Batik dikenal luas oleh seluruh kaum akademisi, juga masyarakat kecil merupakan singkatan dari Bahan dan Titik. Artinya bahan itu kain yang digunakan untuk membatik, sedangkan titik itu motifnya. Sejauh ini pemahaman yang demikian masih tetap melekat di jiwa masyarakat luas. Tidak hanya masyarakat Kota Pekalongan, juga masyarakat dari kota-kota lain. Namun, esensi batik sesungguhnya adalah kain panjang dan sarung yang kemudian berubah menjadi fashion. Batik sering dipakai untuk upacara-upacara tertentu, seperti pernikahan, midodareni, sunat, dan tradisi jawa lainnya. Karena itulah batik diakui sebagai Cultur Heritage oleh UNESCO.

Namun, selepas diakui UNESCO sebagai warisan budaya leluhur. Batik punya banyak masalah. Salah satunya persoalan limbah. Banyak masyarakat, dari mulai anak-anak, kaum akademisi, sampai orang tua pun mengkambing hitamkan batik atas limbah yang ada di sungai. Padahal batik merupakan budaya leluhur yang perlu dilestarikan. Tapi apakah hal itu benar? Apakah batik benar-benar menjadi biang keladi tercemarnya sungai di Pekalongan?

Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar, juga tidak terlalu salah. Cuman, mereka mungkin kurang tahu saja mengenai esensi dan sejarah batik yang sesungguhnya. Dulu, batik yang menawan seperti motif Jlamprang, Parang, dan sebagainya hanya bisa dinikmati dan dipakai oleh golongan konglomerat saja, sedangkan rakyat pinggiran belum bisa menikmati batik. 

Namun pasca Perang Diponegoro, mengalami banyak perubahan, sudah tidak ada lagi yang menggunakan motif-motif bernuansa keraton. Para pengikut Diponegoro yang singgah di Kota Pekalongan pun berinteraksi dengan warga setempat, orang Belanda, orang Arab, dan orang Tionghoa. Walhasil, berkembanglah motif pesisiran.

Di medium tahun 1950-1960, batik berjaya. Pekalongan sebagai pusat industri dan transaksi batik meningkat pendatangnya. Pusatnya ada di Jalan Surabaya, atau Kampung Arab. Dulu di tempat itulah semua orang dari seluruh penjuru dunia memburu batik, karena kebetulan kala itu  menjadi pelabuhan terbesar di Indonesia. Konon harga kain mori di seluruh dunia, patokannya harga kain mori di Jalan Surabaya itu. Semua orang seantero dunia berkumpul, biasanya sekitar jam empat sore mulai ramai pengunjung bertransaksi batik.

Di tempat itu juga oleh karena dijadikan pusatnya berbelanja batik tahun 1950-an, akhirnya dibangun penginapan-penginapan. Uniknya, saat orang dari luar kota Pekalongan yang menginap di tempat itu sama sekali tidak dipungut biaya sepersen pun. Tapi, kalau ada yang melakukan transaksi dicatat oleh petugas koperasi, nah ada sekian persen yang diperuntukkan oleh koperasi. Hasilnya nanti bisa untuk menghidupi wilayah tersebut.

Batik 400 tahun yang lalu, pada zaman Mataram sebenarnya juga sudah ada. Motif pesisiran pun sudah mulai muncul di Pekalongan, namun masih sedikit. Tahun 1621, ketika Pekalongan masih berbentuk Kadipaten yang dipimpin Adipati Mandurorejo, sampai digantikan 1622 oleh adiknya yang bernama Ontosoto, banyak pelancong singgah di Pekalongan, dan sebagian dari mereka ahli batik. 

Tahun 1700 tidak ada lagi catatan mengenai batik. Baru setelah tahun 1800, pasca Perang Diponegoro, baru mulai ada lagi catatan mengenai sejarah batik di Kota Pekalongan. Dulu orang-orang pengikut Diponegoro yang tadinya ditakuti, bisa bekerjasama dengan penduduk Pekalongan untuk menciptakan batik.

