Segala hal yang kita miliki, seperti penglihatan, pendengaran, dan tangan dapat memberikan dampak yang positif maupun negatif, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Jika kepada hal yang baik, tentu keuntungan yang kita peroleh, dan sebaliknya jika digunakan untuk keburukan.

Ya, keburukan dan kebajikan senantiasa beriringan ia adalah sunnatullahi, ada Qabil dan Habil,  Fir’aun dan Musa,  dan Abu Lahab dengan Muhammad. Tuhan memberi kebebasan kepada kita jalan apa yang ingin kita tempuh. Dan negara yang baik, tentulah negara yang masyarakatnya bukan hanya senang kepada kebaikan, tetapi memilih kebajikan dan kebaikan.

Menurut penulis, diantara penyebab merajalelanya kejahatan, kemungkaran, dan keburukan adalah karena tindakan-tindakan tersebut diteriakan dan diserukan secara terang-terangan dan percaya diri. Lihat saja, bagaimana diantra sebagian artis dan pablik figur memasarkannya dengan tingkah dan gaya hidup mereka. Lihat keadaan di sekililing kita, di kampung sekalipun, saat ini hamil di luar nikah banyak ditemui, sehingga bagi banyak maasyarakat kucing liar yang mencuri ikan asin lebih mengagetkan dan mencengangkan,  dibandingkan hal ini. Atau mungkin diantara Anda ada yang mengingat masa saat sekolah, saking banyaknya anak yang mencontek, mereka dapat mendiskriminasikan anak yang jujur dalam mengerjakan ujian.

Singkatnya kesalahan dan kejahatan yang dilakukan secara masal bin berjama’ah membuat para pelakunya tenang atau malah membuat mereka bangga berbuat kesalahan. Tak salah, dalam Islam Rasul kami menggambarkan bahwa memegang keimana di akhir Zaman bagai menggenggam bara api.

Menurut penulis, diantara hal yang menyebabkan voiceless-nya kebaikan adalah ketakutan akan riya. Bagaimana tidak? Amal ibadah kita akan berguguran dengan menyakiti penerima bantuan  atau berbuat riya. Bahkan ia adalah bentuk syirik kecil yang dikhawatirkan Rasulullah. Kebaikan yang kita lakukan akan sia-sia jika motivasi kita adalah menunjukan kebaikan dan kehebatan diri kita. Jadilah kebaikan tersembunyi dan kehilangan teman-teman dan pengikutnya, tidak demikian dengan kejelekan yang semakin banyak jama’ahnya.

Pak Yai penulis KH Fadlolan Musyaffa’ sering mengkisahkan kami para  santri pengalaman beliau belajar di al-Azhar. Di bis umum beliau biasa menemui para penumpang, Ibu-ibu dan bapak-bapak yang menggenggam Majmu’ Syarif dan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an.  Tak kalah, maasiswa pun demikian. Di halaman kampus atau sambil berjalan mereka menghafalkan al-Qur’an, ketika berpapasan dengan teman, mereka saling sapa, “hei!”, lalu kembali meneruskan hafalan al-Qur’an. Mereka juga tak segan shalat di halaman ketika waktu shalat tiba.

Tak kalah keren dengan Mesir, guru-guru penulis yang pernah belajar di luar negeri mengisahkan semangat dan kerasnya belajar di sana. Para mahasiswa bisa sampai pagi membaca di perpustakaan. Dan tentu saja perpustakaannya begitu lengkap dengan fasilitas yang mendukung dan memanjakan. Ada juga mahasiswa yang tiba-tiba berteriak di Perpustakaan karena saking 'banyaknya' belajar.

 Di sini, masih banyak tempat yang bahkan pelajar dan mahasiswa pun terheran melihat temannya senang membaca buku, “kamu rajin banget sih!”.  Atau karena dibentuk untuk mementingkan hasil dan angka ada juga di antara mereka yang mengatakan,”Padahal aku gak belajar, tapi nilaiku bagus!”, ucapan ini membuat minder pelajar yang giat belajar tapi tidak mendapatkan ‘nilai’ yang baik, jadilah mereka juga termasuk kaum voiceless.

Jadi tingginya rasa kekhawatiran terhadap riya' menunjukan merajalelanya keburukan. Karena bagaimna mungkin seseorang dapat menunjukan kehebatan dan kebaikan dirinya jika orang-orang di sekitarnya melakukan kebaikan yang sama atau lebih? Bagaimana mungkin ia dapat menunjukan bahwa ia orang yang dermawan, kalau orang-orang disekitarnya adalah orang yang senang memberi dan bersedekah? Karena itu, suarakanlah kebaikan sehingga kita tidak ‘merubah sejarah’, menjadikan orang yang berbuat baik takut dan tidak tenang.  Bukankah kita diperintah untuk berlomba dalam kebaikan?

Meraih keikhlasan memang sebuah perjuangan, dan ia adalah sebuah perjalanan. Sebagaimana yang Ippo Santosa pernah katakan, “Jangan tunggu yakin untuk berdo’a, karena semakin kita berdo’a semakin kita yakin”. Ikhlas sendiri, menurut Prof. Quraish Sihab diambil dari kata kholusho yang berarti murni setelah sebelumnya diliputi dengan kekeruhan.

Karena itu sebelum hati  dan totalitas diri kita dapat menyadari bahwa  ridha Tuhanlah  alasan kita beramal, akal kita yang sudah mengerti kelemahan diri kita dan keagungan Tuhan yang hendaknya membimbing kita menempuh jalan Ikhlas. Bukankah Tuhan Maha Mengapresiasi? Bukankah jika kita mendekat kepadaNya dengan berjalan Ia menuju pada kita dengan berlari?

Mari tebarkan kebaikan, mari bangga dengan kebenaran, dan mari berlomba dalam kebaikan untuk kehidupan yang lebih damai dan baik.

 Akhirnya,  selamat menyambut hari santri 22 Oktober 2016. Mari mengenang dan meneladani para pejuang dan Ulama yang berani dan berjuang untuk kebenaran dan tanah air :).