“ Fa ..., gimana progres kuliahmu? Tak bantuin ngerjain tugas poo? Ayo, kapan kita jadi ngopi ? Fa.., kok ndak kamu bales to …”. Pesan spam dari kakak tingkat (kating) SKSD (sok kenal sok dekat) memberondong kolom whatsapp saya. Nada pesannya seolah tak sabar dan sedikit memaksa untuk bertemu dengan saya.

Sebenarnya saya gatal ingin memblokirnya, tapi saya tidak punya cukup keberanian. Saya tidak mau urusannya panjang. Saya ini cuma maba. Kata orang-orang, maba jangan sampai punya masalah sama kakak tingkatnya. Akhirnya, setelah melalui perenungan panjang, saya mengumpulkan keberanian menjabani kemauannya.

Kami janjian di cafe dekat kampus. Saya menunggunya di meja nomor 3 depan kasir kala itu. Tak berselang lama, nampak sosok pemuda datang seraya mengucapkan salam. Saya yang kala itu menunduk mengerjakan tugas langsung mendongak seraya menjawab salam. “Syafa?” tanya pria tersebut. “Haah,” Jawabku singkat.

Kami sedikit basa-basi membahas kondisi perkuliahan kala pandemi. Namun obrolan kami kikuk, kami tak saling menatap. Mas-mas tersebut nampak sibuk menyimak gawainya, sedangkan saya telah menyisihkan gawai sejak pertama ia tiba. Parahnya lagi ketika saya beranjak pulang, saya tidak ditanya "apa mau diantar pulang ?", padahal saya jelas-jelas jalan kaki sendirian.

Sejak perjumpaan itu, kating sama sekali tak mengirim sepatahpun kata ke kolom chat saya.

***

Sejak kejadian di semester 1 silam, membuat saya semakin benci pada figur diri. Setelah saya bersusah payah melewati masa pemulihan untuk bangkit dari bekas kecelakaan hebat yang menggurat separuh wajah saya, hal yang cukup menjengkelkan datang kembali secara tak terduga. Penyesalan besar pun turut mewarnai hari-hari saya semenjak pertemuan di cafe itu.

Saya tidak cantik, pendek, gendut seharusnya tau diri. Maka sekiranya mas-mas tersebut cukup patut memperlakukan saya dengan perlakuan menjengkelkan demikian. Meski mas-mas tersebut memang tak melakukan perundungan secara verbal, tapi saya ini wanita, saya cukup paham dan merasa.

Saya tumbuh menjadi sosok yang trauma memandang semua pria. Semacam ada luka yang kembali membara jika bersinggungan dengan mereka. Ya …, kejadian kala itu turut berbuntut panjang pada kesehatan mental saya. Sampai-sampai saya punya banyak ide gila sekadar untuk mewujudkan perolehan atensi yang selama ini tidak saya dapati.

Berbekal sisa tabungan, saya merombak tampilan diri. Baju-baju branded satu persatu mulai saya beli. Langkah kedua saya benai feed instagram sehingga tampak kekinian. Ditambah lagi kemampuan photoshop saya yang lumayan, saya cukup siap merombak foto saya untuk tampak lebih ciamik.

Berat badan saya 55 kg, tinggi 150 dengan kulit abu-abu metalik, sangat bisa saya manipulasi sehingga tampak tinggi kurus dengan kulit kuning berseri. Kemampuan saya memanipulasi foto bisa dibilang “ndak ngisin-ngisini” karena saya juga pernah dapat sertifikasi. Bahkan tak butuh waktu lama, saya terbukti bisa menarik atensi rakyat instagram dengan banyaknya DM yang minta nomor WA.

Saya cukup terhibur atas usaha saya. Saya memperoleh perhatian yang selama ini hampir tidak pernah saya dapatkan. Tapi kebahagiaan itu tak bertahta lama. Kebahagiaan saya kembali runtuh setelah saya mencoba menghibur diri dengan memantapkan hati menemui sosok kedua yang saya gadang-gadang bisa menjadi pelataran pulang. Tapi ternya ... ah sudahlah.

