Tetiba saja, saya teringat kembali akan tulisan dari Prof. M. Quraish Shihab dalam Sunnah Syi’ah Mungkinkah?. Tulisan yang sedikit banyak disalahtafsirkan oleh orang-orang awam, akibatnya mereka dengan mudah menyematkan label tokoh liberal dan syiah kepada ulama besar sekaligus mufasir kontemporer itu.
Lucu memang melihat orang yang baru belajar membaca Alquran mengkritisi penulis Tafsir al-Misbah. Meski demikian, Prof. Quraish tampak tenang-tenang saja menanggapinya.
Memang bukan tanpa alasan jika beliau dianggap demikian, sebab pemikiran beliau disebut-sebut cenderung moderat, dibandingkan dengan mufasir lain di Timur Tengah semisal, Sayyid Qutb.
Pemikiran moderat beliau dianggap sebagai virus yang mampu membuat umat Islam makin jauh dari ke-Islam-annya. Padahal sesungguhnya, beliau hanya berupaya untuk bersikap ‘netral’ dalam menyikapi masalah furu’iyah (perbedaan pendapat) yang ada di tengah-tengah umat saja.
Contoh paling konkret ada pada saat beliau menerjemahkan Surah al-Baqarah ayat 143 dalam Tafsir al-Misbah, bahwa umat Islam dijadikan umat pertengahan, moderat dan teladan. Maknanya adalah umat Islam harus berlaku adil terhadap sesama tanpa berpihak pada siapa pun, dalam kondisi apa pun.
Selain itu, ungkapan litakûnu dengan fi’il mudhâri’ (kata kerja masa datang), menyebutkan bahwa umat Islam akan menjadi saksi atas perbuatan dari seluruh umat manusia di dunia. Yang berarti bahwa, sepanjang perjalanan pemikiran manusia, akan muncul paham-paham atau ‘isme’ baru yang saling bertentangan. Namun di akhir nanti, ummatan wasathan-lah yang akan dipercaya sebagai saksi terhadap pelbagai pandangan tersebut.
Mana yang benar dan mana yang keliru. Pandangan-pandangan seperti inilah yang mendapat banyak kritikan, apalagi dari kelompok-kelompok ekstrem dengan segala superioritasnya, salah satunya ialah kelompok Khawarij.
Berbanding terbalik dengan kelompok Moderat, kelompok Khawarij lebih mengedepankan sikap frigid atau non-permisif (serba tidak boleh) terhadap umatnya. Mereka dinilai sangat radikal dan kontekstual dalam mendakwahkan Islam kepada umat.
Melalui dalil-dalilnya, mereka terus menyerang kelompok moderat yang disebut sebagai kaum liberal, sehingga sering terjadi konflik bertemakan keagamaan dan ketegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lantas, apa yang menyebabkan pemikiran moderat selalu dipandang sebagai pemikiran yang sesat dan bagaimana sebenarnya cara berpikir kelompok tersebut?
Jika ingin menelisik lebih jauh mengenai cara berpikir kelompok Islam Moderat ini, maka kita harus memahami terlebih dulu istilah al-washathiyyah di dalam Alquran, yang secara terminologi menurut Ifati Zamimah berarti karakter yang terpuji, sehingga terjaga dari sikap ekstrem beragama.
Sementara Mukhlis Hanafi dan Yusuf Qardhawi mendefinisikan washatiyah sebagai sebuah metode berinteraksi, berpikir dan berperilaku yang tawâzun (seimbang) dalam menganalisis, juga menyelesaikan masalah sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan budaya masyarakat, tanpa saling mendominasi satu sama lain.
Agar dapat berlaku laku adil, seseorang harus menempatkan diri di tengah-tengah dua pandangan, sehingga akan menjadi penyeimbang di antara mereka. Hal inilah seperti yang dikutip Abu Bakr Abdullah bin Ibn Abi Syaibah dari sebuah hadis, “sebaik-baik urusan adalah awsathuhâ (yang pertengahan).”
Maka, orang-orang moderat biasanya berada di tengah-tengah dua sifat buruk, misalnya sifat bijaksana yang menengahi sifat sombong dan minder atau sifat dermawan yang menengahi sifat kikir dan boros.
Di Indonesia sendiri, pemikiran Islam moderat sudah ada sejak masa-masa awal penyebarannya di Nusantara beberapa abad silam. Abdurrahman Mas’ud dalam catatannya, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, menyebut bahwa Wali Songo-lah yang pertama kali berhasil mengajarkannya melalui penyatuan konsep spiritual dan sekularitas dalam berdakwah, sehingga di zamannya, Islam disebut juga sebagai the religion of java (agama orang-orang Jawa).
Dari tangan Wali Songo, Islam dengan sangat dinamis dapat bersanding dengan budaya setempat sehingga lahirlah istilah “pribumisasi Islam”. Siapa sangka, jika budaya Hindu-Jawa bisa diganti dengan signifikan oleh budaya Islam yang baru saja hadir sebagai agama yang shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat)?
Meskipun, ada pendapat lain seperti tulisan Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009) yang memuat kritikan seorang Cliffort Geertz, bahwa ia sangat menyangsikan ke-Muslim-an mayoritas orang Jawa, akibat sinkretisme mereka. Geetz, seperti yang disebut juga oleh Hendro Prasetyo, menganggap bahwa mulai dari kelompok priyayi, abangan hingga santri, masih belum terlepas sepenuhnya dari tradisi pra-Islam saat itu.
Terlepas dari kaffah atau tidaknya ajaran yang dibawa oleh Wali Songo, perlu digarisbawahi jika peran mereka dalam menyebarkan Islam di Nusantara, tanpa ada sedikitpun kekerasan, serta tidak menganut paham takfiri yang senantiasa mengafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya.
Mereka ada di tengah-tengah umat dengan latar yang beragam. Dari situ, harusnya kita sudah sedikit banyak mengerti tentang pemikiran kelompok moderat ini. Dan dengan ini pula saya jadi paham, kalau tokoh-tokoh Islam moderat juga banyak yang nyambi budayawan seperti Gus Dur, Gus Mus dan Cak Nun.
Apabila ingin lebih spesifik lagi, maka kita dapat mencirikan kelompok moderat ini menurut pendapat Willian E. Shepard yaitu, tidak menggunakan kekerasan dalam agenda perjuangan Islam, akomodatif terhadap konsep negara-bangsa modern, serta organisasinya yang bersifat terbuka (contohnya NU dan Muhammadiyah).
Umumnya, Islam moderat terkenal sebagai anti thesis dari gerakan Islam radikal yang menurut sebagian orang merupakan kelompok garis keras. Istilah moderat sendiri berasal dari bahasa Latin moderare yang artinya mengurangi atau mengontrol.
Dalam kamus The American Heritage Dictionary of the English Language mendefinisikan moderate sebagai: not excessive or extreme (tidak berlebihan dalam hal tertentu).
Sayangnya, masih banyak kalangan menilai pandangan dari kelompok ini sebagai pandangan yang tidak bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Besar Muhammad SAW. Sampai kapanpun, perbedaan pendapat mengenai Islam tetap akan ada, kita juga dibebaskan memilih mana pemikiran yang sesuai dengan prinsip kita.
Yang jelas Islam mengajarkan kita untuk menyampaikan kebaikan, seperti kata Cak Nun bahwa, “Tuhan tidak menyuruh kita berlomba-lomba dalam kebenaran, tetapi fastabikhul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan).”