Pementasan, pameran, festival dan beragam parade seni adalah ladang utama para seniman. Mereka menyajikan cipta dan karya dengan segenap asa. Sayangnya pandemi yang tak berujung ini menggerus perlahan dan pasti semangat kreasi itu. Terlebih dengan tak jelasnya kebijakan beberapa birokrasi. Apapun alasan dan kepentingannya, setidaknya jadilah bagian jajaran pemerintah yang memiliki rasa nurani manusia.
Memang tidak semua pemangku jabatan pemerintahan bersikap demikian. Tapi toh, pasti masih ada saja oknum yang petentang-petenteng merasa menjadi eksekutif lokal. Bebas memberikan perintah yang wajib ditaati oleh rakyat lokalnya.
Dan kebijakan pusat yang mudah berganti di tengah pandemi memperuncing suasana. Protokol kesehatan jadi kamuflase andalan di balik niatan kepentingan. Entah itu untuk diri pribadi, kelompok atau golongan.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Wonosobo pekan lalu. Parade Seni Gunung Sarru yang sejatinya akan berlangsung pada 5-6 Februari 2022 hanya tinggal wacana dan kenangan suram.
Acara dibatalkan hanya beberapa jam sebelum terselenggara atas nama sekelompok Kepala Desa setempat. Apalagi alasannya jika bukan karena siklus corona yang sedang naik lagi.
Padahal segala persiapan sudah matang, bahkan tamu undangan yang didominasi para seniman dari berbagai kota juga sudah berdatangan. Tenda-tenda penginapan sudah didirikan di puncak bukit yang sedikit berkabut, namun tetap mengikat dengan suguhan panorama Gunung Sindara dan Sumbing yang sigap menangkap sunrise di kala Subuh.
Dekorasi panggung yang dilatari topeng raksasa berbahan kertas dan lukisan-lukisan topeng di balik tampah bambu dengan jajaran sound system juga sudah siap menyambut lenggak lenggok para penari Lengger, pesona Batik Kembang Keli dan pertunjukan seni khas lainnya.
Barisan kanvas kosong pun sudah menanti guratan cat yang akan menjadikannya penuh makna. Dan semestinya akan beriringan dengan dancing painting ala Bonardi dan ekspresif painting oleh Katirin.
Keduanya adalah pelukis papan atas yang namanya tertera dalam daftar pengisi acara. Sayang, hingga kini kanvas itu tetap tergolek putih pucat kesepian dengan harapan yang pupus di ujung jalan.
Tumpukan kayu pule yang sudah dihaluskan kasar di pinggir kawasan hutan lindung pun jadi serupa onggokan tak berdaya. Suara ketokan pahatan di lapisan luar kulit kayu hanya sekedar bias yang tak mungkin terdengar.
Sejatinya mereka akan ditatah nanti dalam atraksi pembuatan Topeng Kolosal sebagai unjuk karya jari jemari Komunitas Pametri, kelompok penggiat seni asli Wonosobo.
Apalah daya, segala tinggal wacana. Malam itu petaka datang tiba-tiba. Undangan temu atas nama paguyuban Kepala Desa jadi momok panas bagi panitia.
Mereka bukannya memberikan restu, tapi justru melempar pada jalan buntu. Beliau yang dihormati sebagai pemimpin dan pengayom kawasannya dengan lantang mengetok palu bersama.
Arahan dan putusan menyatakan bahwasanya acara esok hari di Gunung Sarru tidak dapat diselenggarakan dan tidak diberikan izin. Guna menghindari keramaian dan mencegah penyebaran corona.
Alih-alih memberikan kompromi atau solusi yang bijak. Kepala Desa malah merasa kekuasaannya tak dianggap.
Padahal Ketua Panitia pun datang sendiri tanpa perwakilan untuk menyampaikan permohonan izin ke sana kemari. SATGAS setempat juga sudah memberikan persetujuan untuk acara tetap dapat dilaksanakan dengan protokol kesehatan dan pembatasan hadirin. Yang tentu saja skema tersebut juga sudah dipersiapkan dengan matang oleh panitia.
Sounding dan pemberitahuan festival juga sudah sampai ke barisan atas pemerintah daerah di sana. Bupati Wonosobo H. Afif Nurhidayat S.Ag. pun telah dijadwalkan hadir memberikan sambutan pembukaan, serta wakilnya yang akan turut hadir keesokannya dalam penutupan acara sekaligus menyerahkan hadiah dan penghargaan kepada para seniman jawara.
Entah apa yang merasuki keputusan sepihak yang sungguh konyol dan tidak masuk akal itu. Alasan formalitas untuk menjaga kondusifitas sebagai kamuflase semu. Jika memang demikian adanya, maka konfirmasi dan penolakan tersebut semestinya disampaikan di hari-hari sebelumnya.
Nama masyarakat acap kali jadi kambing putih. Dengan alibi untuk kebaikan masyarakat. Oknum pejabat setempat bisa mengambil perintah cepat sesaat. Mau tidak mau, suka tidak suka, rela tidak rela harus ditaati demi.
Namun untuk kebaikan masyarakat yang manakah kebijakan itu sebenarnya? Apakah sempat terpikirkan multiple efek dari keputusan sesaat itu? Ataukah itu sekedar luapan emosional dari ego martabat yang dibalut retorika kepemimpinan dan digaungkan sebagai arahan kepada penduduk sektoral?
Nyatanya tangan-tangan dan otak kreatif masyarakat setempat sendirilah yang berpadu mengawali gagasan mengangkat daerahnya kembali, bukan yang lain. Mereka bersama-sama menganyam karya nyata itu tanpa pamrih. Ehh syukur-syukur siapa tau bisa membuka lagi pintu rezeki untuk para pelaku seni dan budaya di sekitarnya. Tapi ditumbangkan tanpa etika.
Eksistensi seniman yang mulai bangkit penuh percaya diri langsung amblas. Gairah partisipan yang sudah merekah seketika patah. Tak jadi pentas akibat ulah hegemoni setingkat kelurahan.
Miris! Sungguh disesalkan. Toh parade seni ini juga untuk kepentingan mengangkat pariwisata dan perekonomian masyarakat setempat. Atau ada alasan lain di balik kebijakan dadakan dari kursi kendali di kelurahan tersebut ? Jatah recehan misalnya, yang biasa malu-malu tapi tetap mau.
Di sisi yang lain Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sibuk berupaya menggali dan membangun potensi masing-masing daerah. Menampilkan citra budaya dan seni tradisi agar bernilai jual tinggi. Dengan harapan masyarakat dapat segera bangkit di tengah arus pandemi.
Semoga para perupa karya, penggiat seni dan budaya itu tidak kapok. Berhadapan dengan para pejabat memang butuh nyali yang lebih tangguh. Mana yang kuat, dia yang dapat!
Belum kelar fenomena ini, sekarang publik sudah digegerkan dengan kontradiksi wayang di tengah ombak fanatis. Akankah budaya dan kesenian asli Nusantara tetap lestari ? Atau hanya akan jadi berkas sejarah di kemudian hari.
Tetaplah berkreasi wahai para seniman meski bukan di negeri sendiri.