Polemik RUU Cipta Kerja di Tengah Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 saat ini telah menghentikan mayoritas aktivitas ekonomi. Berbagai sektor yang berhubungan dengan aktivitas masyarakat mengalami pukulan yang parah. Sektor pariwisata, pola belanja masyarakat, dan industri otomotif mengalami penurunan yang tajam.
Dunia pariwisata sempat mengalami mati suri. Diperkirakan kunjungan wisatawan menurun dari 16,3 juta di tahun 2019 menjadi sekitar 5 juta. Kemudian, pola belanja masyarakat mengalami perubahan. Masyarakat lebih memprioritaskan belanja kebutuhan pokok daripada kebutuhan sekunder ataupun tersier. Dari sektor industri otomotif, menurut data Gaikindo, penjualan mobil diperkirakan turun 82% pada Mei 2020.
Menurut Bappenas dan Menakertrans, ekonomi hanya mampu bertumbuh pada angka -0,4% hingga 1%. Ekspor mengalami kontraksi 7,7% hingga 3%. Tingkat pengangguran terbuka meningkat menjadi 8,1% hingga 9,2%. Sedangkan, investasi bertumbuh hanya -2,8% hingga 0,3%. Kelesuan ekonomi ini mengimplikasikan meningkatnya PHK. Hal ini membuat naiknya angka pengangguran.
Di tengah krisis perekonomian yang disebabkan pandemi Covid-19, pada senin 5 Oktober 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi undang-undang (UU). RUU Ciptaker telah berhasil diselesaikan dan ditetapkan menjadi undang-undang dalam waktu sekitar delapan bulan.
Berbagai macam reaksi protes dan penolakan muncul akibat pengesahan RUU Ciptaker ini. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini mengandung 174 pasal yang dinilai merugikan para buruh. Ada beberapa isi Omnibus Law yang menjadi sorotan para buruh.
Pertama, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memperhatikan laju inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Kedua, pesangon buruh menglami pengurangan yang sebelumnya 32 kali upah menjadi 25 kali upah dalam UU Cipta Kerja.
Ketiga, adanya penghapusan batas waktu pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Keempat, kontrak outsourcing dapat menjadi seumur hidup. Kelima, kompensasi bagi pekerja akan diberikan jika masa kerja minimal satu tahun. Keenam waktu kerja menjadi berlebihan di dalam UU Cipta Kerja.
Ketujuh, hak upah cuti menjadi hilang di dalam UU Cipta Kerja ini. Selain merugikan bagi buruh, UU Cipta Kerja membuat penyederhanaan analisis dampak lingkungan. Hal ini membuat seolah-olah pemerintah terlihat membarter kelestarian lingkungan hidup dengan kemudahan dalam berbisnis.
Omnibus Law ini justru berpotensi besar merampas kesejahteraan kaum buruh dan menguntungkan para penguasah di sektor industri.
Sektor-sektor yang akan menikamati dampak positif Omnibus Law justru sektor yang identik dengan para pencipta regulasi. Berdasarkan laporan Tempo dan Auriga Nusantara di tahun 2019 lalu, 262 (45,5 %) dari total 575 anggota DPR yang terpilih dalam Pemilu Legislatif 2019 merupakan para direksi dan komisaris pada lebih 1000 perusahaan ternama.
Kemudian komposisi partai di dalam DPR seperti PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, dan PKB merupakan partai-partai yang terbanyak mengirim pengusaha ke parlemen.
Mereka juga merupakan pendukung Omnibus Law Cipta Kerja. Dengan demikian pihak yang paling diuntungkan oleh Omnibus Law Cipta Kerja adalah oligarki penyokong pemerintah.
Setelah berbagai macam protes dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, pada akhirnya pada Jumat 9 Oktober 2020, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tujuan UU Cipta Kerja adalah menyediakan lapangan kerja bagi para pencari kerja, termasuk mereka yang menganggur.
Selain itu Jokowi meluruskan sejumlah informasi yang simpang siur tentang substansi dari UU Cipta Kerja. Memang Omnibus Law Cipta Kerja merupakan bagian dari narasi Presiden Jokowi tentang pertumbuhan ekonomi dan pentingnya investasi asing untuk terus dibangkitkan untuk memberikan legitimasi kepada pemerintahannya.
Omnibus Law Cipta Kerja adalah langkah berani dalam usaha mengukir perekonomian pasar bebas. Dari semula Omnibus Law Cipta Kerja terbentuk di atas krisis-naratif.
Narasi ini memperlihatkan manufaktur berbasis investasi asing sebagai sesuatu yang penting, sehingga deregulasi undang-undang merupakan solusi utama. Narasi krisis ini sebenarnya telah dipopulerkan oleh Bank Dunia.
