Akhir-akhir ini muncul sebuah aturan baru yang tengah menjadi sorotan masyarakat Indonesia yang memunculkan banyak tanggapan baik pro ataupun kontra. Banyak masyarakat yang mengutarakan opininya dan ada pula yang memprotes terkait dengan keputusan dirancangnya aturan ini.
Pemerintah tampaknya saat ini akan bertindak semakin tegas kepada siapapun yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah guna menjaga kehormatan serta harkat dan martabat pemerintah. Langkah tegas yang diambil pemerintah adalah dengan membuat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ini memuat mengenai peraturan tentang siapapun di muka umum yang menghina pemerintah melalui media sosial, maka ia akan dikenakan sanksi hukuman 4 tahun penjara.
Setelah hampir tiga tahun berhenti membahas mengenai rancangan undang-undang ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali membahas revisi dan draf terkait Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk ke depannya nanti.
Akhir Mei kemarin, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan Komisi III DPR RI telah menyelenggarakan rapat untuk membahas revisi Undang-undang ini. Namun, hingga saat ini pemerintah dan DPR belum berkeinginan untuk membuka serta mengesahkan draf tentang RUU ini yang mana revisi KUHP ditargetkan selesai pada Juli tahun ini.
Dari rapat tersebut menghasilkan pasal baru. Pasal yang dimaksud ini yaitu Pasal 240 dan 241 RKUHP yang berbunyi:
“Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV."
Kemenkumham dalam merancang Undang-Undang baru-baru ini bertujuan untuk menghindari adanya kemungkinan terjadinya kerusuhan, keributan, dan keonaran yang dilakukan oleh sekelompok orang anarkis yang dapat membahayakan keselamatan serta meresahkan masyarakat akibat dari adanya penghinaan terhadap pemerintah ini
"Yang dimaksud dengan 'keonaran' adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang (anarkis) yang menimbulkan keributan, kerusuhan, kekacauan, dan huru-hara."
Berdasarkan pasal 240 RKUHP yang sudah diuraikan di atas dapat di simpulkan bahwa siapapun masyarakat di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah melalui media sosial akan ditindak hukuman penjara selama 4 tahun.
RKUHP ini menegaskan bahwa segala bentuk penghinaan baik yang disiarkan, dipertunjukkan, atau menyebarluaskan info yang mengandung unsur penghinaan sehingga dapat dilihat dan di dengar oleh khalayak umum yang akan berakibat kerusuhan akan langsung dipidana dengan hukuman paling lama 4 tahun penjara atau di pidana denda paling banyak kategori V.
Dari aturan atau RKUHP yang dibuat pemerintah banyak menuai protes dan kritikan dari masyarakat Indonesia karena rancangan undang-undang ini seperti menyalahi sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia dan menyalahi sistem bebas mengeluarkan hak atau suara dari masyarakat sendiri.
Banyak kritikan warganet Indonesia yang di lontarkan di media sosial khususnya di Twitter dan salah satunya ada dari seorang aktivis bernama Nico Silalahi yang melalui akunnya, ia menilai bahwa peraturan tersebut tidak adil karena hal itu bisa saja membuat masyarakat memilih untuk bungkam daripada dirinya harus merasa terancam dan juga merasa karena sudah tidak memiliki kebebasan dalam bersuara.
Selain kritikan di atas juga masih banyak lagi kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh warganet dan salah satunya ada yang mengatakan
“Apakah yakin DPR mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat? Kalau sudah tidak mampu dalam menjalankan tugas yang sudah diamanatkan dan diemban oleh rakyat, beranikah kalian melepaskan jabatan kalian?”.
Terkait aturan ini masih ada beberapa masyarakat yang setuju dengan aturan ini karena masih ada yang menganggap bahwa penghinaan terhadap pemerintah bisa saja berujung dan berakibat terjadinya kericuhan atau kerusuhan yang dapat membahayakan keselamatan serta meresahkan masyarakat maka dibuatlah aturan seperti ini guna mencegah hal-hal tersebut terjadi.
Selain itu juga, penyerangan terkait kehormatan pada harkat dan martabat dari seorang presiden serta wakil presiden yang diutarakan tidak melalui media sosial bisa dijerat dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun atau denda sebanyak Rp. 200 juta seperti yang tertera dalam Pasal 218 ayat 1.
Namun, pada pasal 220 ditegaskan bahwa tindak pidana seperti yang dimaksud dalam Pasal 218 hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan dari masyarakat yang dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.
Kemenkumham diketahui saat ini tengah melakukan sosialisasi RKUHP di 12 kota di Indonesia sejak awal Mei 2021. Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan ada 12 kota yaitu Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram, Manado, dan Jakarta.
Wakil Kemenkumham, Eddy OS Hiariej mengatakan bahwa persoalan tentang undang-undang ini sudah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji coba dan di lakukan pertimbangan, namun MK menolak. Eddy menekankan bahwa tentang penghinaan terhadap pemerintah ini tidak bertentangan dengan konstitusi sehingga ia merasa tidak ada masalah dengan aturan baru ini.