Ketika gili Trawangan semakin banyak menuai pujian dan prestasi dalam bentuk penghargaan sebagai destinasi wisata terbaik, banyak dari kita yang tidak tahu atau bahkan lupa ada “ruang belakang” yang luput dari sorotan. Adalah persoalan sampah yang menjadi ancaman besar bagi pulau kecil di utara pulau Lombok ini. Timbunan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir) yang berada di tengah pulau menunjukkan bahwa penanganan sampah, baik itu secara manajerial serta fungsional, belum terlaksanakan dengan baik.
Volume sampah yang dihasilkan per harinya (berdasarkan sampah yang terangkut ke TPA) total mencapai 17-20 ton sampah organik dan non-organik (Anugrah, Widyastuti, & dkk, 2018). Jika memasuki musim libur tiba, bisa meningkat hingga mencapai jumlah dua kali lipatnya dalam sehari. Jika dapat diasumsikan, jumlah produksi sampah di pulau kecil ini kurang lebih menghasilkan sebanyak 600 ton dalam sebulan.
Lalu, apakah permasalahan sampah yang ada saat ini murni diakibatkan ketidakacuhan serta rendahnya kepedulian masyarakat terhadap sampah?
Ataukah jangan-jangan penyebab utama pengelolaan lingkungan yang buruk—seperti kasus sampah di Trawangan—yang terjadi saat ini bukan karena kesadaran dan moral manusia yang rendah, melainkan seperti anggapan Magdoff & Foster (2011) adalah implikasi atau efek samping dari sistem perekonomian yang mendominasi sekarang ini: kapitalisme.
Seperti yang telah diketahui bahwa sistem perekonomian kapitalisme dibangun dengan paradigma atas upaya mengakumulasi modal menjadi bentuk keuntungan atau laba sebesar-sebesarnya. Pertumbuhan yang masif: kecepatan, kuantitas, beserta laba yang mudah dan cepat didapat menjadi tujuan utama. Istilah cukup bukanlah bagian integral dari kapitalisme. Karena pada dasarnya, hakikat sistem ini terletak pada relasi produksi yang eksploitatif.
Lantas apa kaitannya dengan pariwisata di Gili Trawangan?
Jelas sekali, ada, jawabannya. Secara fakta di lapangan, penyumbang terbesar masifnya jumlah sampah di Trawangan didominasi dari hotel dan restoran.
Mengikuti konsep dari mass tourism, maka daya beli dan konsumsi atas barang atau jasa menjadi tolok ukur produktivitas. Tidak heran dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang memantik kompetisi setiap pebisnis untuk mengekspansi usahanya ke wilayah yang semakin besar.
Semakin banyak hotel dan usaha lainnya, maka akan semakin baik untuk pertumbuhan ekonomi. Logika kapitalisme yang termanifestasi dalam konsep pariwisata ini tak ayal mendorong aktivitas konsumsi yang semakin tinggi, yang artinya peningkatan pada produksi sampah menjadi konsekuensi dan keniscayaan di kemudian hari.
Sudah barang tentu kecepatan akan perkembangan ini tidak dibarengi dengan pertimbangan daya dukung lahan serta perencanaan dan manajemen pengelolaan lingkungan yang baik.
Dalam logika berpikir kapitalisme adalah bagaimana dapat mengefisiensi waktu tetapi mampu menghasilkan keuntungan yang tetap tinggi. Maka dari itu jelas para pelaku usaha ini tidak punya waktu mengurusi—tidak peduli tepatnya—dengan sampah yang dihasilkannya. Yang mereka pedulikan adalah bagaimana cara menyingkirkan sampah-sampah tersebut agar tidak berada di hadapannya.
Adapun Pemerintah daerah sebagai aktor yang memiliki otoritas tentunya turut andil dalam hal ini. Eksistensinya terlacak dalam tindakan pemberian izin masuknya usaha dan dukungan yang diberikan pada aktifitas pariwisata, tentu tidak lain karena didasarkan oleh, lagi-lagi, motif ekspansi pertumbuhan ekonomi dalam agenda pembangunan pariwisata.
Mendatangkan wisatawan dengan promosi yang gencar dan penjualan citra memang menjadi agenda prioritas pemerintah sebagai upaya menambah pendapatan daerah. Namun ketika berbicara perihal persoalan sampah, seolah-olah lupa—bahkan cenderung abai—dalam membahas bagaimana cara mengatasinya. Menyediakan bak sampah sudah dianggap cukup. Padahal itu hanya upaya memindahkan sampah dari depan mata ke tempat lain.
