Siklus

Ketika cahaya dari langit menebar cinta di bumi,
alam bersorak ria bergema hingga ujung semesta


Jejak kaki bertebaran memburu serpihan surga,
Bocah-bocah lincah menari dibawah cakrawala

Ketika matahari di puncak kepala
Tiada lelah membakar samudra
Gemuruh mesin menetas butir-butir keringat
Hingga terikat lekat pesona dunia

Ketika senja menyapa di depan mata
Burung-burung terbang kembali kerumahnya
Cahaya hilang dalam sekejap
Rombongan gelap bersiap menyergap

Ketika malam menghampiri jagat raya
Jutaan mata terpejam melepaskan duka
Suara-suara kehidupan di telan keheningan
Sesekali jam berdetak berusaha memecah ruang hampa

Tibalah saatnya kertas-kertas itu lusuh
pena sudah mengering dan kau tak menulis lagi
Sampailah waktunya daun-daun berguguran
tunas baru akan tumbuh, hari baru telah datang

Untuk Perempuan yang Baik

Akhirnya kau memilih pergi
Setelah sekian hari tanpa kepastian
Bersandar di bahu ketidakwarasanku
Jalan berdua dengan segala khayalan palsu

Bukan tanpa alasan ketika gelap menyergap
Jangan salahkan hujan menghalang segala pandang
Tak perlu ada kata-kata yang keluar dari mulutmu
Karena kesadaranku bisa menjawab setiap keputusanmu

Aku lelaki biasa dengan langkah tak berirama
Kaum urakan dari sebuah negri yang asing
Baju compang-camping kotor dan bau
Tentu saja tak bisa mengikuti tajamnya asa kehidupanmu

Kau adalah pelaku kenangan yang menjadi guru
Mengajarkan kenyataan dan harapan hidupku
Kau adalah pena bagi puisi di lembaran lama,
menjadi buku, tersimpan rapi di lemari kecilku

Sudah seharusnya kau melangkah ke depan
Lepaskan yang harus di lepaskan
Pelangi menunggumu setelah hujan sore ini
Memberi kepastian senyum di wajahmu

Anak Rantau

Ibu... 

Aku mulai gamang melihat kehidupan di tanah perantauan

Menyaksikan riuh jalanan yang sudah tidak ramah lagi

Suara bising kenalpot kendaraan, orang-orang kesurupan

Saling mencaci, memaki, bertikai dan menjatuhkan saudaranya sendiri. Bukan lagi suatu hal yang mengejutkan bagi hidupku kini.

 Ibu...

Orang-orang berjalan menuju peradaban yang tak ku kenali

Mereka berlari kencang, tak ada tegur sapa bahkan tak mengenali tetangga sendiri

Mereka sudah lupa manisnya bertetangga, tak ada tata krama seperti yang ibu ajarkan kala itu.

Ibu..

Meski seringkali tersingkir dianggap norak dan dijauhi

Anakmu berjuang sendiri memelihara kesadaran, seperti yang kau ajarkan. 

Meski sulit dan bahkan tidak masuk akal menjadi orang baik

Eling Waspada masih anakmu pegang menjadi sebuah prinsip. 

Ibu...

Seharian ini anakmu di dapur, memasak sayur asam dan sambal terasi. Tentu ibu sudah tau rasanya masakan anakmu seperti apa

Tapi, ada saatnya setiap anak akan meniru apa yang di lakukan ibunya, semata mata untuk menghadirkan kenangan manis bersama di masa kecilnya.

Ibu... 

Apa kabar dusun kita?

Masih adakah nyanyian-nyanyian di surau menjelang shalat maghrib? 

Masihkah orang-orang bertegur sapa? 

Masihkah anak-anak bermain di bawah rembulan saat malam hari tiba?

Atau kini semua itu sudah menjadi kenangan semata?

Suara Sunyi

Awan hitam melukis langit putih

Burung gagak terbang dengan letih

Debu debu jalanan tersorot lampu kota

Lalu lalang kendaraan seperti riuh ombak samudra

Suara suara yang tak sampai kepada kata, adalah doa sunyi yang maha

Hembusan nafas  serpihan perih

Menebarkan kemurnian cinta dengan lirih


Pohon-pohon yang tenang merunduk sepi

Sinar rembulan menelanjangi malam

Keruh air code tak bisa bersembunyi

Tiga ekor belibis berbaris menjadi saksi


Gelapnya gua cermai mengurung kesunyian

Rumput rumput liar menutupi batu batu

Harapan dan luka selalu menyatu

Dan sejarah selalu bercengkrama dengan waktu


Sajak Kaum Alami

Kami hidup dalam dunia yang alami
Di kelilingi pohon pohon yang aneka
Harum bunga masih terjaga senatiasa
Semua ada, semua tertata , semua milik kami

Kami hidup dalam dunia yang alami
Bening air kali masih mengalir deras
Tempat orang menjalankan hari dengan hati
Tangan tangan lincah para pekerja keras

Kami hidup dalam dunia yang alami
Tak ada bedanya udara pagi atau siang hari
Bocah bocah berkaki telanjang menantang sepi
Menghidupkan malam malam untuk setia bernyanyi

Kami hidup dalam dunia yang alami
Beralaskan keikhlasan dengan akar silaturahmi
Menjalani cerita dengan pucuk pucuk nilai
Berlari dari bisikan egoisme iblis yang lalai

Kami hidup dalam dunia yang alami
Membersihkan debu debu yang terbawa angin lalu
Menjaga titipan para leluhur bumi pertiwi
Meruwat warna warna baru

Sebelum Malam
 
Senja yang tak pernah ingkar janji
Menanti di sela-sela riuhnya jejak kaki
Persinggahan melepas segala dendam
Duduk bersandar menyalakan sepi

Melesat jauh kereta api berbalik arah
Melewati lorong-lorong yang sama
Dan air mata tak akan pernah salah
Ia akan runtuh seketika, saat waktunya.

Akan selalu ada sesal yang mengental
Dari setiap sikap dan pernyataan
Kemudian akan membayang dan menghentikan
Kepada setiap langkah sama untuk segera ditinggalkan

Debu-debu bertebaran sepanjang jalan
bersenandung rindu bersama angin
Kemudian pelangi datang seperti selendang
sesaat sebelum malam menelan segala rupa