Gedung ini berada di tengah-tengah reruntuhan kota yang sedang memulih perlahan. Kenangan 28 september masih kuat disini. Plafon yang jebol hingga retakan pada tembok misalnya.
Gedung ini cukup kokoh, mengingat posisinya berada di bibir pantai Talise yang sempat mengamuk tahun kemarin namun masih tetap berdiri. “Sudut kota yang mati” adalah kesan pertama yang terbesit dikepalaku ketika pertama kali tiba disini.
Nampaknya hujan yang berlangsung lebih dari sejam memaksa para panitia untuk mengubah acara yang tadinya outdoor menjadi indoor. Ini dibenarkan oleh seorang teman sekaligus pembina dari pemuda-pemudi yang sedang sibuk mempersiapkan pertunjukan.
Tapi bagi saya pribadi, ruangan tersebut memberi kesan tersendiri. Kami duduk melantai di dalam gedung yang lantainya sedikit lembap akibat jejak-jekak basah dari panitia yang lalu-lalang mempersiapkan panggung, mulai dari lighting hingga sound. Cahaya minim, dingin yang ditinggalkan hujan, dan segala keterbatasan dalam pagelaran memberikan saya kesan baru. “Kehidupan di sudut kota yang mati”.
Tema yang diusung adalah; anti-tokoh. Menolak adanya tokoh yang lebih baik diantara yang lain, yang menjadi sosok penting dibalik jalannya pagelaran. Semuanya berperan dalam terbentuknya pagelaran. Bahwa semuanya hebat dalam kapasitasnya masing-masing. Egaliterianisme, sangat kental diruangan ini. “Ini karya mereka, saya hanya pembinanya,” Dili Swarno selaku pembina berusaha mengamalkan tema yang mereka usung.
Saya berhenti di pertengahan pertunjukan. Bukan karena buruk. Ada urusan lain harus diselesaikan. Setidaknya, saya mendapat sebuah kesan lain yang cukup untuk mengemas keseluruhan pertunjukan; Merenung.
Renungan yang dimaksud cenderung mengarah kedalam. Tempat pagelaran menjadi gerbang dari perenungan, merenungi kehancuran dari apa yang telah mapan, fana, tidak ada apa-apanya. Renungan berlanjut dengan musik instrumental yang mengawali pagelaran. Merenungi masyarakat. Puisi yang merenungi realitas, musik yang merenungi ego, hingga theater yang menampilkan wujud dari ego yang merugikan sesama.
Nuansa kearifan lokal sangat kental. Bahkan saya pribadi menganggap bahwa esensinya sendiri adalah kearifan lokal. Anti-tokoh pada dasarnya mengurangi bahkan menghapus ego. Leluhur nusantara yang tidak mengenal ego lah yang membuat negeri kita menjadi tempat dimana berbagai macam paham luar dapat tuimbuh dengan subur. Mulai dari masuknya hindu-buddha, islam, hingga masuknya kolonialisme yang menjajah negeri berabad-abad.
Dan kini. Di tengah derasnya arus globalisasi yang mengancamkearifan lokal. Masih ada kantung-kantung rural nativism yang meniupkan ruh kesenian dengan kemasan kekinian, memberi kehidupan pada sudut kota yang mati.
Timbul pertanyaan pada diri sendiri; apa yang dihidupkan oleh pagelaran seni? Jika sekedar keramaian, bukankah kafe dengan warna-warni lampu hias akan menarik pengunjung dan memberi kesan ramai dan hidup? Atau klub malam dengan aneka minuman “hangat”?
Atau konser musik modern dengan lirik perih yang menyentil sisi lemah penonton hingga memicu rasa sedih bahkan membawa mereka kembali pada situasi gamang pasca bencana?
Saya teringat dengan sebuah ungkapan; bahwa pujangga seringkali mengawali suatu kebangkitan. Misalnya kebangkitan nasional. Misalnya multatuli yang dengan karyanya mampu menimbulkan gonjang-ganjing di negeri Belanda, hingga kerajaan mengeluarkan kebijakan politik etis nyang merupakan awal dari lahirnya kaum pribumi terpelajar, juga dengan ulah para pujangga pada masa orde baru yang terus memupuk benih-benih perlawanan hingga reformasi pecah.
Tulisan sendiri merupakan alat dari pujangga. Namun yang paling esensial dari pujangga adalah daya imajinasinya yang ditularkan melalui tulisan dan lisannya. Tidak hanya berhenti pada tulisan dan lisan. Aneka inovasi pada bidang teknologi memberi kesempatan pada seniman untuk memberi ruh pada dunia modern. Walaupun realitanya seni pada arus utama kini umumnya tak lepas dari tuntutan pasar atau politik
Seni bagaikan ruh dari peradaban manusia. Mulai dari aksara kuno, babat, prasasti, tembang, syair, puisi, epos, teater hingga ke arsitektur dan masih banyak lagi. Mereka memiliki ruh yang sama yang memicu kepekaan dari manusia, daya imaji, yang pada satu sisi akan mempengaruhi interpretasinya akan nuansa, dan mengantarkan manusia kepada makna.
Dengan maknalah kehidupan benar-benar dapat dikatakan hidup, dan seni menjadi pengantar menuju makna itu. Seperti ketika seorang musisi dengan musiknya mengajak penonton untuk merenungkan kehidupan yang sebenarnya fana, para actor/aktris muda yang menampilkan betapa buruknya membuang-buang waktu, buruknya ketidakpedulian, atau puisi yang mempertanyakan toleransi dan pentingnya perbedaan.
Ruh seni dihembuskan oleh para seniman pada “sudut kota yang mati”. Bukan mengajak mereka meratapi nasib, mengenang luka, larut dalam tangis. Melainkan untuk bangkit, dengan perenungan, pandangan baru, semangat gotong royong, menghilangkan ego, bahwa tidak ada Tokoh, semuanya hebat dalam kapasitasnya masing-masing dan seperti itulah kearifan lokal.
Jauh sebelum post-modernisme diwacanakan. Kearifan lokal kita sudah memiliki nilai-nilai yang sama bahkan lebih baik; menerima dan menghargai pandangan yang berbeda.