Pasal 8 RUU Pertanahan mengatur tentang Hak Pengelolaan (HPL) atas tanah oleh negara melalui instrumen kementerian. HPL selama ini dianggap sebagai aturan yang mendasari lahirnya banyak persoalan dan konflik agraria.

HPL juga dianggap telah menghidupkan kembali konsep domein verklaring pemerintah kolonial pada masa penjajahan. Domein verklaring adalah pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara.

HPL dikatakan menghidupkan kembali konsep domein verklaring karena sering kali dalam pemberian HPL tersebut oleh pemangku kewenangan dilakukan tidak dengan memperhatikan kondisi lahan dan keberadaan masyarakat yang mendiaminya.

Pemberian HPL yang menyesuaikan dengan kebutuhan pemodal besar membuat pemerintah secara sewenang-wenang menguasai tanah yang oleh masyarakat tidak dapat dibuktikan kepemilikannya walaupun telah lama mendiami wilayah tersebut.

Kali ini, dengan naiknya status HPL dalam bentuk Undang-Undang, pada kenyataannya tidak mengubah banyak dari tujuan HPL yang diatur dalam pasal 64 Peraturan Meteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Hal tersebut terbukti dari bahwa pasal 8 ayat (2) pada RUU pertanahan seakan menyatakan bahwa HPL berpihak kepada rakyat dengan kewajiban pemegang HPL untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas tanah sesuai tujuan khusus yang kemudian diperjelas pada pasal 10 ayat (2) sebanyak 60% dari luas HPL.

Secara jelas, aturan tersebut tidak bertujuan untuk membuat masyarakat dapat menguasai tanah untuk dipergunakan selain dalam koridor tujuan khusus dari HPL tersebut, sehingga memungkinkan masyarakat hanya dapat mengolah tanah sesuai tujuan khusus pemberian HPL.

Tidak pula diatur jumlah luasan HPL yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada subjek yang berhak menerima HPL.

Reforma Agraria versi Pemodal

Pelaksanaan Reforma Agraria dalam RUU Pertanahan telah diatur dengan harapan untuk memenuhi hak masyarakat atas tanah dan dapat menyelesaikan konflik-konflik agraria yang telah terjadi serta yang akan datang.

Namun jika dipahami secara lebih dalam, dapat disimpulkan bahwa reforma agraria yang diatur dalam RUU tersebut terlihat tidak serius dan berpihak pada kepentingan pemodal besar.

Ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan Reforma Agraria menurut RUU ini salah satunya adalah model penyelesaian konflik agraria yang menekankan pada proses mediasi dan peradilan. Tentu hal tersebut dapat diartikan bahwa RUU tersebut menyamakan konflik agraria struktural dengan konflik pertanahan biasa. Padahal, konflik agraria struktural memiliki dampak yang lebih luas dari pada konflik pertanahan biasa.

Konflik agraria struktural berdampak luas secara sosial, budaya, ekonomi, ekologis dan tidak jarang memakan korban jiwa. Konflik agraria struktural harus diselesaikan dengan melibatkan seluruh pihak dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat dalam satu sektor konflik agraria struktural.

Lebih daripada itu, konflik agraria struktural seharusnya dapat diantisipasi sejak masih menjadi potensi dengan aturan yang tegas, sehingga selain menyelesaikan konflik l yang telah terjadi, dapat juga menghindari atau mencegah potensi-potensi konflik agraria struktural yang akan terjadi.

Peluang Korupsi

Dengan diberikannya kewenangan pada kementerian dalam hal pengelolaan tanah yang terdapat pada sebagian besar pasal RUU Pertanahan, tidak menutup kemungkinan bahwa praktik korupsi akan terjadi.

Kewenangan kementerian dalam RUU Pertanahan menjadi bagian dari beberapa pasal yang mengatur ketentuan lebih lanjut terkait teknis-teknis pelaksanaannya. Hampir setiap hal mengatur mengenai tanah negara dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan tanah negara lewat aturan yang dibuatnya.

Kewenangan oleh menteri dalam mengatur tersebut adalah kewenangan yang pada dasarnya tidak berubah dari kewenangan pada aturan terdahulu yang juga membuka luas pintu korupsi dalam memenuhi kepentingan para pemilik modal besar untuk menjalankan usahanya.

Dengan kata lain pula maka RUU Pertanahan belum berpihak kepada masyarakat kecil dalam kebutuhan dan haknya atas tanah. Peluang korupsi akan makin kuat muncul karena kuatnya kewenangan kementerian dalam pemberian izin pengelolaan tanah.

Salah satu yang sering terjadi adalah pada momen politik di mana daerah-daerah dengan wilayah potensi pertambangan akan digunakan sebagai izin untuk mendukung kebutuhan kursi kekuasaan.

Ini mencerminkan bahwa saat ini beberapa peraturan dibuat untuk menciptakan kekuasaan yang membuat rakyat makin tertindas dan kekayaan alam diperuntukkan kepada penguasa-penguasa.