Judul tulisan Rocky Gerung Jarang Baca Buku atau kalimat tepatnya "Kini Sudah Jarang Baca Buku" adalah kesimpulan yang akan saya susun argumentasinya dalam tulisan ini, sebagaimana yang selalu ditekankan oleh Rocky di berbagai kesempatan bahwa argumentasi adalah segalanya.  

Sebagaimana prinsip bahwa tidak ada kebenaran absolut yang menjadi patokan bagi semua orang, bisa saja kesimpulan saya benar hari ini tetapi besok sudah tak berlaku lagi karena ada perubahan substansi dari premis yang disajikan. Argumentasi saya hari ini berdasarkan pada berbagai tanda dari hasil mendengarkan lebih dari puluhan video-video Rocky di berbagai kesempatan.

Dalam semiotika, video yang berisi gerakan dan suara (narasi) adalah media tanda. Di setiap tanda ada makna dan di setiap narasi ada ideologi. Itu pasti. Setidaknya begitu menurut Van Dijk dan De Saussure. 

Saya penggemar pemikiran-pemikiran yang dianggap 'berat' yang merupakan varian dari filsafat, seperti hermeneutika, semiotika, etika, ontologi, epistemologi, dan lainnya. 

Pernah juga mendapat kuliah tentang filsafat dari asistennya Rocky, yaitu dari Donny Gahral Adian di beberapa pertemuan; rajin hadir di berbagai seminar tentang filsafat; bahkan pernah aktif bergabung di klub kajian filsafat YISC Al-Azhar, sebelum Al-Azhar yang kini lebih "kekanan-kananan".

Perdebatan tentang tema-tema filsafat tak asing bagi saya: dari yang biasa sampai yang ekstrem dan janggal pun sering mendengar bahkan terlibat. Jadi, jika Rocky Gerung menyampaikan tentang konsep "kitab suci fiksi", itu biasa saja. Tidak menanggapinya seperti orang-orang yang kebakaran jenggot. 

Memang, perlu akal sehat dalam menanggapi itu semua. Akal dengan akal. Argumen dengan argumen.

Saya juga penggemar ceramah-ceramah pedagogis Rocky Gerung. Setidaknya pedagogis adalah menurut pengakuan Rocky, meskipun ada beberapa kesempatan yang lebih terkesan demagogis.

Kegemaran saya jika buka YouTube, kalau tidak nonton Blackpink, ya nonton video-video Rocky Gerung. Saya sampai hafal ungkapan-ungkapan dan jargon-jargon yang disampaikan olehnya.

Misalnya video Rocky di banyak seri ILC, baik sebelum masalah kitab suci fiksi maupun setelahnya, video di banyak Kampus Muhammadiyah di daerah, di saat mengisi kuliah di berbagai tempat seperti di Komnas Perempuan, orasi di GBK saat mengatakan ia akan mengkritik Prabowo 12 menit setelah dilantik, di kampus Makassar, di acara Amien Rais Yogyakarta, dan banyak lagi. Pokoknya hampir tidak ada yang terlewatkan. Namanya juga hobi. 

Saya menelusuri juga latar belakang dari biografinya. Ia konsisten dengan jargonnya bahwa "ijazah adalah tanda lulus kuliah bukan tanda pernah berpikir", sehingga gelar akademis menjadi tidak penting baginya. 

Dari latar belakang itu, ada kesamaan antara Rocky Gerung dan saya, yaitu sama-sama Ghost Writer. Rocky Gerung, misalnya, menjadi Ghost Writer dari berbagai pidato Gus Dur. 

Kalau saya? Tak usah disebutkan, yang pasti banyak, tulisan saya sendiri tapi secara sadar saya hibahkan kepemilikan hak cipta untuk orang lain. Toh, untuk apa hak cipta di republik kita ini? Tidak dihargai sama sekali toh, mending saya hibahkan, ditukar dengan materi yang saya butuhkan. Pragmatis memang. 

Ungkapan Rocky Gerung yang sering bikin orang lain panas kuping adalah terlalu seringnya ia memakai kata "Dungu". Saya pun tertawa setiap kali ia bilang demikian. Ingat, makian atau kata yang kasar itu bagian dari filsafat lho

Tidak percaya? Ada namanya istilah "Stilistik" model Semiotika Van Dijk yang di dalamnya ada Leksikon. Dungu itu leksikon yang tepat, yang selalu digunakan Rocky untuk menggambarkan orang yang berargumen atau bertindak di luar nalar.

