Diakui atau tidak potret demokrasi kita kian berada dipenghujung senja, apabila tidak gercap menemukan cahaya maka ia akan terancam meredub dan hilang. Secara simbolik demokrasi kita kala itu telah diperjuangkan oleh segerombolan anak-anak muda dan mudi yang berselancar di atas gedung kura-kura.

Tercapailah, sebuah kado istimewa yang tidak terkira di awal reformasi berhasil menumbangkan arogansi rezim baja, saat Soeharto berkuasa. Meski demikian, tidak semuanya benih-benih Orba berlalu  karena watak kenegaraan yang lama masih tetap langgeng dan sebagian elite Orba masih berkuasa sebagai pemangku kebijakan inti. Bagimanapun juga, masyarakat sipil harus optimis memperjuangkan kado istimewa hasil reformasi ini dari gerogotan para elite pemburu rente karena sistim demokrasi adalah sistim yang ideal bagi keberagaman dan kehidupan bangsa kita.

Puncak nilai tertinggi dalam sebuah sistem demokrasi adalah tentang penempatan martabat dan kedaulatan rakyat untuk ikut eksis berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.

Pilar penting dalam negara demokrasi adalah penghargaan terhadap eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM) yakni adannya komitmen untuk melindungi (to protect), menjamin (to fulfill) dan menghormati (to respect) martabat dan kedaulatan hak rakyat. Sehingga dengan hal tersebut banyak harus dibuktikan secara sosial, ekonomi, kebijakan politik dan hukum.

Tentu pemerintah mempunyai peran strategis untuk dapat membuktikan hal tersebut, namun sangat disayangkan dimusim pagebluk Covid-19 seperti ini nampaknya gimik pemerintah terlihat gelepotan menghadapi arus deras tuntutan-tuntutan yang bersumber dari aspirasi masyarakat. Jika kita lacak sejak tahun 2019 era kepemimpinan rezim nawacita presiden Jokowi value kebijakan demokrasi kita sedang mengalami defisit keperpihakan kepada rakyat.

Berbagai gelombang protes tengah digencarkan oleh masyarakat sipil dalam merespon kebanalan regulasi, seperti UU KPK, UU Minerba, Omnibuslaw RUU Cipta Kerja, tuntutan pengesahan RUU PKS dan sampai kepada persoalan gonjang-ganjing kebijakan penanganan pandemi covid-19 hari ini. Rezim tetap saja bergeming dan masa bodoh untuk mempertimbangkan suara-suara yang sakral tersebut.

Potret lain terkait pelanggaran hak berekspresi, menyatakan pendapat, kriminalisasi kepada aktivis pro-demokrasi, Represitas mimbar akademik di kampus dan dugaan kuat fenomena pembredelan media sosial adalah kunci jika demokrasi kita mengalami resesi.

Menurut data yang dirilis oleh The Economist Intellegence Unit (EIU) indek demokrasi Indonesia sejak tahun 2010-2019 mendapat skor sebesar 6,48 poin dalam skla 0-10 dan menempati peringkat ke 64 dari 167 negara dalam daftar demokrasi global.

Sedangkan ditingkat Asia Tenggara tahun 2019 Indonesia kalah dengan tiga negara tetangga seperti, Malaysia, Timor Leste dan Mongolia. Instrument riset yang digunakan oleh EIU dalam mengukur indeks demokrasi tersebut melalui Proses Pemilu dan Pluralisme, Fungsi Pemerintah, Partisipasi Politik dan Kebebasan Sipil.

Nilai yang buruk didapat pada persoalan Kebebasan Sipil (5,59), Budaya Politik (5,63) dan Partisipasi Politik (6,11). Sedangkan untuk Proses Pemilu dan Pluralisme mendapat nilai (7,92) dan Fungsi Pemerintah (7,14).

Tokenism dan Regulasi Semau “Gue”

Mengutip pendapat Arstein dalam “A Ladder of Citizen Participation” (1969), bahwa partisipasi rakyat sebagai potret bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara pemerintah dan yang diperintah.

Arstein menganggap partisipasi tersebut ada 8 (delapan) macam yang kemudian diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yakni, Non Participation, Degree of Tokenism dan Degree of Citizen Power. Dari gambaran tersebut pemerintah kita dalam merumuskan kebijakan belum mencapai tahap pendelegasian kekuasaan, control masyarakat dan menjadikan rakyat sebagai mitra (citizen power), akan tetapi justru pemerintah tengah menampilkan wajah demokrasi kita yang memposisikan posisi rakyat hanya sebagai bumbu justifikasi kebijakan agar mengiya-kan alias “tokenism”.

Demokrasi kita hari bagai menemukan anomaly, dihulunya bersorak-sorak promosi tentang pentinya pemilihan yang melibatkan ratusan juta orang namun dihilirnya dikuasai oleh segelintir orang. Hasilnya sistem ini menjadi kotor, karena demokrasi berhenti di hulu namun hilirnya untuk semata-mata kemauan kekuasaan kelompoknya.

Produk hukum kontraversional yang saya sebutkan di atas adalah potret dari hasrat kepentingan elite oligarki yang bermahzab-fiqih politik transaksional. Penghuni gedung putih dan gedung berarsitektur kura-kura tersebut terdapat kemrosotan integritas. Problem utamanya adalah Perdebatan pendapat hanya ditentukan oleh pendengung yang menjadi aktor baru dalam ruang kompetisi dan narasi politik. Ironinya, diruang yang terbatas itu disetiap penyampain penderitaan rakyat dibatasi dengan menit dan pengeras suara dimatikan.

