Mengheningkan Cipta untuk Cita-cita
setiap setahun sekali,
bendera-bendera dikibarkan,
hiasan-hiasan digantung
sepanjang jalan,
permainan-permainan
dilombakan, dan
merdeka-merdeka
pun diteriakkan, lalu usai,
dan setiap senin sampai
jumat, kita akan bertemu
kembali di jalanan, sembari
mengeluh, marah, dan memaki,
persetan dengan merdeka,
aku harus secepatnya sampai
di tempat kerja, duduk dan
menerima perintah seharian,
hingga senja menjelang
dan kita bertarung lagi
di jalanan, berebut menuju
pulang agar bisa sejenak istirahat mengumpulkan tenaga untuk
mengeluh, marah dan memaki
lagi di jalanan esok hari,
kemerdekaan telah usai, dan mati,
hadap kanan hadap kiri,
balik kanan balik kiri,
kepada upah
di setiap awal atau akhir bulan,
hormat gerak.
Dan teruntuk setiap mimpi dan cita-cita masa kecil yang tergantung tinggi di angkasa, marilah kita mengheningkan cipta:
'Mengheningkan cipta untuk cita-cita, mulai.'
Sedikit Hujan Banyak yang Basah
pagi tadi, ku panjatkan doa
beserta keluh kepada Tuhan
meminta hujan agar turun
mendinginkan cuaca
yang terlampau gersang,
dan siang pun mendung
mengandung tanda
sore akan terkabulkan,
namun tak ku ketahui,
ada doa lain di langit,
doa agar tak hujan,
doa dari penjual es,
di pinggir jalan, ingin
dagangannya cepat laku,
sebab ia harus menebus
obat dan membeli beras,
dan ternyata, ada juga
doa lainnya, dari manusia,
tepatnya wanita paruh baya,
yang tinggal sendirian,
meminta hujan tak turun
di kota hujan, karena ia belum
sempat betulkan atap rumahnya,
dan ada doa seorang tukang ojek,
doa agar tak hujan, sebab ia
kehilangan kacamatanya, dan
belum juga dapatkan penumpang.
Tepat diwaktu sore, hujan pun turun:
'Menghujani kota hujan dan membanjiri khatulis-jiwa.'
Wahai Tuhan, Mengapa?
satuan, belasan, puluhan,
ribuan, jutaan bahkan
mungkin lebih, manusia
lain yang masih berjibaku
melawan perutnya
yang perih, mengais makna
kehidupan dari keadaan
yang serba kurang,
menenteng muram harapan
yang tak pernah,
berujung riang, sungguh,
aku hanya bisa mengutuki diri,
aku hanya bisa bercermin, dan
bersusah hati, seakan tak
berdaya membantu mereka
yang, lebih tak berdaya,
wahai Tuhan, bolehkah
aku bertanya, sekali saja,
apakah ibadah-ku dapat
ditukar rupiah untuk
membelikan mereka rumah,
sebab aku merasa miris,
bahwa di ujung sana, orang-orang
berlomba menafkahi masjid
dengan dana miliaran rupiah,
bahwa di ujung sana, orang-orang
bercerita tentang naik haji
untuk yang kesekian kalinya,
mengapa orang-orang kaya itu
tak menafkahi perut mereka
yang kelaparan saja, mengapa
orang-orang itu tak menaikan
derajat kehidupan mereka
yang ada di bawah saja,
mengapa, mengapa
dan mengapa.
Wahai Tuhan-Ku, aku rasa ada sesuatu seperti tersendat di tenggorokan:
'Entah ludah atau mungkin sebuah ironi yang sudah gundah dan resah.'
Ganjil Genap Klandestin
Aku adalah satu, dari sekian banyak manusia yang membeku
Aku adalah orang asing bagimu, bahkan orang asing bagiku
Tapi kita semua adalah orang asing, bagi dirinya masing-masing
Dari berbagai pelarian dan kebodohan,
yang membuat terasing
Dan aku tidak merasakan apa-apa setiap hari aku hidup
Dan aku tak peduli dengan kehidupan yang kian meredup
Persetan dengan itu, bahkan setan pun akan tersaruk mati
Kapan dan bagaimana, aku tidak akan pernah peduli
Hidup memang dapat dirubah, namun mengapa harus dirubah?
Kehidupan saat ini sama saja dengan kematian esok hari
Begitu perlahan dan mengelupas darah
Oh, bukankah manusia lain di belahan bumi lain mati hari ini?
Merefleksikan sisi pada satu koin yang sama
Pilihan untuk merubah atau merebut hidupnya?
Dan aku akan berhenti berpikir, kala pemikiran tak lagi dihargai
Kala kemewahan menjadi orietasi dari segala standarisasi
Sialnya, aku sudah dihukum karena menolak untuk berdusta
Namun, jika hidupku adalah harga maka aku akan membelinya
Aku tidak sepertimu, aku menolak untuk berpura-pura
Dan jika kepalsuan sudah dianggap asli, itu adalah hampa
Tapi aku menemukan diriku sendiri dalam kehampaan ini
Dan belajar untuk menerima segala yang alpa dan imitasi
Hari akhir sudah dekat tapi tak ada rasa yang berakhir
Aku dapat merasakan detak waktu dan denyut takdir
Sungguh aku adalah orang asing bagimu, bahkan orang asing bagiku
Namun kemarahan yang ramah telah memberi nafas buatan bagiku
Aku bangga, karena dalam kehidupan yang begitu absurd dan semu
Aku tak pernah menjadi bagian dari kepalsuan kawananmu
Hidup memang dapat dirubah, namun sekarang sudah kurebut
Kehidupan saat ini sama saja dengan merayakan kematian esok hari
Begitu perlahan dan mengocok perut
Oh, bukankah manusia lain di belahan bumi lain lahir hari ini?