Sekarang saya mau langsung ke inti dari judul. Setelah melihat puluhan video Rocky Gerung, saya berani katakan bahwa Rocky sudah jarang baca buku lagi. Kenapa? Ya karena materi yang ia sampaikan itu-itu saja. 

Satu kalimat atau statement yang sama, ia sampaikan di banyak kesempatan. Sama persis susunan kalimat. Kadang ia ubah sedikit, dengan tidak mengubah makna. 

Bukan hanya ide dan kalimatnya mengenai suatu tema yang sama, tetapi juga contoh-contoh yang disajikan pun sama di berbagai kesempatan. Itu menunjukkan dia kehabisan referensi dalam mengolah suatu tema, dalam menyajikan suatu sintaksis kalimat, dan dalam menyusun koherensi makna. 

Misalnya, Rocky selalu mengulang-ulang bagaimana contoh kemampuan metaforis dari tokoh besar dalam berargumentasi dengan menceritakan saat KH Agus Salim, yang disebut oleh Rocky memiliki penampilan seperti kambing karena ada jenggotnya, berceramah dalam suatu forum. 

Lalu di pojok ada yang protes dengan berteriak mengembik: "Mbeeeek..mbeeeek.." melecehkan. Lalu Agus Salim tidak serta-merta marah, tetapi dengan membuat metafora: "Panitia, seingat saya, saya diundang di forum manusia, kenapa di pojok sebelah sana ada binatang?"

Contoh tersebut diulang-ulang terus di berbagai kesempatan. Seolah tidak ada lagi contoh lain yang pernah ia baca untuk menunjukkan pentingnya kemampuan membuat metafora dalam berargumentasi. 

Atau mengenai ungkapan Jean-Jacques Rousseau yang selalu Rocky kutip dalam menggambarkan pentingnya dialog dalam berdemokrasi. Rousseau, saat ditanya kenapa Roma jatuh, ia mengatakan bahwa demokrasi adalah ibarat buah. Hanya pencernaan yang bagus yang dapat mencerna buah yang bagus. 

Ungkapan itu selalu dibawakan Rocky di setiap kesempatan. Coba saja simak videonya kalau tidak percaya.

Narasi-narasi utama Rocky pun tidak ada yang berubah di berbagai kesempatan ia tampil, seperti "Mengkritik adalah menggeleng bukan mengangguk", "pemerintah adalah pembuat hoaks terbaik", "mengkritik tidak harus memberi solusi", dan banyak lagi kesamaan narasi yang ia sampaikan berulang-ulang, seakan hanya itu saja yang ketahui untuk menghasilkan suatu koherensi makna.

Jadi, bukan tanpa dasar saya mengatakan, mungkin karena padatnya jadwal acara Rocky Gerung saat ini, sehingga suatu sintaksis kalimat disampaikan berulang-ulang di berbagai kesempatan, membuatnya sudah tidak punya lagi waktu untuk membaca literatur-literatur yang saya yakin sangat digemarinya selagi ia menjadi dosen.

Ini kekhawatiran saya: Rocky Gerung sudah berubah. Dari mesin kampus ke mesin politik, sehingga membuatnya kehilangan waktu berharganya untuk bergaul dengan buku. 

Tidak ada yang salah memang. Sah-sah saja, tetapi saya juga merindukan untuk lebih mendengarkan pemaparan yang lebih berbobot dan memiliki kajian yang lebih mendalam, bukan hanya ungkapan demagogis semata di panggung yang berdurasi belasan menit.

Pengalaman saya mendampingi beberapa tokoh besar, memang kendala utama tokoh besar adalah tidak punya waktu lagi untuk membuka buku tebalsehingga apa yang disampaikan adalah tabungan ingatan dan pemahaman dari hasil interaksi dan hasil baca sebelum ia sesibuk sekarang. 

Ada satu orang yang setau saya, meskipun ia berceramah di banyak tempat, meskipun temanya sama, tetapi bisa menyampaikan dengan uraian, argumentasi, dan contoh yang berbeda-beda. Dia adalah Jalaluddin Rakhmat. 

Setiap ia tampil di panggung seminar yang saya hadiri, tidak pernah menyampaikan sintaksis kalimat dan contoh yang sama. Selalu beda. Selalu ada hal, argumen, dan contoh yang baru. Rocky Gerung masih jauh dibanding level beliau.

Di balik itu semua, ada satu hal yang harus dihargai. Jualan Rocky Gerung adalah "Akal Sehat". Pemaparannya yang rasional memberikan nuansa tersendiri di republik ini daripada saya banyak menyimak para penceramah yang standarnya kitab suci yang sudah final. 

Tidak bisa dibantah. Dibantah sedikit meradang. Repot kalau sudah begitu.