Menikah bukanlah hal mudah, bukan juga hal yang rumit. Ada beberapa pasangan butuh waktu lama untuk kemudian mantap membangun rumah tangga dengan kekasihnya, itupun tak menjamin selamat dari perceraian. Menjatuhkan pilihan itu perkara mudah yang sulit adalah setia pada pilihan. Setia jika nantinya dikecewakan. Kekecewaan muncul karena besarnya harapan pada pasangan. Memperkecil harapan bisa mengurangi resiko kekecewaan. Jadikan penerimaan sebagai tumpuan untuk teguh mengarungi bahtera rumah tangga.
Penting sekali sebelum menikah untuk menyatukan visi dan misi satu sama lain. Tak cukup modal cinta saja, karena pada usia 10 tahun pernikahan yang bicara bukan cinta lagi tapi lebih kepada penerimaan dan penghormatan kepada pasangan. Akan ada masa dimana kita diuji kesetiaannya. Kalian pasti pernah diam - diam mengagumi orang lain. Padahal sejatinya yang kita kagumi belum tentu seperti apa yang kita sangka, karena yang tampak hal yang baik saja.
Banyak yang gagal karena tak punya komitmen yang jelas sebelum menikah. Menikah tak melulu selalu diisi bahagia. Ada kalanya diuji sakit, ada kalanya diuji dengan kelimpahan materi atau sebaliknya. Awal menikah semua yang tampak adalah hal yang baik - baik, tapi seiring berjalannya waktu karakter asli masing - masing akan muncul. Yang dulu penuh rayuan, sekarang jadi tak segan main tangan dan penuh intimidasi. Ada yang tidak siap ketika salah satu tiba -tiba sakit, butuh didampingi dirawat sepenuh hati, malah ditinggal pergi. Ada yang tidak siap dengan kehadiran anak, memasarahkan sepenuhnya pada istri bahkan pada orang tua mereka.
15 tahun usia pernikahan saya, tentunya banyak sekali bumbu - bumbu pernikahan yang menguras air mata tapi lebih banyak canda tawa. Menikah bukan hanya menyoal cinta tapi lebih pada saling menghormati, memahami pasangan kita.
Masa paling menguji kesabaran ketika memiliki anak pertama. Saya dan suami yang punya prinsip tidak akan melibatkan orang tua dalam mengasuh anak, sedikit kerepotan. Tapi semua kami jalani berdua. Dari urusan memandikan, mengganti popok sampai begadang tengah malam, kami syukuri. Sampai kami memiliki tiga orang anak, kami rawat sendiri. Kami hanya melibatkan dukun bayi untuk memijat bayi kami. Jika badan mulai kelelahan, saling pijat kami lakukan. Itu berjalan sampai sekarang.
Kesadaran bahwa tak ada manusia yang sempurna harus benar-benar diresapi. Kita menikah untuk saling melengkapi, saling mengingatkan, menguatkan dan memaafkan. Begitu masalah datang, sesegera mungkin kami selesaikan.
Perbedaan watak, kebiasaan dan budaya akan menjadi warna dalam biduk rumah tangga. Memahami karakter pria yang seringkali tenggelam dalam hobinya, misalnya. Seorang pria cenderung rela menghabiskan uangnya demi sesuatu yang disukainya. Seperti suami saya yang sangat suka mancing dan memelihara burung kicau. Dia lebih dulu jatuh hati pada hobinya sebelum mengenal saya, keliru jika kemudian menuntut dia berhenti menjalani hobinya. Sesekali saya temani dia mancing dan ternyata butuh kesabaran menunggu ikan melahap umpan. Menunggu ikan seharian saja dia sabar, apalagi mengahadapi saya yang kadang menjengkelkan.
Awalnya saya protes dengan hobinya yang cukup mahal. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk membeli joran dengan kualitas baik, belum lagi jika menerima ajakan mancing yang harus menyewa perahu. Meskipun suami seringpula mancing di sungai dekat rumah. Berapa harga burung murai medan, cucak ijo atau cucak rawa? Semua diatas tiga ratus ribuan.Apa tidak sebaiknya uang tadi ditabung untuk kebutuhan yang pokok, investasi rumah misalnya. Tapi dia mampu meyakinkan bahwa keluarga tetap prioritas utama. Dan sayapun pelan - pelan memakluminya. Selama tidak untuk kemaksiatan, kenapa harus dilarang?
Saya cukup beruntung karena selama ini tak ada pihak ketiga yang mencampuri rumah tangga kami. Bahkan saya memiliki mertua yang amat sayang kepada mantunya. Doa dan restu dari beliau adalah sumber kekuatan dan ketentraman rumah tangga kami.
Menciptakan atmosfer yang hangat sangat penting agar semua penghuni rumah kerasan di rumah. Membuat kegiatan yang melibatkan seluruh anggota keluarga, anak - anak juga dibiasakan untuk merawat barang miliknya. Mengistiqomahkan jamaah sholat Maghrib, mengajar anak-anak mengaji selepas maghrib meskipun cuma sebentar. Mengajari bagaimana menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Membiasakan untuk mengucap terimakasih dan berani meminta maaf jika memang berbuat kekeliruan. Pondasi akhlaq menjadi prioritas utama kami. Kepandaian akan mengikuti dibelakangnya.
Kata guru kami bahwa orang yang memiliki akhlaq /adab yang baik pastinya dia adalah orang yang cerdas.
Berumah tangga juga membutuhkan prinsip kesetaraan dan gotong royong. Seorang istri tak hanya menjadi"konco wingking" tapi juga sahabat. Kita sering diskusi, seringpula beda pendapat. Berdebat bukan hal baru bagi kami, aku yang ngeyelan dan diapun akan menerima masukan jika ternyata pendapatku masuk akal. Ini bukan soal mana yang lebih baik, tapi lebih kepada kebijaksanaan. Prinsip kami adalah mundur selangkah untuk bertemu, karena mengedepankan ego adalah pangkal dari semua konflik.
Butuh perjuangan terus menerus untuk mencapai mawaddah dan semua tak lepas dari pertolongan Tuhan. Masing masing senantiasa memohon agar dikaruniai rumah tangga yang sakinah dan mawaddah.