Pandai berbicara, mahir berargumentasi dengan macam-macam peristilahan yang tidak lazim bagi kebanyakan orang, justru menghadirkan warna baru dalam setiap diskusi.
Demikianlah sosok Rocky Gerung atau sering disapa dengan RG yang makin fenomenal hari-hari kini. Kata-kata yang bermakna satire, kecenderungan yang paradoksikal, dan berbagai ungkapan kritis-argumentatif acap kali menjadi perdebatan serius hampir di setiap ruang dialektika.
Sindrom akal sehat ini kemudian berdampak pada perlokusi. Banyak yang berkomentar tidak sepihak dengan RG, tidak sedikit pula yang masuk dalam wilayah akal sehat sang filsuf. Kekisruhan akal sehat ini menciptakan suatu iklim dikotomis antara RG dan mereka yang tidak sepihak pada tokoh akademis tersebut.
Sebagai seorang yang belajar banyak aliran filsafat, RG tentu sangat paham tentang bagaimana membangun konsep kokoh hasil dari olah logika yang matang. Kemahirannya bersilat kata makin menambah daya dorong untuk setiap alasan yang disampaikan.
Layaknya seorang cendekiawan Yunani kuno, RG punya karakteristik bernalar dan rasionalitas yang khas pada setiap buah pemikirannya.
Secara empiris, boleh disimpulkan bahwa RG menfanatiki konsep akal sehat, sehingga konsep-konsep etika berkomunikasi cenderung luput dari perhatiannya. Istilah dungu telah menjadi keyword bagi orang-orang yang menurutnya tidak berpikir secara akal sehat.
Keyakinan RG pada kebenaran akal sehatnya kemudian berdampak pada sikap-sikap antipati, arogansi intelektual, dan eksklusivitas gaya berpikir yang diskriminatif.
Mencermati karakteristik berpikir RG membawa kita pada konsep stoikisme; sebuah mazhab fisafat Yunani Kuno, buah pikir Zeno dari Citium yang hidup sekitar tahun 340-260 sebelum masehi.
Nama mazhab ini diambil dari salah satu lokasi di Athena tempat pertama kali stoikisme didirikan. Filsuf-filsuf beraliran stoikisme selalu berkumpul dan mengajar di banyak selasar Athena sehingga para pengikut mazhab ini disebut dengan kaum stoa yang berarti serambi bertiang atau selasar dalam bahasa Yunani.
Ideal ajaran stoikisme adalah menjadi manusia bijaksana yang hidup selaras bersama alam dengan memperhatikan emosi-emosi diri secara rasional atau pengendalian hidup oleh akal. Para filsuf stoikisme memberikan penekanan pada aspek rasionalitas untuk mencermati segala realitas yang ditangkap oleh indera.
Rasionalitas adalah pokok pijak terhadap setiap impresi yang diperoleh untuk membuat putusan dan nilai.
Para stoa boleh dikatakan memiliki keyakinan yang hampir fanatik pada akal, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh berbagai ancaman dan argumentasi dari pihak lain dalam menilai atau membenarkan sesuatu. Orang-orang stoa mempunyai sikap hidup yang cukup ekstrem untuk senantiasa menerima setiap masukan dari pihak luar, tetapi tidak mudah percaya pada orang lain terhadap suatu fakta yang diungkapkan.
Bahkan aliran ini membenarkan untuk bunuh diri demi mempertahankan kebenaran yang diyakini. Karena bagi para penganut stoikisme, lebih baik mati secara fisik demi mempertahankan keutuhan rasionalitas supaya kebenaran tetap hidup meski masa raga harus usai di bumi ini.
Sikap hidup para penganut stoikisme, sebagaimana para penganut mazhab-mazhab filsafat lainnya, selalu berlandaskan pada tiga pokok pijak filsafat, yaitu ontologi, aksiologi, dan epistemologi. Ontologi filsafat stoikisme adalah menjadi manusia bijaksana, hidup selaras bersama dengan alam dan sesama, serta hidup bijak sesuai dengan realitas yang ditangkap oleh indera.
Hakikat ontologis stoikisme tertuang pada prinsip kunci bahwa segala kehidupan manusia telah diatur oleh yang Ilahi secara rasional. Konsep Ilahi sebagai penyelenggara hidup memberikan segala kelengkapan yang baik adanya bagi manusia.
Keberadaan manusia adalah sebagai makhluk yang memiliki daya nalar rasional yang bertugas untuk berpikir tentang segala hal yang diterima indera. Hasil bernalar manusia bergantung pada sikap memberikan putusan terhadap semua impresi yang diterima.
Pangkal penjelasan epistemologi stoikisme adalah dengan menentukan apa yang dipercayai dan apa yang tidak dipercayai sebagai sumber pengetahuan. Maksud dari ide pengetahuan ini adalah, para stoa berpijak pada impresi adekuat yang jelas, hidup, akurat, dan mempunyai kebenaran yang tetap.
Kebenaran yang tetap merupakan kebenaran yang tidak gampang disangkal yang bernaung di dalam kriteria kebenaran. Kriteria kebenaran, bagi penganut stoikisme, adalah realitas yang dapat diterjemahkan oleh nalar, berstruktur, dan tersistem sebagaimana ketentuan universal dalam kaidah-kaidah ilmiah.
Ideal stoisisme merupakan sebuah paham filsafat yang mengafirmasi secara khusus pada ihwal rasionalitas untuk menerjemahkan segala realitas dunia.
Mencermati kaidah filsafat stoikisme memiliki kecenderungan yang hampir mirip dengan gaya berpikir RG. Fanatisme pada akal sehat menjadi kesimpulan yang cukup kuat mengenai konsep bernalar RG dengan berpijak pada sudut pandang ontologis, epistemologis, serta aksiologis stoikisme. Suatu relevansi yang tidak tiba-tiba tetapi dapat diterangkan dalam segi pemahaman stoikisme.
Secara aksiologis, RG sedang mempraktikkan cara-cara bernalar kaum stoa. Akal sehat menjadi pokok untuk menerjemahkan segala yang ada terjadi.
Logos merupakan determinan absolut bagi seorang stoa. Keterampilan menjaga emosi, kreativitas menemukan ide, serta kesanggupan nalar mempertanggungjawabkan argumentasi merupakan suatu keharusan untuk dikuasai oleh setiap stoa.
Sikap-sikap bernalar secara kritis yang dipertontonkan oleh RG adalah sebuah keterampilan berpikir khas stoikisme yang mendambakan perdebatan sebagai jalan mencapai mufakat. Pertahanan diri yang kuat, keangkuhan diplomatif, dan kecakapan asketik (kematangan emosional) untuk menguasai para lawan bicara, sebagaimana yang sering ditampilkan oleh RG, adalah aspek-aspek yang selalu diaktualisasikan para filsuf stoa pada zamannya.
Terlepas dari segala macam kontroversi yang ditularkan oleh RG, konsep berpikir secara logis dengan kaidah-kaidah berpikir yang lurus merupakan suatu hal yang positif. Kejernihan mengelola akal sehat harus diimbangi dengan kesadaran secara moral, sehingga selalu punya kesempatan menciptakan iklim yang kondusif dalam setiap pencapaian argumen dalam terang konsep komunikasi yang humanis.