***

Saya yakin perkara kejadian menjengkelkan dan mengguncang mental tak hanya menimpa diri saya seorang. Banyak pula orang yang turut mengalalami kejadian serupa yang bahkan skala perundungannya jauh lebih parah diatas saya. Saya pun yakin bahwa banyak yang menyimpan kesakitanya sendiri tatkala mengalami hal semacam ini.

Bahkan saya juga yakin, selain usaha diam, mereka yang notabene sebagai korban pun punya sebuah ide-ide gila yang berenang di kepala mereka. Serupa melakukan hal-hal yang bisa dibilang “kurang pintar” dan secara tidak sadar dianggap sebagi kewajaran, persis seperti yang saya lakukan.

Saya telah mengamati banyak orang yang saya temui di kampus. Saya kaget, mereka benar-benar mempunyai pola yang hampir sama dengan sikap saya kala itu. Menghadapi perundungan dengan berupaya menampakkan diri dengan topeng baru dengan terpancang pada standarisasi yang dibuat-buat seseorang. Dan pada akhirnya, akan bermuara pada kelelahan mental yang perlahan turut memporak-porandakan segala hal.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Berkaca dari pengalaman saya pribadi, hal tersebut terjadi lantaran melencengnya mindset yang kita bangun dalam menghadapi sebuah kekacauan demikian. Jika kita menampik perundungan tersebut dengan cara tampil cukup berbeda dari biasanya, mengenakan topeng anyar dan mengotak-ngatik kemapanan yang telah ada pada diri kita, ya sama saja kita membenarkan perundungan yang menghujam.

Maka jika sekiranya kita ingin membalas pelaku perundungan dengan lontaran pisuhan, tunggulah dulu. Jangan terburu-buru. Barang kali kita sendiri yang patut  dipisuhi. Kita memilih menderita dua kali dengan melakukan sandiwara gila yang kita sutradarai sendiri. Turut serta mencerca kekurangan dalam diri yang notabene bukan sebentuk kecacatan dan aib yang harus untuk ditutup-tutupi.

Gimana-gimana? Sudahkah kita memperbaiki kebobrokan mindset serta tindakan yang selama ini kita bangun dan kita normalisasi. Mari sadar menambal kesalahan-kesalahan dengan cara berdamai. Mungkin kita lupa bahwa hakikatnya kita hidup, ya bersama diri kita sendiri. Teman, pacar, tetangga tak lain hanya pemeran figuran. 

Maka bukankah zalim sekali jika kita tak merangkul hangat kekurangan diri. Kita dan yang dicermin itu satu, kewajiban kita adalah saling bersinergi. Tahap lebih lanjut, kita harus pintar-pintar menarik sebuah tindakan jika sewaktu-waktu lautan kesadaran kita mulai surut berkurang. 

Kita perlu pintar menyikapi realitas yang tak melulu sejalan dengan kemauan. Merawat kesehatan mental dengan mindset demikian adalah bukti kita peduli dan sayang pada diri yang tanpa sadar sering kita sakiti.

Dari segala macam kesakitan sisa kejadian itu, akhirnya saya menemukan sebuah benang merah. Membentuk semacam strategi dengan membatasi konsumsi pikiran berlebih pada cuitan serta perlakuan tidak menyenangkan orang lain kepada saya pribadi, terbukti manjur menjaga kewarasan mental saya akhir-akhir ini.   

Dengan begitu, saya mulai bisa merayakan diri dan kekurangannya dengan penuh suka cita. Bangun pagi pun terasa lebih indah dari hari sebelumnya. Seakan-akan bekas luka menganga dipelipis kanan saya, jahitan panjang yang menggurat hidung saya, turut serta melempar sebuah canda tawa saat saya berkaca.

 Mungkin rasa itu hadir seiring dengan pulihnya kadar kecintaan pada diri saya. Sekarang saya pun lebih liar merepresentasikan besaran kepercayaan diri saya. Bisa dibilang kadar kecintaan saya saat ini sudah hampir menyentuh angka sempurna, yakni di angka sembilan puluh lima.