Buruh berteriak keras, Pedagang Kopi, Petani dan Nelayan merintih pelan-pelan dan kelompok minoritas gender dan agama kian terpinggirkan. Suara-suara rakyat yang menggelegar dari toa mobil komando dianggap tidak menjadi penting, tetap saja regulasi dikebut untuk mengamankan investasi yang minim proteksi keselamatan manusia.

Padahal pemerintah mengeluarkan regulasi atas dasar asas kebutuhan rakyat, sehingga konsekuensi logisnya rakyat mempunyai power participation. Kita bisa potret bagaimana kebijakan pemerintah dalam memutus ratai Covid-19.

Sejak awal rakyat sipil mendesak agar pemerintah menerapkan kebijakan lock down atau dalam istilah pasal 55 UU Karantina Kesehatan disebutkan sebagai karantina wilayah, akan tetapi suara-suara rakyat pun sama sekali tidak dijadikan sebagai prioritas utama justru pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Bersekala Besar karena alasan efektifitas ekonomi, PPKM Mikro, denda yustisi pelanggar prokes, kebijakan di tingkat daerah terdapat pembatasan jam operasional malam dan regulasi lainya yang sama sekali tidak menjawab atas kebutuhan rakyat.

Memilih sikap masa bodoh ala rezim saat ini, pertanda sinyal kematian demokrasi kita semakin dekat. Berbagai kebutuhan dan paket kebijakan yang semustinya untuk kemaslahatan rakyat diakomodir akan tetapi justru jeritan-jeritan rakyat  itu dianggap sunyi.

Kita Butuh Sistem Direct Democracy 

Prespektif demokrasi langsung (direct democracy) dalam konteks era saat ini tidak seperti demokrasi langsung ala Athena yang penduduknya hanya terhitung 300.0000 jiwa dalam satu polis (negara kota kecil).

Partisipasi aktif masyarakat dalam mengkontrol kebijakan pemerintah sangat diperlukan dalam memanajemen demokrasi kita. Bagaimanapun juga jabatan pemerintah dikehendaki karena mandat dari yang diperintah yakni, rakyat sebagai pemilik hak konstitusional.

Wacana demokrasi langsung merupakan suatu kebutuhan untuk menjawab resesi dan minim partisipasi. Konsep check and balance trias politica ala Montesquieu menjadi omong kosong ditengah postur politik dan watak kenegaraan kita saat ini.

Semangat demokrasi langsung dalam konteks ke-indonesiaan tertuang di Pancasila sebagai Philosofische Grondslag yakni disila ke-4. Akan tetapi, dalam implementasi demokrasi langsung kita hanya terbatas pada acara ceremonial mencoblos brengos para calon legislative dan eksekutif di Pemilihan Umum.

Semustinya konsep demokrasi langsung kita sudah saatnya mengalami redefinisi yang komprehensif. Kita bisa belajar selama satu dua dekade rakyat tengah dikalahkan oleh kekuasaan elite-elite pemburu rente, sehingga postur system demokrasi kita musti di rombak habis-habisan agar kepentingan publik tidak dianggap yang sepele. Maka setidaknya kebijakan system demokrasi kita memuat tiga hal penting yakni, referendum wajib, referendum opsional dan inisiatif populer.

Referendum wajib berbicara tentang referendum untuk amandemen konstitusi yang disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan harus melalui pemungutan suara popular. Untuk jenis referendum ini wajib diperlukan mayoritas ganda, yakni mayoritas warga pemilih dan mayoritas kota/wilayah harus memberikan suara untuk mendukung dan/atau tidak mendukung proposal tersebut.

Sedangkan hak untuk meminta referendum opsional merupakan ruh dari demokrasi langsung. Untuk refendum yang dilaksanakan, sekitar tiga pembagian wilayah Indonesia harus memintanya atau setidaknya 51% tanda tangan dari pemilih yang memenuhi syarat harus dikumpulkan dalam 60 hari.

Rancangan peraturan perundang-undangan baru mulai sah dijalankan apabila mayoritas dari mereka yang memberikan suara sepakat diperlakukan, sebaliknya jika mereka secara mayoritas memilih tidak diperlakukan maka peraturan tersebut tidak diberlakukan atau memberlakukan peraturan yang lama.

Contoh tersebut diatas gambaran ideal untuk diterapkan di demokrasi kita. Mengingat berbagai regulasi yang diciptakan oleh rezim nawacita akhir-akhir ini yang ditentang oleh masyarakat sipil selalu kandas.

Melalui pilihan untuk bejalan di arena demokrasi langsung seperti ini adalah salah satu cara untuk memotong lingkar Oligarki yang kian berkuasa. Sudah saya katakan diawal tampilan fungsi kesimbangan dan control antar lembaga negara sudah tak lagi bertaji, kekuasaan mereka hanya dibuat untuk saling berkolaborasi menyuburkan benih-benih Oligarki.

Sistem demokrasi Kita akan berada diunjung tanduk apabila postur desain politik dan sistim kenegaraan kita prematur. Rakyat hari ini tengah mencari sistem demokarisi yang obyektif yakni hasil kebijakan politik diinisisi karena kepentingan publik bukan hanya atas konsensi antar kelompok elit politik yang hanya mempunyai maksud tujuan untuk melanggengkan kekuasaannya semata.