Seiring dengan perkembangan zaman menuju dunia yang tanpa batas, internet telah menjadi jawaban atas berbagai masalah yang dialami oleh manusia dalam berkomunikasi serta mengetahui suatu informasi dari suatu tempat dalam waktu yang sangat singkat.

Disisi lain, maraknya penggunaan internet telah menuai banyak kontroversi, terutama di zaman millenials ini.

Hampir semua isu mengenai pergerakan masa dan aksi yang dilakukan oleh golongan tertentu dalam mengarahkan dan mendukung suatu kepentingan dilakukan melalui jaringan nirkabel atau yang kita kenal dengan internet.

Upaya memobilisasi masa dari berbagai penjuru wilayah untuk berhimpun dan menyatukan langkah tampak menuai buah yang menarik perhatian banyak orang untuk turut menyuarakan ekspresi melalui barisan kalimat yang tertuang dalam berbagai komentar facebook, postingan instagram, cuitan twitter, beranda line, ataupun berbagai wadah lainnya dalam media sosial.

Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) telah merilis data yang menunjukan bahwa sepanjang tahun 2016 sebanyak 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet, atau sebesar 51,8 % dari total penduduk Indonesia. 

Melihat keniscayaan tersebut, tidak heran jika konflik-konflik yang telah kita saksikan bersama dalam realitas sosial saat ini beberapa diantaranya disebabkan oleh perbedaan pandangan yang berasal dari internet. Bahkan beberapa kasus yang dahulu umum dilakukan dalam dunia nyata, nampaknya  saat ini mudah saja dilakukan melalui dunia maya. Salah satunya isu yang marak terjadi  terutama pada generasi millenial adalah Cyber Bullying.

Konteks Historis Cyber Bullying pada Generasi Millenial

Berkembangnya teknologi informasi terutama internet nyatanya telah melahirkan dampak negatif bagi sebagian penggunanya. Dampak yang ditimbulkan, tidak hanya menyasar golongan tertentu saja, akan tetapi sering kali menimbulkan dampak yang lebih luas. Beberapa kasus bahkan telah menjadi isu nasional pada beberapa negara tertentu. 

Khususnya di Indonesia, beberapa konflik yang mengangkat isu politik sampai pencemaran nama baik para artis dengan cepat menyebar luas dengan hanya menekan sekali  tombol enter dalam perangkat komputer. Perbedaan pandangan dengan mudah dilontarkan dengan hanya melalui dunia fiksi tanpa harus repot-repot pergi keluar rumah.

Kemudian hal tersebut menimbulkan dampak yang tidak main-main. Hanya dalam hitungan menit, postingan yang mengarah pada isu yang kontroversial dengan cepat mengundang pro dan kontra para netizen. Pada akhirnya keadaan ini telah melahirkan masyarakat yang terkotak-kotak dan menciptakan kubu proposisi dan kontraposisi yang hanya berlindung dibalik layar.

Sebelum berkembangnya dunia teknologi informasi, perilaku yang mengarah pada kekerasan baik fisik maupun psikis masih dilakukan dengan cara tradisional atau dilakukan secara langsung oleh si pelaku kepada korbannya. Menurut Ayunintgyas  (2013),  perilaku cyberbullying  di  Indonesia sebenarnya adalah  masalah  baru seiring  dengan  perkembangan teknologi  informasi. 

Belum banyak penelitian yang memfokuskan diri untuk mengangkat masalah ini sehingga kasus cyberbullying  ini  juga  tidak dapat  terungkap  kepermukaan seluruhnya, padahal dampak kasus ini  cukup berbahaya. Dengan semakin canggihnya dunia online, tindak kekerasan dapat lebih mudah disampaikan melalui jaringan online.

Beberapa berpendapat bahwa si pelaku dapat dengan leluasa mengekspresikan apa yang diinginkannya kepada korban. Perilaku kekerasan yang disampaikan melalui media online sering disebut sebagai cyberbullying.

Menurut  Hertz (2008), cyberbullying  adalah  bentuk penindasan  atau kekerasan dengan bentuk mengejek, mengatakan kebohongan, melontarkan kata-kata  kasar, menyebarkan  rumor  maupun melakukan  ancaman  atau berkomentar agresif yang dilakukan melalui media-media seperti email, chat room, pesan instan, website (termasuk blog) atau pesan singkat (SMS).

