manusia adalah aktor intelektual yang berperan penting dibalik aksi-aksi teror ini. Maka cukup dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat sudah menjadi aksi pengguguran dosa lingkungan kita.
Referensi