Kertas dan plastik menjadi dilema bagi manusia di kehidupan modern ini. Keberadaannya dibutuhkan tetapi sampahnya membahayakan. Pengelolaan yang optimal adalah kunci. Jika dapat dikelola, maka sampah akan berubah dari musibah menjadi berkah. Butuh pendekatan komprehensif mulai dari kesadaran individu hingga komitmen politik.
Pemerintah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan kantong plastic berbayar. Pertama, melalui Surat Edaran (SE) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.71/Men LHK – II/ 2015 tentang pembatasan pemberian kantong plastik. Kebijakan ini gagal dan tidak berlanjut.
Kedua, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menerapkan kebijakan Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) alias kantong plastik berbayar yang di mulai sejak Jumat (1/3/2019). Sama seperti kebijakan pertama, langkah Aprindo ini menuai kontroversi.
Upaya di atas patut diapresiasi guna menyelematkan lingkungan melalui pengurangan peredaran bahan sampah yang sulit terurai. Namun demikian penting dicermati dan dievaluasi segera agar optimal.
Timbangan Kebijakan
Kebijakan kantong plastik berbayar menuai pro dan kontra di publik. Hal ini tidak lepas dari sisi plus dan minus dari kebijakan ini. Pembatasan peredaran plastik melalui mekanisme pembayaran diharapkan memiliki manfaat bagi lingkungan. Manfaat tersebut adalah terjadinya migrasi pemakaian tas plastik ke tas ramah lingkungan, seperti kain.
Indonesia merupakan negara kedua di dunia penghasil sampah plastik terbesar ke laut (KLHK, 2016). Peringkat pertama ditempati China dengan 262,9 juta ton sampah plastik.
Jumlah sampah kantong plastik terus meningkat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) memperkirakan volume sampah di Indonesia pada 2019 akan mencapai 68 juta ton. Dari angka tersebut, 14 persen atau sekitar 9,52 persen di antaranya adalah sampah plastik. Sekitar 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan oleh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Sebesar 95 persen kantong plastik hanya menjadi sampah, sedangkan plastik sulit diurai oleh lingkungan.
Kantong plastik berbayar sukses diterapkan di Hongkong, Inggris, dan Belanda (Amsterdam). Data ketiga negara tersebut menunjukkan adanya penurunan konsumsi plastik sampai dengan 73 persen dengan program kantong plastik berbayar (Sudirman, 2016). Dengan demikian kebijakan ini memberikan harapan baik bagi pengurangan limbah plastik.
Disisi lain secara ekonomi mampu memberikan peluang bagi peredaran tas ramah lingkungan. Tas ini dapat dikreasi berbahan kain bahkan dari perca-perca sisa (limbah). Usaha ekonomi baru dapat tumbuh sekaligu dalam lingkaran pengelolaan sampa terpadu melalui pemanfaatan limbah kain.
Kebijakan kantong plastik berbayar bukannya tanpa sisi minus. Apabila migrasi penggunaan kantong kurang berjalan lancar, maka kebijakan ini justru akan menambah pemasukan peritel dengan menjual kantong plastik.
Kebijakan ini terkesan sebagai bentuk penyederhanaan dan tidak memerlukan pengawasan ketat (Gesuri, 2016). Berbeda jika yang diambil adalah kebijakan pelarangan tegas pemakaian tas plastik di toko atau pasar modern. Selain itu kelemahannya adalah sasaran yang terbatas di toko modern, sedangkan peredaran terbesar justru di toko atau pasar tradisional.
Temuan di lapangan masih terdapat beberapa catatan. Beberapa toko ritel masih belum menerapkan. Ada yang melakukan praktik akal-akalan. Kantong plastik benar berbayar, namun kembali didiskon hingga menjadi gratis kembali. Beberapa konsumen juga menyatakan tidak keberatan untuk membeli kantong plastik yang masih dijual murah, yaitu kebanyakan Rp. 200.
Optimalisasi Misi
Misi bersama yang ingin dibangun adalah pengurangan ketergantungan plastik dan bagaimana pengelolaan sampahnya. Optimalisasi penerapan kebijakan mutlak diperlukan demi pencapaian manfaat. Evaluasi dan pengawasan pemerintah juga diperlukan guna memperlancar penerapan serta minimalisasi kontra produktif. Selain itu perlu kebijakan ini mestinya tidak berdiri sendiri, namun berkoordinasi dan sinergis dengan kebijakan lain bahkan dari instansi lain.
Kebijakan butuh diimbangi pembudayaan penggunaan tas ramah lingkungan. Kebijakan kantong plastik berbayar sifatnya setengah pemaksaan melalui beban pembelian. Efektifitas pencapaian tujuan hanya untuk masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan golongan menengah ke atas berpotensi tetap memilih membayar kantong plastik. Konsumen pasar atau toko modern justru kebanyakan golongan ini. Oleh karena ini kuncinya butuh sosialisasi dan pembudayaan agar peduli lingkungan.
Tips sederhana adalah dengan selalu membawa kantong kain di tas, kendaraan, dan lainnya setiap bepergian. Sebaliknya pihak penjual dituntut meminimalisasi penjualan kantong plastik. Strateginya bisa dengan menjual tas ramah lingkungan, pembagian gratis bagi pelanggan atau pembeli dengan nominal tertentu.
Mekanisme insentif-disinsentif dapat diterapkan kepada konsumen maupun penjual. Konsumen yang sekian kali membeli tanpa kantong plastik misalnya diberikan tas ramah lingkungan gratis. Penjual yang minim mengeluarkan tas plastik dapat diberi penghargaan, misalnya keringanan pajak dan lainnya.
Hasil penjualan kantong plastik berbayar pun sekian persen penting dibagi dengan pemerintah guna program lingkungan dan pemberian insentif serta penyediaan kantong ramah lingkungan.
Èkologi Politik
Komitmen pemimpin diperlukan kaitannya dengan pengelolaan lingkungan dan kepedulian bencana. Beberapa indikator dapat menuntun kita menilai komitmen politik ekologi.
Pertama, visi dan misi. Komitmen politik akan hadir jika pemimpin memiliki visi-misi hijau. Visi hijau merupakan pondasi yang secara eksplisit menyatakan kepedulian lingkungan dan berisi mimpi terkait masa depan lingkungan. Misi hijau menjadi jabaran praktis mengenai langkah yang akan dilakukan untuk membuktikan bahwa visinya realistis.
Kedua, rekam jejak. Rekam jejak kepedulian lingkungan penting untuk meyakinkan penilaian bahwa janji yang selama ini didengungkan tidak menjadi isapan jempol semata. Jejak kepedulian dapat direkam pada masa lalu dan masa sekarang.
Ketiga, inovasi kebijakan. Konservasi lingkungan butuh terobosan inovatif agar lebih efektif. Selama ini upaya terkesan mandul karena komitmen lemah dan minim terobosan teknis. Program kebijakan yang ditawarkan dapat menjadi acuan penilaian.
Program kebijakan yang normatif dan hanya pengulangan sekarang dipastikan tidak akan bisa berbuat apa-apa. Inovasi menggerakkan partisipasi lintas pihak juga penting dicari. Konservasi tidak akan optimal tanpa partisipasi.
Ekologi politik merupakan kata kunci mengantisipasi bencana sampah kertas dan plastik. Pembangunan berkelanjutan mesti terjamin dengan ditandai keminiman kejadian bencana dengan segala dampak dan korbannya. Kualitas lingkungan merupakan kunci utama mewujudkannya. Realitasnya, kualitas lingkungan negeri ini masih di bawah standar.