Pada musim semi 1998, Bu Dosen Bluma Lenon membeli satu eksemplar buku lawas poem karya Emily Dickinson dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal. Begitulah cara Carlos Maria Dominguez membuka paragraf  novela Rumah Kertas

Novela itu berbicara tentang penggila buku yang tentu tak terlepas dari kertas. Maksud saya, jika kita mengambil poinnya—tumpukan kertas bahkan bisa menghilangkan nyawa seseorang. Tidak hanya itu, bahkan kertas turut andil akan kelahiran kita. Secara tidak langsung bisa berarti “ya”. Bukankah surat cinta Ibu-Bapak kita dulu menggunakan kertas sebagai medium? Bukan dituliskan melalui pesan-pesan whats-app. 

Walaupun yang terpenting adalah gagasan, akan tetapi, medium (baca:kertas) memberikan pengaruh yang besar. Dalam peradaban yang dibangun sastra, misalnya. Kita akan menjumpai karya-karya epik yang mengubah persepsi orang mengenai kehidupan dan itu semua dituliskan di atas kertas. Dimulai dari tradisi oral sampai menuliskannya di kertas. Medium ini telah memiliki sejarah yang panjang, walaupun tidak sepanjang kasih Ibu. 

Kertas yang kerap menjadi isu lingkungan dan tanpa disadari membentuk peradabannya sendiri. seperti buku, misalnya, yang membangun peradaban sejak dulu. Kertas yang selalu diisukan ingin dialihkan ke bentuk lainnya bahkan dalam tataran ingin dimusnahkan dengan berbagai macam alasan. Semakin buruknya ekosistem hutan sampai perkembangan zaman yang semakin mengarah ke digital. Semuanya digital.

Kertas adalah media yang baik membangun dan membentuk peradaban. Buktinya industri buku fisik semakin menggeliat ketimbang buku-el yang justru membuat ancaman-ancaman baru seperti mudahnya plagiasi dan pembajakan atas satu karya. Demikian juga dengan pertumbuhan industri kertas dan percetakan yang justru mengalami peningkatan sebesar 2,16% setidaknya begitu yang dikatakan BPS.

Ayolah, pembuatan kertas juga tidak sederhana, melainkan sampai pada kata njelimet. Dari hulu ke hilir kertas mengalami proses yang mengubahnya menjadi lembaran-lembaran tipis yang akan dituliskan peradaban. Mulai dari potongan kayu dengan kualitas dan jenis tertentu, tanpa getah, kemudian dimasak (tentu tidak semudah memasak mi instan) dikeringkan dan coba bayangkan jika belum ada alat secanggih sekarang. Mereka akan menjemur kertas di bawah sinar matahari dan tiba-tiba hujan. 

Tentu merepotkan sekali mengangkat lembaran kertas yang belum dipotong-potong itu. Apalagi pembuatan tisu, salah sedikit saja bisa robek. Justru kerumitan itu yang membuat kertas menjadi hal yang patut diapresiasi dengan tidak meniadakannya. 

Bayangkan pada tahun 2070 nanti jika kertas ditiadakan. Toko buku akan tutup. Para bibliophile akan menjadi gila karena tidak dapat lagi mencapai sensasi mencium wangi kertas dari buku baru. Dunia akan rumit serumit-rumitnya. Para wanita akan kelebihan jerawat karena tisu untuk wajah ditiadakan juga. Paling minimal para wanita itu akan mengalami stress karena setiap hari harus membawa kain yang tidak elok untuk mengelap wajah mereka. Para perokok juga tidak kalah tersiksa, tembakau tidak lagi dibungkus dengan kertas rokok. 

Tidak bisa saya bayangkan betapa mengerikannya dunia ini. seperti kisah-kisah distopia yang pernah dituliskan bahkan bisa lebih buruk lagi. Bahkan para utopis tidak dapat lagi menekankan prinsip-prinsip egaliter. Mungkin mereka dari salah satu kaum yang tersiksa itu.  Mengerikan. Secara prinsip (jika setuju) tentu udara semakin membaik. Ekosistem hutan terjaga seperti gadis-gadis perawan desa. Namun, jiwa para distopian menjadi sangat menakutkan. Untuk apa.

Kertas ditinggalkan berakibat meninggalkan peradaban yang telah terbentuk ratusan tahun. Saya sepenuhnya mendukung bahwa kertas dan elemen lain itu harus tetap ada. Tinggal cara bagaimana kita sebagai manusia menggunakan akal dan pikiran dalam penggunaan kertas. Kita ambil kasus dalam penulisan skripsi, misalnya. Jumlah mahasiswa di Indonesia tidak bisa dibilang sedikit. Tahun 2011 saja sudah mencapai angka 4,8 juta. Kita asumsikan di tahun 2017 lalu mencapi angka 5,5 juta. Seberapa banyak kertas yang digunakan mahasiswa? 