Misalnya, dalam laporan dari Bank Dunia pada tahun 2019 kepada Presiden Jokowi, Bank Dunia menekankan bahwa Indonesia perlu menarik lebih banyak investor asing karena jauh dari negara-negara ASEAN lainnya.
Hal inilah yang mendorong Presiden Jokowi untuk memerintahkan para menterinya untuk melakukan revisi atas undang-undang yang ada dan menyusun Omnibus Law Cipta Kerja.
Omnibus Law sebagai Wujud Neoliberalisme di Indonesia
Pengesahan RUU Ciptaker ini menunjukkan bahwa kebijakan politik dan ekonomi Indonesia berdasarkan neoliberalisme. RUU Ciptaker ini tergolong kebijakan yang berwatak neoliberal yang diyakini bagaikan “agama baru” dan dilaksanakan secara sistematis dan struktural lewat kebijakan baik di tingkat lokal, nasional, hingga global.
Paham neoliberalisme ini memperjuangkan persaingan bebas (leissez faire), yaitu paham yang memperjuangkan hak-hak atas kepemilikan dan kebebasan individual. Paham ini percaya terhadap kekuatan pasar yang mampu menyelesaikan permasalahan sosial ketimbang lewat regulasi negara.
Neoliberalisme merujuk pada bangkitnya kembali bentuk aliran baru ekonomi liberal lama di mana pemerintah tidak campur tangan terhadap bekerjanya mekanisme pasar.
Namun, neoliberalisme dan liberalisme berbeda. Pertama, di dalam liberalisme suatu mekanisme pasar digunakan untuk mengatur ekonomi negara, sedangkan neoliberalisme untuk mengatur ekonomi global.
Kedua, neoliberalisme pasar digunakan demi kemakmuran individu, sedangkan liberalisme kinerja pasar digunakan untuk kemakmuran bersama. Inti dari neoliberalisme adalah mengurangi peran campur tangan untuk menggerakkan roda pembangunan agar individu dapat bersaing dengan bebas.
Dalam perspektif kaum neoliberal, pemerintah harus melakukan deregulasi dengan cara mengurangi pembatasan pada industri, mencabut berbagai hambatan birokratis perdagangan ataupun menghilangkan tarif demi menjamin terwujudnya pasar bebas (free trade).
Berdasarkan konsepsi filosofis neoliberalisme dari Milton Friedman dan Frederich von Hayek, masyarakat dipahami sebagai kumpulan kumulatif individu-individu, sehingga usaha untuk memenuhi kepentingan masyarakat dilaksanakan dengan memenuhi kebutuhan setiap orang.
Bagi Friedman pasar bebas mengatur mekanisme produksi dan distribusi komoditas. Dalam perspektif kaum neoliberal,, institusi pasar bebas yang adalah tempat proses transaksi jual beli berlangsung merupakan institusi utama yang harus ditegakkan agar semua orang dapat memenuhi kebutuhan dirinya.
Prinsip pemenuhan kepentingan diri seluas-luasnya dalam arena pasar bebas hanya mampu mengakomodasi orang-orang yang mampu membayar dan memberi keuntungan dalam transaksi ekonomi yang diakui untuk memfasilitasi kenyamanan hidup.
Mekanisme pasar bebas dapat menjadi kerangka institusional eksklusif yang tertutup bagi mereka yang termarjinalkan secara ekonomi. Dampak jangka panjang yang timbul dari pengedepanan pasar bebas yang tanpa persiapan perangkat regulasi yang tepat dapat menghancurkan pondasi dasar kehidupan publik yang berangkat dari ikatan relasi sosial.
Prinsip kebaikan bersama (bonum commune) dapat tergerus dan hancur oleh prinsip pasar bebas yang berdasarkan pada efisiensi ekonomi dan kepentingan diri.
Seperti yang telah kita ketahui, Omnibus Law Cipta Kerja telah menciptakan kebebasan pasar dengan merubah banyak undang-undang yang mempermudah investor asing. Hal ini dilakukan demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyehatkan iklim investasi di Indonesia yang terpuruk karena efek ekonomi yang buruk akibat pandemi Covid-19.
Persaingan bebas diciptakan di antara para investor asing dan pemodal besar. Beberapa politisi pendukung pemerintahan Jokowi menilai bahwa justru dengan Omnibus Law Cipta Kerja dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan yang baru dengan hadirnya investor asing di Indonesia, sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Memang perlu disadari bahwa kebijakan pemerintah dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap perekonomian pasar. Hal ini sesuai dengan teori dari John Maynard Keyness. Teori Keyness ini berpendapat bahwa pemerintah dianggap sebagai faktor utama yang mampu mengimbangi kegoncangan yang melekat pada tata ekonomi kapitalis.