Hidup Itu Biasa, yang Luar Biasa adalah Menghidupi Hidup yang Telah Mati
hidup tak adil, katanya,
tapi adil terlalu luas,
bagaikan samudera
tuk manusia konstruksi
bentuk mapan dan idealnya,
mungkin hidup memang tak adil,
bagi beberapa manusia
yang tak sempat dan tak kuasa
menemukan cinta, dari hal-hal
besar yang terlihat kecil, seperti
oksigen, senyuman, keringat,
tidur, makan, minum, buang hajat,
dan lain sebagainya, meskipun
kita tak akan pernah memiliki,
uang tuk melunasi seluruh ambisi,
tetapi, seperti yang sudah biasa,
kita tetap melanjutkan hidup,
se-suram, se-ironi, se-kecewa,
se-menyedihkan, se-menyakitkan
apapun itu, takdir tetap diterima,
dengan lapang dada dan jiwa,
mungkin kita harus setuju,
dengan penyair merah dan biru
yang diasingkan ke pulau buru,
yang lantang berkata bahwa
hidup sungguh sangat sederhana,
yang hebat-hebat hanya tafsirannya,
mungkin memang begitulah adanya,
dan nampaknya kehidupan itu
seperti puisi, biasa saja, yang mewah
adalah diksi, metafora, rima,
dan proses pembuatannya,
dan langit adalah rumah dari
segala klandestin dan kontemplasi,
tempat harapan dan makna
terlahir ke muka bumi.
Sungguh hidup itu memang sangat biasa sekali, yang membuatnya luar biasa adalah tafsir dan transfigurasinya:
'Saat manusia menafsirkan tragedi lalu mentransfigurasikan-nya menjadi api, hingga menyala dan menerangi kebahagiaan-kebahagiaan kecil seraya merayakannya.'
Filosofi Insureksi
Bagiku, kewarasan adalah kesintingan yang gila;
Kita seharusnya benar-benar menyala.
Tapi aku malah ditinggalkan tanpa siapa pun kecuali diriku sendiri,
dengan kekosongan yang penuh isi.
Dan, aku sedikit mual berada di sini.
Bersama sekumpulan keramaian, berisi sendiri yang tak kasat nyata.
Sebuah lelucon klasik dan ironi;
Krisis eksistensial perlahan menggerogoti makna.
Aku tertawa karena sebentar lagi akan tiba masa kelahiran tragedi.
Kala badut-badut pembual mulai pergi ke pertunjukan sirkus paranoia.
Namun, kata-kata dusta adalah bayangan senja kala dari nirmakna.
Kala orang-orang berlarian menuju satu titik dengan penuh benci dan dasi.
Mereka pucat, sedikit lecet dan ringkih,
menderita buta warna, namun berpakaian rapih.
Punggungnya melengkung dalam penjara yang dikultuskan;
Menjilat pantat predator pemuncak hingga bersih.
Kegiatan yang bagiku begitu kotor dan menyedihkan.
Dan aku lebih baik mati dalam kakus,
berukuran satu kali satu meter.
Atau dengan onggokan kranium di kardus,
lalu layu bak bunga nokturnal di hadapan senter.
Daripada harus mengikuti petuah kolot.
Dan menjalani keseharian bak robot.
Pemberontakan pada kebodohan,
membuat darahku mendidih bahagia.
Dan aku tidak peduli dengan seberapa
banal dan brutalnya hantaman realita.
Sungguh perlu kau tahu bahwa dalam diriku, ada sesuatu yang lebih baik.
Sesuatu yang lebih tengik, akan selalu menyerang dan melawan balik.
Karena aku,
adalah anak haram hasil katastrofi.
Karena aku,
adalah anak kandung dari Amor dan Fati.
Jadi, Siapa yang Gila?
setiap orang yang hidup,
dalam dunianya sendiri
adalah gila, ada Diogenes
yang masturbasi di pasar,
Nietzsche yang percaya
Tuhan telah mati, dibunuh
oleh manusia, Rumi yang
mabuk oleh Tuhan dan cinta,
Einstein yang berkata,
tak ada ruang atau waktu,
yang ada hanya kombinasi
keduanya, Darwin yang berujar,
semua makhluk berevolusi,
Columbus yang kukuh,
bahwa di sisi lain ada benua,
bukan jurang, Edmund yang teguh,
bahwa manusia bisa sampai
di puncak gunung tertinggi, lalu,
Sid, Lennon dan Kurt
yang eksentrik, menciptakan
jenis musik yang nyentrik
dan autentik, lalu ada
Picasso, Dali dan Kahlo
yang surreal, menciptakan
aliran seni yang kelam,
dan muram, dan masih banyak
orang lainnya, yang berani
hidup dalam dunia mereka
sendiri, mereka semua adalah gila,
namun, sungguh, perbedaan gila
dan jenius sepertinya hanya
ada di persepsi saja, tapi sialnya,
kebanyakan orang jenius itu
terkenal, sedangkan orang
yang katanya gila menurut
masyarakat itu tidak.
Akan tetapi tetap saja, baik gila maupun jenius, kebanyakan orang tidak dapat mengikuti dan mengerti jalan pikiran keduanya:
'Jadi sebenarnya yang dungu itu siapa?'