Hinduja & Patchin (2009), dan Smith, dkk (2008) mengadaptasi definisi bullying dari Olweus, yaitu cyberbullying adalah  perilaku agresif,  intens,  berulang  yang dilakukan  oleh  individu  dan perorangan  dengan  menggunakan bentuk-bentuk  pemanfaatan teknologi  dan eletronik sebagai media untuk menyerang orang tertentu.

Sejarah kasus cyberbullying di Indonesia telah muncul beriringan dengan masuknya teknologi internet terutama media sosial. Umumnya, mereka yang mengenal istilah cyberbullying merupakan mereka yang masuk kedalam kategori kaum millenials dan kejadian itu akan terus berlanjut hingga sekarang.

Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying (2016).

Beberapa tindakan di antaranya adalah cyber stalking (penguntitan di dunia maya yang berujung pada penguntitan di dunia nyata), doxing (mempublikasikan data personal orang lain), revenge pom (penyebaran foto atau video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan intimidasi dan pemerasan) dan beberapa tindakan cyberbullying lainnya.

Menelusuri dampak Cyber Bullying Pada Generasi Millenials

Cyberbullying dalam dunia maya berpengaruh besar pada kehidupan remaja, dalam hal ini Willard (2004) dalam Juvonen (2008)  menyatakan tidak ada jalan keluar dalam cyberbullying  (no  escape). 

Juvonen  (2008)  juga  menjelaskan para remaja  enggan  memberitahu orang  tua  mereka  mengenai insiden-insiden  online yang  terjadi pada  mereka  disebabkan  mereka tidak  mau  orang  tua  membatasi kegiatan online mereka.

Oleh karena itu, Juvonen berkesimpulan  cyberbullying  bisa menjadi beban bagi para remaja karena dapat terjadi untuk waktu yang lama. Menurut  Patchin  & Hinduja  (2012),  seseorang  yang menjadi  korban cyberbullying  adalah seseorang yang juga menjadi korban bully di sekolah. 

Adapun para pelaku  cyberbullying  adalah orang-orang yang cenderung agresif dan sering melanggar  aturan (Ybarra  &  Mitchell,  2007,  dalam Hinduja  &  Patchin  2012). Dampak cyberbullying  hampir sama dengan bullying tradisonal bahkan dampaknya bisa lebih dari traditional bullying (Ayunintgyas, 2013).

Sebagai seorang yang sama-sama merupakan generasi millenials, penulis juga merupakan pengguna aktif internet dan memiliki berbagai akun media sosial seperti facebook, twitter, instagram, maupun line. Berangkat dari pengalaman pribadi selama hampir 4 tahun memiliki akun media sosial, terutama facebook, penulis kerap kali menemukan kasus-kasus yang senada dengan cyberbullying ini.

Salah satu kasus yang pernah penulis alami sendiri adalah melihat teman sendiri dibully habis-habisan. Bukan dengan kontak fisik, melainkan dengan kalimat-kalimat yang menebar kebencian. Korban merupakan seorang anak laki-laki yang berinisial R yang saat itu adalah teman satu sekolah.

Sebelum viralnya kasus cyberbullying, R ini sebenarnya juga telah di bully di sekolah dengan alasan keadaan fisiknya yang tidak sempurna. Perilakunya yang pendiam, membuat para pelakunya semakin berani untuk melakukan tindakan yang menyudutkan korban R. Seperti tindakan-tindakan fisik yang mengarah kepada kekerasan.

Hingga di tahun pertama, belum ada siswa yang berani melakukan tindakan pembelaan, karena para pelaku terdiri dari beberapa siswa yang memang memiliki arogansi yang cukup tinggi.

Kasus ini kemudian pernah melibatkan pihak sekolah, namun tindakan yang dilakukan oleh pihak sekolah kala itu belum membuat para pelaku ini jera. Mereka beralih dengan menggunakan media lain seperti facebook. Akun facebook yang di miliki R sering kali menjadi sasaran para pelaku ini untuk menuai kebencian kepada R dan hal ini masih dilakukan hingga saat ini.

Namun, menurut analisa penulis, pengguna media sosial yang menyaksikan cyberbullying tersebut cenderung diam, kalaupun ikut berkomentar, itu hanya sebatas dukungan kepada pelaku berupa pelecehan melalui kalimat-kalimat yang menjatuhkan korban.