Apabila kegiatan bisnis lesu dan investasi menurun, pemerintah dapat melakukan berbagai macam kebijakan yang mengkontrol pasar dengan menciptakan lapangan kerja dan mendorong investasi.
Namun di sisi lain, kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja ini justru merugikan kaum golongan masyarakat dengan ekonomi lemah. RUU Ciptaker dapat memangkas ruang penghidupan kaum nelayan, petani, dan masyarakat adat karena kepentingan pembangunan dan ekonomi.
Hal ini tentunya dapat memudahkan perusahaan-perusahaan dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat baik kelompk miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Sebagai akibatnya, mereka berpontensi tidak mempunyai ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya. Hal ini membuktikan kehadiran pasar bebas dengan kemunculan Omnibus Law Cipta Kerja memarjinalkan masyarakat dengan ekonomi lemah.
Hal ini tentunya dapat menggerus prinsip kebaikan bersama (bonum commune) bagi masyarakat Indonesia dengan ditandai kehancuran pondasi dasar kehidupan publik yang berangkat dari ikatan relasi sosial.
Omnibus Law Cipta Kerja sebagai Solusi tetapi Merugikan
Pengesahan RUU Cipta Kerja memang mempermudah para investor asing dan pemodal besar dalam perekonomian pasar. Memang kebijakan pemerintah semacam ini merupakan bentuk penyelamatan terhadap ekonomi makro Indonesia dengan menstimulus para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia sehingga dapat menambah lapangan pekerjaan.
Namun, di sisi lain kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja yang menyelamatkan ekonomi makro negara justru merugikan lapisan masyarakat yang bekerja sebagai buruh, petani, dan nelayan.
Kebijakan Omnibus Law Cipta Kerja ini merupakan bentuk neoliberalisme di Indonesia yang tidak memperhatikan kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan Omnibus Law Cipta Kerja hanya menyelamatkan ekonomi negara dan pemodal besar, tetapi menindas rakyat kecil yang lemah secara ekonomi.
umber Jurnal
Permatasari, Merysa Desy, “Implikasi Sistem Neoliberalisme Terhadap Eksistensi Buruh Kontrak” dalam Jurnal FISIP Universitas Airlangga.
Pribadi, Airlangga, “Hegemoni Ideologi Neoliberalisme dan Diskusus Demokrasi di Indonesia” dalam Jurnal Studi Politik Edisi I, Vol.1, Nomor 1 (2010).
Soesilowati, Etty, “Neoliberalisme:Antara Mitos dan Harapan”, dalam Jurnal Jejak, Vol.2, Nomor 2 (September 2009).
Sumber Internet
“Ketua Fraksi Nasdem Nilai Omnibus Law Jadi Solusi Hadapi Krisis
Ekonomi”, 12 Agustus 2020, https://nasional.kompas.com/read/2020/08/12/18103021/ketua-fraksi-nasdem-nilai-omnibus-law-jadi-solusi-hadapi-krisis-ekonomi (diakses pada 11 Juni 2021, pk.20.)
“Omnibus Law Ciptaker: Protes, Iklan Pesohor Hingga Jadi UU”, 6 Oktober 2020, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201006074040-20-554755/omnibus-law-ciptaker-protes-iklan-pesohor-hingga-jadi-uu (diakses pada 7 Juni 2021, pk.20.)
Fauzan, Ahmad, “Omnibus Law Cipta Kerja Merugikan Buruh Memanjakan Oligarki”, 21 Oktober 2020, https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakan-oligarki-f6aF (diakses pada 7 Juni 2021, pk.20.)
Kurniawan, Fuat Edi, “UU Cipta Kerja, Neoliberalisme, dan Deregulasi”, 8 Oktober 2020, https://news.detik.com/kolom/d-5204654/uu-cipta-kerja-neoliberalisme-dan-deregulasi (diakses pada 7 Juni 2021, pk.20.)
Pramisti, Nurul Qomariyah, “Dahsyatnya Efek Pandemi: Ekonomi Tersungkur, Pengangguran Melonjak”, 28 Juni 2020, https://tirto.id/dahsyatnya-efek-pandemi-ekonomi-tersungkur-pengangguran-melonjak-fLhS (diakses pada 11 Juni 2021, pk.20.)
Yasmin, Puti, “Ini Isi Omnibus Law yang Ditolak Buruh dan Picu Demo Rusuh”, 9 Oktober 2020, https://news.detik.com/berita/d-5206258/ini-isi-omnibus-law-yang-ditolak-buruh-dan-picu-demo-rusuh (diakses pada 7 Juni 2021, pk.20.)