Oke. Kita tidak susah payah menghitung berapa kertas yang terbuang untuk penulisan skripsi. Maksud saya, tidak apa menggunakan kertas sebagai medium skripsi, tetapi dalam pelaksanaannya tentu tidak langsung jadi sebuah skripsi yang diidam-idamkan mahasiswa (apa lagi mahasiswa tingkat paling akhir). Pasti melalui proses yang tak kalah njelimet ketimbang pembuatan kertas itu sendiri. ketika revisi-an yang banyak membuang kertas sangat disayangkan. Harus ditemukan cara lain. 

Konsultasi dengan membuat kolom komentar di microsoft word. Mungkin dapat dilakukan. Setelah jadi, baru dijilidkan sebenar-benarnya skripsi. Sayangnya, di era yang katanya zaman now ini, kita masih kagok dalam penggunaan teknologi untuk hal-hal seperti ini. Hal kecil saja, masih banyak yang tidak tahu cara memanfaatkan fasilitas di word. Banyak yang tersembunyi.

Mengingat bahan baku kertas yang berasal dari hutan akan membuat kita serta merta dengan pikiran kosong merujuk total luas hutan yang dimiliki suatu negara. Di Rusia yang memiliki hutan perawan kira-kira seluas 289 juta hektare (paling luas di dunia) dan Indonesia memiliki hutan seluas 160-an juta dan kepala kita mulai memikirkan masa depan hutan Indonesia beserta kaitannya terhadap pemanasan global. 

Memang benar jika kita berpikir mentah seperti itu. Seolah-olah setiap tahun hutan akan berkurang pohon demi pohon setiap detiknya karena tingkat produksi kertas Indonesia mencapai 7,9 juta ton. Jika logikanya seperti itu tentu sah-sah saja jika kita jawab dengan analogi, pernikahan pada 2015 berada pada angka 1.958.394  berapa pohon yang sudah ditanam? Pemerintah sudah melakukan itu tahun 2015 lalu melalui kementerian lingkungan hidup melalui kementerian agama.

Belum lagi hari menanam pohon yang ditetapkan pada tanggal 28 november setiap tahunnya. Tentu sudah banyak pohon yang sudah ditanam dan cukup untuk menyanggah pikiran-pikiran kita tentang hutan yang (akan) kosong melompong seperti gigi nenek yang tinggal dua, barangkali. Namun, lagi-lagi tidak sesederhana itu. Akan banyak aspek yang memengaruhinya. Bahkan Bapak Presiden kita mengatakan kira-kira begini, dari sekian banyak pohon yang ditanam, tunjukkan enam pohon saja yang hidup.

Walau pun agak berlebihan tentu itu adalah koreksi bagi kita selaku pengguna bahan olahan pulp dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang harus melakukan terobosan baru di bidang kehutanan. Tidak lupa juga para pengusaha pada bidang itu turut memberikan kontribusi yang lebih baik lagi. 

Untuk menggenjot aspek-aspek lain seperti ekonomi dll., dibuatkanlah aturan mengenai hutan tanaman industri yang tertuang dalam PP No. 7 tahun 1990 tentang hak pengusahaan hutan tanaman industri. Tentu ini akan mampu memompa produktivitas pengelolaan industri bidang kehutanan. Lagi-lagi kita akan dipertemukan dengan hal-hal rumit. Pengelolaan HTI yang tidak sembarangan. Tentu untuk arah yang lebih baik seperti menghindari eksploitasi yang sudah terjadi besar-besaran sejak dulu. 

Dalam pelaksanaannya, hutan tanaman industri harus menerapkan manajemen budidaya kehutanan yang intensif. Dengan melakukan konservasi, atau pun restorasi pada hutan yang telah dipanen. Sederhananya, memanen satu sisi dan menanamnya kembali. Begitu terus sesuai termin penanaman HTI itu sendiri.

Sampai kapan pun kertas yang berasal dari pohon akan terus membangun dan merawat peradaban seperti rumah kertas pada buku carlos maria dominguez dengan segala polemiknya. Mempertahankan atau mengubah. Pilihan ada di tangan kita semua. Ah, lebih baik kita meninggalkan sesuatu yang baik kemudian menjadi abadi. Seperti yang dikatakan Pram, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Setidaknya, karena kertas kita masih bisa membaca kisah-kisah tentang kehidupan yang sudah ditulis di buku-buku. itulah peradaban. Saya rasa, peradaban itu sepanjang masa. Tujuh puluh tahun lagi kita masih akan membaca Anna Karenina yang lahir pada abad ke-17.

Akhirnya saya akan mengutip puisi joko pinurbo:.

Selamat Ulang Tahun, Buku

Selamat ulang tahun, buku. Makin lama kau makin kaya

saja. Tambah cerdas pula. Aku saja yang tambah parah

dan sekarang mulai pelupa.

Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain

sejumlah ralat dan catatan kaki yang aku tak tahu akan

kutaruh atau kusisipkan di mana. Sebab kau sudah

pintar membaca dan meralat dirimu sendiri.

Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku

berdarah-darah menuliskanmu. Dan aku agak curiga

jangan-jangan kau (pura-pura) pangling dengan saya.

Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih

atau pacar naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu!