Aksi brutal beruntun ini benar-benar memuakkan, Pak Jokowi. Imbasnya ke mana-mana, nyaris membuat nalar lumpuh total.

Pemberontakan atau kerusuhan di Mako Brimob adalah pemicunya, tentu saja, setidaknya untuk hari ini. Pak Jokowi sendiri bisa lihat bagaimana ratusan narapidana teroris yang tadinya tampak adem-ayem itu menjelma bak binatang buas. Ada kabar menunjukkan, kebrutalan mereka dipantik oleh laku sejumlah oknum polisi kita sendiri.

“Dalam rekaman negosiasi yang kami dapatkan, pemicu pembangkangan napi teroris adalah akumulasi dari perlakuan tidak manusiawi oleh polisi.” Begitu Tirto melaporkannya dalam Rekaman Negosiasi Aman Abdurrahman & Wakil Tahanan Mako Brimob.

Apa pun alasannya, memang tidak sepatutnya respons atas kekejian itu harus berbalut kekejian pula, apalagi sampai menghilangkan hak asasi paling mendasar dari manusia: nyawa. Nyawa bukan pemberian siapa-siapa, yang karenanya tidak boleh direnggut pula oleh siapa-siapa. Jikapun ada yang meyakini nyawa adalah pemberian Tuhan, berarti Tuhan sendirilah yang patut merenggut itu, bukan manusia.

Dua hari setelahnya, masih bertitik di lokasi yang sama, seorang anggota intel Mako Brimob juga dirampas paksa hak hidupnya. Bripka Marhum Frence, oleh Tendi Sumarno, ditikam hingga akhirnya meregang nyawa di rumah sakit. Sementara si penikam sendiri tewas di tempat oleh tembakan anggota Brimob lainnya.

Hari berikutnya, dua perempuan berhijab berhasil ditangkap. Mereka, Dita Siska Milenia dan Siska Nur Azizah, dicurigai hendak melakukan aksi serupa dengan apa yang sudah dilakoni oleh Tendi Sumarno atas Bripka Marhum Frence. Kini, foto mereka viral dengan wajah yang memang menampakkan aura kejahatan.

Minggu dini hari, terjadi baku tembak antara terduga teroris dengan polisi di kawasan terminal Pasir Hayam, Cianjur, Jawa Barat. Empat orang tewas. Semuanya terduga teroris, yang dicurigai hendak melakukan latihan fisik guna melancarkan serangan selanjutnya ke polisi yang bertugas menjaga pos-pos, termasuk ke Mako Brimob.

Tak berselang lama, serangan teroris benar-benar meledak. Tiga gereja di Surabaya hancur lebur bersama manusia-manusia di dalamnya.

Membaca berita-berita itu, Pak Jokowi, tersayat-sayat hati saya. Benar-benar memuakkan, bukan, Pak? Nalar saya lumpuh total membayangkan mengapa ada orang-orang yang dengan brutalnya gampang sekali merampas hak hidup orang lain. Demi surga? Persetanlah surga yang menjanjikan ruang untuk orang-orang buas semacam itu.

Tegaslah, Pak, Tegas!

Seperti diseru Kompas, edisi 11 Mei 2018, sudah saatnya negara tegas. Tragedi demi tragedi kemanusiaan di belahan dunia mana pun, termasuk hari ini di bumi pertiwi, sudah memberi sinyal yang sangat kuat. Bahwa terhadap aksi-aksi terorisme, negara harus ambil sikap yang tegas.

Tiada warga yang akan melarang ketegasan negara dalam hal ini, Pak. Ya, kecuali para pelaku kekerasan sendiri dan pendukung-pendukungnya yang bernalar tumpul itu; bahkan kecuali pula sejumlah politisi yang ingin memanfaatkan momen ini demi kekuasaan—oposisi Pak Jokowi.

Sebagai pemimpin bangsa, kita butuh ketegasan penuh dari Pak Jokowi. Bukan saja yang bermodel seruan di media-media sosial, melainkan pula ketegasan dalam bentuk praktik nyata di lapangan.

Pertanyaannya, bagaimana sikap ketegasan itu harus mewujud? Apakah lantaran begitu sudah kacaunya negeri ini lantas negara diperkenankan untuk berlaku bak Leviathan-nya Thomas Hobbes? Tentu tidak, Pak. Ketegasan negara harus mewujud dalam batas-batas kebebasan individu (warga).

Pertama dan utama, ketegasan itu harus menyasar para pelaku aksi terorisme sendiri. Ia yang menyebar ketakutan dengan aksi tak manusiawinya adalah ia yang harus bertanggung jawab penuh atas segala kekejian yang ditumpahkannya. Negara, sebagai institusi yang sudah diberi kendali untuk mengatasi ini, mesti tahu betul bagaimana cara menghukum pelaku, yakni melalui supremasi hukum yang berlaku.

Sasaran keduanya adalah warga, meliputi pula para pendukungnya. Di sini, ketegasan negara harus mewujud dalam kontranarasi.

Kita semua tahu, pemicu tragedi beruntun ini juga lebih banyak dipantik oleh propaganda-propaganda di media sosial. Dampak dari propaganda-propaganda tak bertanggung jawab itu, oleh pengamat terorisme Stanislaus Riyanto, disebut telah memicu bangkitnya sel-sel tidur teroris.

Bahwa penyiksaan dan pembunuhan brutal (di Mako Brimob) itu (yang) mereka siarkan secara live lewat media sosial, menunjukkan bahwa ada kebutuhan bagi mereka untuk melakukan propaganda tentang aksi mereka yang penuh kekerasan itu. Propaganda ini dapat dinilai sebagai ajakan untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Dan dampak yang bisa terjadi dari propaganda ini adalah bangkitnya sel-sel tidur teroris.

