Merokok membunuhmu! Mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan kalimat seruan seperti ini, yang terus menyuarakan dongeng kematian karena rokok.
Menurut saya, menjadikan kematian sebagai alat propaganda merupakan hal yang tidak wajar lagi. Mengapa? Karena kematian adalah hal yang pasti, dan penyebab kematian bukan hanya rokok saja.
Sedari dulu pemahaman dan doktrin buruk tentang rokok telah menempel dalam pikiran masyarakat, seperti rokok dapat menyebabkan kecanduan, kanker, dan gangguan lainnya.
Kita percaya karena telah terbiasa dengan info negatif dan hasil-hasil penelitian yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Rokok juga selalu menjadi kambing hitam setiap masalah, mulai dari kemiskinan yang dianggap sebagai beban negara, karena perokok sering sakit-sakitan.
Padahal, kalau dikaji lebih jauh, polusi udara yang disebabkan asap knalpot motor lebih menyumbangkan bahaya yang lebih besar sekitar 60-70%, 10-15% dari asap industri dan sisanya dari pembakaran sampah rumah tangga dan kebakaran hutan.
Namun sebaliknya yang banyak kita temui justru media-media dan iklan-iklan yang terus menayangkan soal larangan merokok karena dapat menyebabkan penyakit mematikan. Itu adalah hal yang bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di kehidupan nyata.
Seharusnya yang media lakukan adalah menyuarakan penghijauan kota untuk meminimalisasi polusi dari kendaraan-kendaraan di ibu kota.
Sedikit memutar memori ke masa lalu dalam buku yang berjudul Perempuan Berbicara Keretek. Dalam buku ini, terdapat esai yang menceritakan kalau perempuan pada masa penjajahan menggunakan sirih dan tembakau untuk mengotori mulut dan giginya agar tidak diculik oleh penjajah.
Mengingat pada masa itu, standar kecantikan ialah mereka yang memiliki kulit putih dan bersih. Berkat sirih dan tembakau yang mereka kunyah, mereka terselamatkan dari kejahatan penjajah masa itu.
Dari pengalaman historis itu, kita bisa berkata kalau kretek adalah bagian dari budaya Indonesia. Seharusnya cerita soal menjaga kelestarian, kereteklah yang harus digembor-gemborkan pemerintah, media, dan iklan-iklan layanan masyarakat. Supaya apa? Supaya warisan budaya itu terus ada dan tidak hilang dimakan waktu
Lalu kalau ada yang harus disuarakan lebih keras adalah dengan memikirkan bagaimana cara agar pemerintah tak termakan isu atau kampanye tentang bahaya rokok bagi kesehatan, yang terus didorong antirokok untuk membuat pemerintah meratifikasi FCTC.
For your information, FCTC atau Framework Convention on Tobacco Control merupakan perjanjian internasional tentang kesehatan masyarakat yang dibahas dan disepakati oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Traktat ini bertujuan untuk melindungi generasi masa kini dan masa mendatang dari dampak konsumsi rokok dan paparan asap rokok.
Jika traktat ini diratifikasi pemerintah, maka rokok benar-benar akan mati. Dunia pertembakauan dalam negeri akan benar-benar mampus. Petani-petani tembakau akan jatuh dalam kemiskinan karena mata pencarian hidupnya ditutup rapat-rapat.
Dan jika tembakau sudah tidak ditanam lagi, maka kita akan kehilangan warisan budaya yang turun-menurun. Mengingat keretek adalah salah satu kekayaan Indonesia yang merangkum pengetahuan dan kreativitas masyarakatnya dalam mengolah dan mengonsumsi tembakau dari generasi ke generasi.
Keretek yang pertama kali diracik di Kudus jauh sebelum Indonesia merdeka seharusnya kita jaga sebagaimana kita menjaga warisan budaya yang lain. Lebih dari itu, tembakau dalam keretek kini telah menjadi bagian dari mata pencarian hidup yang bahkan menghidupi separuh bangsa ini. Jadi apakah kalimat, “Merokok membunuhmu!” masih terdengar heroik?
Kita terlalu mudah termakan doktrin sampai lupa kalau ternyata ada satu keluarga atau jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada sebatang rokok.
Bagaimana cara rokok menghidupi rakyat?
Mengutip dari tulisan Sabda Armandio yang berjudul Jelajah Tembakau Nusantara: Tembakau Lombok di situs Komunitaskretek. Dalam tulisannya, ia bercerita tentang kegiatannya mengunjungi petani tembakau di Lombok, dan bertemu dengan salah satu pekerja yang mengaku ekonominya membaik berkat tembakau. Ia bisa menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anaknya keluar kota.
Tembakau menjadi nyawa kehidupan bagi petani tembakau di Lombok. Jadi kalau kampanye antirokok berhasil mencapai visi-misinya, mungkin petani tembakau di Lombok akan benar-benar mati. Bukan lagi kematian pribadi, melainkan kematian sosial yang akan terjadi. Di mana terjadi kelaparan di satu desa, anak-anak yang putus sekolah karena mata pencarian keluarga ditutup sebab segelintir orang yang menyuarakan kematian karena rokok.
Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer kalau rokok keretek merupakan sesuatu yang penting dalam penguatan ekonomi local. Pemerintah memberi pajak yang tinggi untuk industri rokok dan sedikit-banyaknya pajak rokok telah membantu negara ini.
Kekreatifan perempuan bernama Mbok Nasilah pada 1870-an di Kudus, dengan meracik komposisi tembakau dan cengkeh yang dilinting dengan daun jagung kering menjadi rokok keretek telah menghasilkan produk yang membantu mengubah perekonomian masyarakat. Makin ke sini, keretek menjadi sumber penguatan ekonomi pribumi.
Dongeng-dongeng kematian karena rokok dan stigma buruk yang melekat padanya seharusnya dibisukan saja, dan digantikan dengan puisi-puisi indah tentang keretek dan sejarahnya, tentang kontribusi keretek di masa lalu dan masa sekarang. Jangan sampai warisan budaya itu hilang.
Mengapa? Karena ketika petani tembakau tidak menanam tembakau lagi, mereka tidak akan memiliki mata pencarian untuk menghidupi keluarganya.
Apakah rokok masih terdengar semengerikan itu? Saya rasa tidak. Sebab propaganda-propaganda kematian karena rokok tidak lebih mengerikan dari berita satu keluarga mati kelaparan karena tidak bisa menanam tembakau sebab tak ada konsumennya lagi.