Tahun 1960, PPIP (Persatuan Pembatikan Indonesia Pekalongan) dan lainnya yang dipelopori oleh Ahmad Djunaed, membangun gedung koperasi Indonesia untuk menyediakan bahan baku batik, seperti kain mori, obat, dan sebagainya. Jadi, pengusaha dan pengrajin batik diseluruh kota bahkan dunia, membeli bahan bakunya di gedung koperasi tersebut. Sampai akhirnya, hasil penjualan bahan batik yang terkumpul, bisa membangun Planetarium di Jakarta tahun 1963 senilai 1,67 Miliar. Juga membangun Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Kedua bangunan itu bisa berdiri, berkat orang-orang pengrajin batik.

Tahun 1930, Pemerintahan Ekonomi Belanda mengutus seseorang yang bernama Cat Angelino untuk melakukan pendataan industri kecil di Kota Pekalongan. Hasilnya, di tahun 1930 tersebut ada 1000-an pengusaha batik di Kota Pekalongan, yang terdiri dari orang Arab, Tionghoa, Jawa, dan Eropa yang bermukim di Pekalongan. Walaupun pengusaha batik di tahun 1930 sudah sebanyak itu, namun waktu itu belum ada pencemaran lingkungan. Hingga menjelang tahun 2000 keatas, sungai di kota Pekalongan mulai tercemar oleh limbah yang sering digadang-gadang hasil dari pembuangan limbah batik. Tapi ternyata pernyataan itu tidak tepat.

Sekitar tahun 2000 di kota Pekalongan mulai muncul industri-industri batik yang menggunakan teknik printing atau sablon dengan alat plangkan yang besar-besar. Padahal batik printing tidak termasuk dalam Cultur Heritage yang diakui oleh UNESCO itu. Sebenarnya yang ada di Cultur Heritage yang diakui hanyalah batik tulis, batik cap, ataupun batik kombinasi keduanya, antara cap dan tulis. Bagi pengrajin batik cap maupun tulis, mereka menamai batik printing bukan sebagai batik, tapi tekstil bermotif batik. Memang sampai sekarang saja, batik printing masih diaku-akui sebagai batik. Akibatnya, stigma masyarakat tentang batik yang mencemari sungai masih belum terhapuskan.

Limbah yang disinyalir menjadi pencemaran air sungai ternyata datang dari Kabupaten Pekalongan yang air limbahnya mengalir hingga ke sungai Sirtu di Kecamatan Pekalongan Selatan, tepatnya di Desa Simbang Wetan. Untuk pengelolaan air limbah batik sendiri, sebenarnya di Kota Pekalongan sudah menyediakan IPAL (Industri Pengolahan Air Limbah) seperti yang ada di Jenggot dan Kauman. Sebelum limbahnya dibuang, batik yang diproduksi di Kota Pekalongan sendiri diolah dahulu limbahnya, tidak langsung serta merta dibuang. Berbeda dengan industri printing, tekstil, dan pencucian jeans.

Dari data Dinas Lingkungan Hidup Kota Pekalongan pun sudah membuktikan. Kalau batik yang asli dan yang diakui UNESCO bukan penyumbang limbah utama di sungai kota Pekalongan. Batik, baik berupa tulis maupun cap, hanya menghasilkan limbah sekitar 1437 m3 per harinya. Lebih sedikit dibandingkan dengan limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil bermotif batik, atau yang sering disebut printing atau sablon yang mencapai 2068,665 mper harinya. 

Jika dirata-rata, batik cap atupun tulis, hanya menghasilkan limbah sekitar 359,25 m3, sedangkan printing atau sablon menghasilkan limbah sekitar 517,166 m3, jauh lebih banyak dari limbah batik, yang diolah dahulu sebelum menghasilkan limbah. Tapi juga tak bisa dipungkiri kalau batik memang menggunakan bahan kimia.

Dengan masalah tersebut, biarlah menjadi introspeksi bersama. Kalaupun mencemari, apakah batik akan ditinggalkan begitu saja? Kan, sudah jelas batik bukanlah penyebab utama sungai tercemar, yang ternyata masih ada penyebab lain. Salah satunya, yang terbanyak di industri printing yang sering disalah kaprahkan sebagai bagian dari batik. Padahal, batik itu ya batik cap dan tulis, dan kombinasi keduanya. Jadi, tetap lestarikan batik, olah limbahnya dengan baik. Tidak perlu menutup usaha-usaha batik. Karena dengan menutup usaha batik secara sepihak, itu berbahaya bagi kelestarian warisan budaya itu. Lestarikan batik! Olah limbahnya!