Kasus tersebut sudah tentu berdampak pada kepribadian R. Ia semakin menarik diri dari lingkungan sekitar, merasa kurang percaya diri, dan selalu di hantui oleh rasa takut. R yang dahulu penulis temui setahun lalu, justru menunjukan sikap yang sangat berbeda setelah setahun setelahnya.

Hal ini berdampak juga pada prestasinya disekolah. Ia jadi tidak percaya diri ketika dipanggil untuk maju ke depan kelas, selalu murung dan lebih suka memilih tempat duduk di belakang, bahkan R menjadi sering keluar masuk ruang bimbingan konseling di sekolah karena kepribadiannya itu.

Kasus yang menimpa R ini sebenarnya sejalan dengan apa yang dilansir dari Dinas Kesehatan, 2015. Korban cyberbullying pada umumnya mengalami masalah kesehatan secara fisik dan mental. Gejala fisik meliputi selera makan hilang, sulit tidur atau gangguan tidur, keluhan masalah kulit, pencernaan dan jantung berdebar-debar.

Sedangkan gejala Psikologis meliputi rasa gelisah, depresi, Kelelahan, rasa harga diri berkurang, sulit konsentrasi, murung, menyalahkan diri sendiri, gampang marah, hingga bunuh diri (Dinkes, 2015)Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh R nyatanya merupakan dampak-dampak dari tindakan bullying, baik bully yang dilakukan secara langsung maupun melalui media sosial facebook yang kita kenal sebagai cyberbullying.

Alternatif Solusi dalam Meminimalisir Dampak Cyber Bullying Pada Generasi Millenials Melalui “Sahabat Siber”

Beralihnya fungsi penggunaan internet menjadi sarana bullying menimbulkan dampak yang serius bagi korbannya. Terlebih jumlah pengguna internet kian hari kian meningkat yang menjadikan mobilisasi arus informasi menyebar dengan cepat. Akibatnya, tekanan yang diterima oleh korban cyberbullying akan semakin tinggi. 

Hal ini menjadi menarik, karena salah satu karakteristik dari generasi millenials adalah cenderung tidak begitu peduli dengan keadaan sekitar. Walaupun mereka melihat kasus bullying melalui kata-kata yang bernada kekerasan secara langsung, pelecehan dan sebagainya, mereka justru cenderung akan membiarkan dan hanya menjadi penonton.

Bahkan yang lebih parah lagi adalah menjadi pengikut si pelaku cyberbullying. Itulah mengapa korban yang menjadi sasaran cyberbullying memiliki dampak yang lebih parah dibanding bullying yang masih tradisional.

Maraknya kasus cyberbullying telah menimbulkan dampak bagi banyak korbannya. Dampak yang ditimbulkan pun dapat  lebih berbahaya dibandingkan dengan bullying yang dilakukan dengan cara langsung. Cerita yang dialami oleh R tadi telah menjadi contoh kasus yang secara nyata merupakan dampak negatif dari cyberbullying.

Minimnya kesadaran seseorang untuk melaporkan kasus cyberbullying, menginisiasi penulis untuk membuat sebuah komunitas berbasis online yaitu “Sahabat Siber” atau “Sahabat Siaga Cyberbullying”.

Komunitas ini memungkinkan seseorang untuk melaporkan kejadian cyberbulling di media sosial dengan hanya melaporkan melalui media online kepada komunitas yang anggotanya adalah para relawan yang peduli terhadap isu kekerasan berbasis online. Peran-peran yang dapat dilakukan oleh komunitas Sahabat Siber diantaranya adalah sebagai berikut:

  • Melakukan advokasi kepada pihak terkait sesuai dengan laporan yang diterima untuk menindak pelaku cyberbullying.
  • Melakukan kampanye terkait dengan penghentian cyberbullying, baik melalui media cetak, maupun media online.
  • Melakukan mediasi dengan pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan masalah baik dari pihak pelaku maupun pihak korban.

Dengan adanya Sahabat Siber, memungkinkan para pelapor tidak harus datang langsung ke pihak yang bertanggung jawab. Para pelapor hanya mengirim pesan secara online melalui komunitas ini dengan menyertakan bukti-bukti apabila terdapat kasus cyberbullying di media sosial.

Melalui sistem ini, para pelaku cyberbullying dapat dengan cepat terdeteksi dan akan mempermudah para anggota komunitas ini  untuk segera melakukan tindakan dalam menyelesaikan masalah. Dengan cara ini, diharapkan pelaku cyberbullying akan diminimalisir dan memungkinkan jumlah korban bullyng akan menurun.