Pun berlaku sama bagi pelaku usaha. Yang pertama dan terutama adalah, sampah tidak mengganggu aktivitas pariwisata demi kelancaran usaha. Persoalan kemana ia dibawa dan seperti apa dampak kedepannya bukan lagi urusan, bisa diselesaikan nanti.
Seperti kasus penumpukan sampah yang terjadi pada 2017 lalu dimana pemerintah baru turun tangan menangani sampah akibat kekosongan posisi pengelola sampah pasca operasi tangkap tangan akibat pungutan dana yang tidak transparan.
Menurunkan sejumlah kendaraan bermotor seperti mobil dan motor roda tiga untuk mengangkut sampah yang tidak tertangani. Namun alih-alih membantu, yang dilakukan malah berpotensi menimbulkan masalah baru.
Selama ini Trawangan disepakati sebagai pulau yang bebas dengan kendaraan. Kesepakatan yang mengatur tentang dilarangnya keberadaan kendaraan bermotor lantas tidak diindahkan. Pemerintah seringkali mengingkari apa yang telah disepakati dengan dalih menyelesaikan suatu permasalahan.
Di sisi lainnya, tindakan itu juga memberi dampak pemborosan energi bahan bakar, menurunkan daya dukung jalan, dan ketika sampah sampai di TPA akan tetap menjadi masalah karena sampah tetap saja tidak terpilah berdasarkan jenisnya. Tindakan reaktif serta teknis seperti ini jelas hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek, tetapi tidak sampai menyentuh akar persoalannya.
Kasus tersebut bisa menjadi bukti yang menguatkan bahwa persoalan sampah diabaikan dalam perencanaannya. Akan mendapatkan perhatian jika permasalahannya sudah muncul di tajuk utama media-media nasional. Yang ada, seperti pemadam, beraksi ketika masalah terjadi.
Tentu ini tidak bertahan lama ketika media tidak lagi gencar memberitakan, perlahan-lahan semua akan kembali normal: sampah akan terus bertambah. Jika tidak ada perhatian yang serius dan mendalam akan persoalan ini, hanya tinggal menunggu waktu. Menunggu waktu sampai pulau ini akan bertranformasi menjadi pulau sampah.
Pemerintah harusnya sadar bahwa penyebab utama persoalan ini adalah aktivitas pariwisata itu sendiri. Sehingga jika perkembangannya tidak ditekan, sampah yang dihasilkan para pelaku usaha semakin meningkat. Perencanaan tidak hanya perlu mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan di dalamnya, tetapi juga perlu untuk mengikutsertakan aspek degradasi lingkungan serta hutang-hutang ekologis yang harus dibayarkan akibat dari sampah.
Dengan begitu, diperlukan kebijakan/regulasi serta penegakannya yang tegas untuk mengatur persoalan ini. Bukan, bukan karena para pengusaha ini tidak bermoral—meskipun seringkali demikian adanya. Tetapi sekali lagi, sistem kapitalisme yang termanifestasi dalam konsep pariwisata massal seperti ini yang membuat mereka abai pada problem sampah.
Di satu sisi memang kita tidak dapat mengelak dari pembangunan dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mampu membuat kehidupan menjadi lebih baik. Namun di sisi lainnya, kita juga tidak bisa untuk terus-menerus mengorbankan lingkungan ekologis kita dari pembangunan itu.
Dengan logika kapitalisme yang tidak pernah merasa cukup, dia akan terus membesar seiring dengan tujuannya: pengejaran laba dan akumulasi tanpa akhir. Sebagai penutup tulisan ini, izinkan saya untuk mengambil permainan kata-kata dari Martin Suryajaya: "kapitalisme itu bermasalah bukan karena orang-orangnya yang jahat, melainkan kapitalisme itu jahat karena ia memang bermasalah."
Referensi:
Anugrah, G., Widyastuti, Y., & dkk. (2018). Gili Trawangan Pre and Post Earthquake Disaster: A Social Resilience Study of Small Island’ Solid Waste Management. Bogor: Yapeka.
Magdoff, & Foster. (2011). What Every Environmentalist Needs to Know about Capitalism. New York: Monthly Review Press.