Ku sajikan sajak untuk pemberi luka,

pemberi rasa dari segala rasa.

Pemberi duka yang ku kira cinta,

tak terucap dengan rangkaian kata.


Menulikan telinga,

membutakan mata.

Dan melumpuhkan jiwa dan raga,

aku kira ini suka ternyata duka.


Ku kira ini sebuah rindu,

ternyata sebuah sembilu yang menyayat kalbu.

Ku kira ini sebuah rasa semanis madu,

ternyata rasa yang mendatangkan tangis dan pilu.


Kepura-puraan yang diendapkan dan disimpan,

akhirnya terbongkar dengan sebuah kebenaran.

Sekarang ku menikmati kesendirian,

di sebuah pojok jalan kenangan.


Lantas mengapa kau masih menyuruhku terbang,

ketika kau sudah mematahkan sayapku untuk mencapai awang-awang.

Seolah kesempatan pun hilang,

dan diri ini terasa terbuang.


Kau menyuruhku untuk bicara,

namun setelah aku bicara kau bilang aku jangan mendikte saja.

Lalu aku pun memilih diam,

kau bilang aku terlalu bungkam.


Mana mawar indah yang kau beri?

Ah  ya , mawar itu sudah layu dan hanya tinggal duri.

Mana janji yang dulu kau tawarkan?

Ah ya , itu hanya sebuah ungkapan yang tak terealisasikan.


Cerita komedi berisi cerita tragedi,

mengiris dan menyayat hati.

Harapan yang kususun rapi,

dihancurkan seketika oleh ekspektasi yang tinggi.


Aku berupaya pergi bertujuan menghibur diri.

Namun, akhirnya hanya kenangan yang aku telusuri.

Akhirnya aku pun menyadari,

bahwa ternyata aku jatuh sendiri.


Aku mengirim rasa dengan perasaan,

namun kau terima dengan penolakan.

Aku memberi tangan untuk kau genggam,

kau meberiku duka yang menghujam.


Kau membuatku seperti seorang pujangga,

yang  menuangkan luka di setiap syairnya.

Seperti kisah Majnun dan Laila,

kisah kita pun membuatku seperti orang gila.


Di waktu malam yang sunyi,

aku duduk termenung seorang diri.

Hanya ditemani angin yang menyelimuti,

sambil menanti keajaiban dirimu kembali.


Hari pun telah berganti,

rembulan pun sudah menutup diri.

Mentari mulai menunjukkan diri,

dengan segala cahayanya yang  menyinari.


Tanda dimulainya kisah yang ironis,

yang mendatangkan tangisan yang mengiris.

Aku rasa ini terlalu tragis,

untuk dijadikan cerita seorang gadis.


Pemberi luka siap dengan tipu daya,

dengan jurus rayu dan menggoda.

Dengan mengimingi cinta mati dan selamanya,

yang menyimpan kepalsuan semata.


Ketika kita kembali berhadapan,

ada sesuatu yang ingin aku tertawakan.

Mengingat segala kebodohan,

yang sampai sekarang masih aku sesalkan.


Ketika melihat dunia yang luas,

kehidupan semesta yang sangat bebas.

Namun sayang,  belenggu ini  belum terlepas,

seolah semua harapan meminta untuk di tebas.


Kau membawaku untuk berlari,

namun , di tengah jalan kau pergi dan tak peduli.

Aku rasa kau tak mempunyai hati,

seenaknya kau menyakiti.


Kau bilang kita akan sehidup semati,

ternyata diriku dibohongi.

Kau bilang kita sejiwa dan seraga,

Ternyata itu hanya omong kosong belaka.


Mendekati seolah mencegah untuk pergi,

menyayangi seolah tak mau tersaingi.

Hahaha... sungguh kau penjahat yang keji,

meremukkan hati demi kepuasan sendiri.


Aku kuatkan diri supaya tak rapuh,

berusaha agar mahkotaku tidak terjatuh.

Aku kuatkan diri untuk tak mengeluh,

supaya kelak hatimu bisa tersentuh.


Lalu bagaimana dengan hatimu?

Hati yang amat keras dan beku.

Dapatkah aku membuatnya luluh?

Agar kehidupan ini menjadi sungguh.


Ku akui aku yang terlena,

termakan rayuanmu wahai pemberi luka.

Tapi apakah bisa kau berubah?

Agar kehidupan menjadi indah.


Apa selamanya kau akan memberi luka?

Apa selamanya kau akan mendatangkan duka?

Kuohon jangan...

Biarlah kesengsaraan hilang tinggal kenangan.


Wahai pemberi luka,

ku mencoba merangkai banyak kata.

Untuk kau lihat dan kau baca,

barangkali hatimu bisa terbuka.


Saat ini...

Aku masih saja menari,

menari di hamparan impian,

dengan tarian yang aku suguhkan.


Jantungku masih saja menyenandungkan irama,

irama dengan alunan cinta.

Bibirku masih ingin berucap kasih,

Meski kau balas dengan belas kasih.


Wajahmu masih kulukis,

ku lukis dengan tangan dan mata yang menangis.

Lewat guratan kata,

ku haturkan segenap rasa.


Rasa ini tidak akan hilang dalam hitungan masa,

meski banyak diselingi dengan derai air mata.

Ya ,dalam derai air mata.

Dalam cinta yang terpendam rahasia.


Wahai pemberi luka,

berhentilah berdusta.

Kau selalu menebar janji,

janji yang terpatri dan tak kau tepati.


Wahai pemberi luka,

apakah pikiranmu mengatakan hal yang sama?

Berharap hidup bersama,

dengan menghilangkan segala duka.


Setitik kebencian,

akan membuahkan penderitaan.

Setiap kecintaan,

akan membuahkan kebahagiaan.


Saat ini...

Setiap hari ku meniti,

meniti benang kasih yang kau berikan.

Agar kehidupan ini selalu bisa dipertahankan.


Wahai pemberi luka,

aku tidak menuntutmu untuk menjadi yang sempurna,

yang aku inginkan kau melewatiku dengan sapa,

sapa yang membawa tawa.


Seperti hujan yang mencintai airnya,

seperti rembulan yang mencintai malamnya,

seperti matahari yang mencintai cahayanya,

seperti itulah aku yang mencintaimu wahai pemberi luka.