Tragedi kemanusiaan beruntun hari ini, mulai dari kerusuhan di Mako Brimob hingga ledakan bom di tiga gereja Surabaya, adalah efek nyata dari propaganda-propaganda itu. Sehingga, untuk menyelesaikan soal ini, sekali lagi, ketegasan negara harus mewujud dalam bentuk kontranarasi terorisme.

Terkait kontranarasi, ada banyak sekali yang negara bisa lakukan. Saya kira Pak Jokowi patut mempelajari bagaimana Qureta baru-baru ini, bekerja sama dengan Indeks dan PPIM UIN Jakarta, menghadirkan upaya itu dalam sebuah program berjilid. Workshop dan Pelatihan Menulis Esai Kontra-Terorisme serta Lomba Esai Intoleransi dan Ekstremisme di Indonesia adalah dua bentuk kegiatan yang layak Pak Jokowi simak dan pelajari.

Agar wawasan tentang kontranarasi terorisme ini lebih komprehensif, berikut laman Countering Violent Extremism (CVE) Online Course-nya Indeks yang berisi materi-materi seputar isu radikalisme, ekstremisme, dan terorisme dalam bentuk video topik-topik perkuliahan. Seluruh video kuliah CVE ini bisa Pak Jokowi akses melalui aplikasi portal Kuliah Qureta. Setelah ini, saya yakin, Pak Jokowi setidaknya sudah akan tahu bagaimana harus melawan terorisme.

Sasaran terakhir, saya kira, adalah lembaga pendidikan. Andai Indonesia adalah Negara Libertarian, tentu saya tidak akan memasukkan hal ini sebagai program prioritas Pak Jokowi. Tetapi kita bukan negara bermodel itu. Negara kita masih belum pede untuk memberlakukan konsep-konsep negara minimal, di mana pendidikan bukan tanggung jawab negara.

Oleh karena bukan Negara Libertarian, maka tak ada salahnya jika saya, sebagai warga, mengimbau Pak Jokowi untuk juga memprioritaskan program pendidikan yang, dalam hal ini, bertolak dari agenda kontranarasi.

Itu bisa Pak Jokowi mulai, misalnya, dengan memerintahkan Menteri Pendidikan untuk menyusun kurikulum berbasis kontranarasi. Tujuan utamanya adalah menyediakan akses pada warga (pelajar-mahasiswa) agar bisa mempelajari isu-isu seputar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, serta bagaimana menangkal narasi-narasi propagandanya, terutama di media sosial.

Pendidikan adalah Senjata

Mengapa pendidikan penting? Tentu sudah tak tersangkal lagi ungkapan Nelson Mandela ini: Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. Dan dalam kaitannya dengan terorisme, ungkapan ini begitu apik diterjemahkan oleh seorang aktivis kemanusiaan, Malala Yousafzai: With guns, you can kill terrorist; with education, you can kill terrorism.

Ya, kita harus pastikan, meyakini bila perlu, aksi-aksi apa pun, yang ekstrem ataupun tidak, bersumber dari kesadaran, pemikiran. Bahwa sebab-sebab munculnya tindakan brutal (terorisme) itu begitu kompleks, Pak. Ada pelbagai faktor pendorongnya, seperti ekonomi dan psikologi.

“Tentu saja ada motif ekonomi atau alasan psikologi yang mendorong seseorang untuk menjadi teroris,” urai Luthfi Assyaukanie dalam Rangkaian Bom dan Benih-Benih Terorisme di Sekitar Kita. “Tetapi,” lanjutnya, “itu saja tidak cukup. Mesti ada sesuatu yang membuat orang-orang itu terdorong menjadi teroris dan melakukan pembunuhan dengan cara-cara keji.”

Dalam kasus teror, di mana sebagian besar pelakunya berpaham Islam, faktor ideologilah yang menurut Luthfi kerap jadi alasan utama dan dianggap paling berperan dalam memengaruhi orang jadi teroris.

Apakah “sesuatu” itu? Jika Anda akrab dengan kajian-kajian seputar Islam Politik atau gerakan politik Islam, tidak sulit menemukan “sesuatu” yang membuat orang bisa menjadi penjahat atau melakukan kekerasan atas nama agama.

Ya, “sesuatu” itu adalah doktrin (ideologi) atau pemahaman. Doktrin inilah yang menjadi akar persoalan kekerasan dalam Islam. Sebagaimana doktrin-doktrin baik akan mendorong orang berlaku baik, doktrin-doktrin jahat juga akan mendorong orang berlaku jahat.

Untuk lebih jelasnya, silakan Pak Jokowi rujuk langsung uraian itu. Di sana akan Anda temukan bagaimana ideologi kekerasan itu bekerja, yang oleh Hannah Arendt sebut sebagai “banalitas kejahatan”—kejahatan yang dianggap sebagai sesuatu yang baik. Pun Pak Jokowi akan lihat bagaimana lingkungan yang tidak bersahabat ternyata jadi ladang paling subur bagi entitas terorisme.

Itulah sebabnya mengapa pendidikan juga begitu penting dan harus Pak Jokowi prioritaskan hari ini, selain program-program pembangunan infrastruktur tentu saja. Bila perlu, program pendidikan itu sudah direncanakan kembali untuk masa 2 periode Pak Jokowi ke depan. Sekadar berharap tak masalah, bukan?