Kala itu pagi begitu cerah, si budi dan si Farhan segera bangun dari tempat tidurnya untuk bergegas mandi. Selepas itu, tak lupa mereka mengisi perut yang kosong dengan menghisap sebatang rokok ketengan dan mengecap secangkir kopi sasetan. Setelah itu, mereka bergegas berangkat untuk mencari sesuap nasi. Mereka adalah seorang surveyor yang ditugaskan oleh salah satu lembaga riset untuk mewawancarai seorang responden di salah satu kelurahan di Jakarta Utara.

Mereka mengerjakan semua itu demi tugas yang mulia, yaitu mengumpulkan data-data responden untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan yang pro terhadap rakyat yang kurang mampu. Tapi tau sendiri lah, itu hanyalah sebuah alasan yang berkedok materialis, ya apalagi kalau bukan soal pemersatu manusia di seluruh dunia yaitu apa yang disebut dengan cuan.

Perjalanan mereka dari Ciputat hingga sampai di tempat penugasan ditempuh kurang lebih selama dua jam. Ya, tentu perjalanan yang cukup panjang untuk sekelas budi dan Farhan yang kerajaannya tidak menentu. 

Kadang mereka menjadi mahasiswa dalam sebuah forum dan kadang menjadi pekerja serabutan, ya mereka memang kadang-kadang. Sepanjang perjalanan menuju tempat penugasan, sesekali mereka rehat di sebuah kedai kopi, untuk sekedar merenggangkan badan, mengecap secangkir kopi sasetan dan menghisap sebatang rokok ketengan.

Aktivitas menghisap rokok ketengan sembari mengecap secangkir kopi sasetan seakan telah menjadi candu bagi mereka. Ya, mirip dengan salah satu slogan produk minuman kemasan “apapun masalahnya kopi dan rokok adalah kawannya”. Seolah-olah kopi dan rokok sudah menjadi kebutuhan primer yang ketika itu dihilangkan mereka takkan bisa hidup. Rokok dan kopi sudah menjadi gaya hidup bagi mereka, yang jika itu dihilangkan maka mereka mengalami keterasingan.

Dalam keletihan mencari rumah-rumah responden, Budi dan Farhan rehat di sebuah kedai kopi sembari mengecap secangkir kopi sasetan. Namun, tanpa rokok yang menemani sebab mereka kehabisan rokok untuk dihisap lagi. Dalam keletihan itu, si budi tanpa sengaja membaca sebuah artikel yang berjudul “Why the wealthy stopped smoking, but the poor didn’t” ditulis oleh washingtonpost.com pada 14 Januari 2015 silam.

Dalam artikel itu, Keith Humphreys menjelaskan bahwa beberapa alasan mengapa orang miskin dekat dengan rokok; pertama, perokok berpenghasilan rendah menghisap rokok lebih lama dan dalam pada setiap batangnya ketimbang orang-orang kaya lainnya, sehingga memperkuat kecanduan mereka. Kedua, pendapatan cenderung memisahkan tempat orang bekerja dan tempat mereka tinggal. 

Lingkungan perokok miskin dikelilingi oleh orang-orang yang terus merokok sehingga ia sulit untuk berhenti. Ketiga, perokok miskin memiliki keterbatasan akses dalam pengobatan kesehatan mental seperti depresi, stress dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga ia sulit berhenti merokok.

Di Indonesia sendiri, ketika ada isu kenaikan harga BBM selama Agustus 2022 berhembus kencang, pada waktu yang bersamaan produksi rokok meningkat yaitu menembus 28,31 miliar batang. 

Produksi tersebut melonjak jika dibandingkan dengan bulan lalu.  Bahkan jauh sebelumnya pemerintah telah memutuskan menaikkan tarif cukai rokok pada 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa alasan kenaikan cuka rokok ialah untuk mengendalikan konsumsi masyarakat. Rokok disebut sebagai pengeluaran terbesar kedua setelah beras dari kelompok rumah tangga miskin.

Kenaikan inflasi bahan pangan akibat dari kenaikan harga BBM berpotensi memperparah tingkat kemiskinan. Namun di sisi lain kenaikan harga bahan pangan itu, nampaknya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya beli masyarakat terkait selenting tembakau yang berlilitkan kertas itu. Hal ini menjadi sebuah Indikasi bahwa produksi rokok belum terpengaruh secara signifikan oleh kenaikan harga BBM subsidi.

Pembacaan ini, membawa pikiran si budi menjadi travelling, hingga ia teringat dengan seorang filsuf yang bernama Karl Marx. Ketika Marx mengamati kondisi masyarakat, ia melihat agama sebagai ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. 

Agama adalah keluhan mahluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, ia adalah suatu roh yang tanpa roh, ia adalah candu masyarakat. Bagi Marx, Kritik terhadap agama harus menjadi kritik terhadap masyarakat, bukan pada agama itu sendiri. Kritik pada agama berarti kritik terhadap surga menuju dunia, kritik pada agama berarti kritik pada hukum dan kritik pada agama adalah kritik pada politik.

Menyamakan agama dan rokok tentu bukan hal yang apple to apple untuk disamakan, kata budi dalam hatinya. Hanya saja, ada beberapa kondisi sosial ekonomi dimana agama dan aktivitas menghisap rokok memiliki kesamaan.

Ketika Marx melihat agama sebagai candu masyarakat, sepertinya hal itu juga berlaku pada rokok. Ya, menghisap rokok sudah biasa kita lihat di berbagai sudut pinggiran kota atau di tengah pemukiman kumuh yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Hal ini, seolah memberikan gambaran bahwa rokok adalah sahabat orang miskin.

Budi beranggapan bahwa persoalan konsumsi rokok bukan hanya persoalan kesehatan semata. Namun lebih dari itu, persoalan rokok erat kaitannya dengan persoalan struktur masyarakat.  Kritik terhadap rokok bukan terletak pada rokok itu sendiri, melainkan apa dibalik rokok. Rokok adalah sebuah ungkapan penderitaan akibat kemiskinan, pengangguran dan berbagai permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. 

Hal ini, seolah memberi gambaran bahwa menghisap rokok ketengan merupakan sebuah ekspresi penderitaan yang sungguh-sungguh. Ya, hal ini mirip dengan adagium Karl Marx yang terkenal “Agama adalah opium masyarakat” yang jika dipelintirkan jadinya “Rokok adalah opium masyarakat”.

Referensi:

Indonesia, CNBC. (2022). Produksi Rokok Melonjak 10%, Orang Stres Karena BBM Naik? CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/market/20220909100556-17-370661/produksi-rokok-melonjak-10-orang-stres-karena-bbm-naik#:~:text=Produksi rokok pada Agustus tahun, menyentuh 26%2C39 miliar batang.

Keth, H. (2015). Why the wealthy stopped smoking, but the poor didn’t. https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2015/01/14/why-the-wealthy-stopped-smoking-but-the-poor-didnt/

Maulana, R. (2021). Alasan Pemerintah Naikkan Tarif Cukai Rokok di Tahun 2022. https://www.kompas.com/wiken/read/2021/12/18/130000781/alasan-pemerintah-naikkan-tarif-cukai-rokok-di-tahun-2022?page=all

Suseno, M. F. (1999). Pemikiran Karl Marx D ari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia.