Dalam 7 tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh cukup kuat dengan rerata pertumbuhan 5,64 persen. Namun, pertumbuhan tersebut belum mampu menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Setiap pertumbuhan ekonomi 1 persen hanya dapat menurunkan kemiskinan sebesar 0,116 persen pada periode 2010–2012 dan sebesar 0,059 persen pada periode 2013–2016. Angka kemiskinan pada 2010 sebesar 13,3 persen kemudian menyusut menjadi 10,5 persen pada 2017.
Sedangkan untuk Gini rasio hingga September 2016 menurun 0,01 poin dibanding posisi yang sama tahun tahun sebelumnya menjadi 0,40 poin. Hal ini mengindikasikan bahwa kesenjangan pendapatan antara orang kaya dan miskin penduduk Indonesia kembali menurun. Namun ini bukan merupakan suatu kabar baik, karena penurunan angka Gini rasio ini lebih dipicu oleh masyarakat berpendapatan atas mengalami kemunduran. Idealnya, penurunan kesenjangan didorong oleh kenaikan kelas dari berpendapatan rendah ke golongan menengah dan golongan menengah berubah status menjadi berpendapatan atas.
Namun apabila kita melihat dari data distribusi pengeluaran perkapita, angka kesenjangan Indonesia cenderung stagnan dimana seperlima orang terkaya Indonesia masih menguasai 47% pengeluaran perkapita nasional. Berdasarkan data pengeluaran yang dipublikasikan oleh BPS, kelompok 20 persen terkaya menyumbang 47 persen pengeluaran. Sedangkan kelompok 40 persen termiskin hanya 17 persen, angka ini cenderung menurun dan stagnan dalam enam tahun terakhir.
Sehingga turunnya indeks gini pada 2017 lebih disebabkan akibat turunnya pengeluaran 20 persen penduduk terkaya yang sebelumnya 48 persen ke level 47 persen. Sedangkan untuk golongan 40 persen termiskin masih berada di level 17 persen, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Sedangkan jika dilihat secara spasial, struktur perekonomian Indonesia masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 58,65 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,69 persen, Pulau Kalimantan 8,15 persen, dan Pulau Sulawesi 6,12 persen, dan sisanya 5,39 persen di pulau-pulau lainnya.

Hal ini disebabkan karena aktivitas ekonomi terpusat di Jawa, seperti industri, realisasi investasi, penyebaran usaha hingga angka penyaluran kredit. Dari Sensus Ekonomi 2016 (SE2016) yang diterbitkan oleh BPS, tercatat peningkatan jumlah usaha/perusahan sebesar 17,51 persen menjadi 26,71 juta usaha/perusahaan di Indonesia dibandingkan 10 tahun sebelumnya. Namun Pulau Jawa masih mendominasi jumlah usaha/perusahaan terbanyak dengan angka 16,2 juta usaha/perusahaan. Angka ini setara dengan 60,74 persen jumlah usaha/perusahaan di Indonesia. Sebaran usaha/perusahaan antar pulau secara umum menunjukkan 79,35 persen terkonsentrasi di Kawasan Barat Indonesia (Pulau Sumatera dan Jawa). Selebihnya berada di Kawasan Timur Indonesia (Pulau Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua), dengan jumlah usaha/perusahaan terbanyak di Pulau Sulawesi (8,09 persen).
Begitu juga dengan angka penyaluran kredit perbankan dimana Pulau Jawa menguasai 75,18 persen dari total kredit perbankan nasional. Lebih spesifik, Provinsi DKI Jakarta memegang posisi teratas dengan proporsi sebesar 48,6 persen dari total penyaluran kredit perbankan nasional. Artinya hampir 50% kredit bank, hanya mengucur di Jakarta. Total kredit yang dikucurkan untuk wilayah DKI Jakarta mencapai Rp 2.004 triliun per Juni 2016. Angka penyaluran kredit di DKI ini nilainya setara dengan gabungan tiga provinsi di Pulau Jawa yakni Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang berjumlah hanya sebesar Rp 956 triliun. Porsi penyaluran kredit tiga provinsi ini masing-masing tercatat hanya di bawah 10 persen.
Sama halnya dengan sektor industri, dimana sektor industri di Pulau Jawa memberi kontribusi terbesar yakni senilai 57,99 persen terhadap PDB nasional. Hal ini membuat sektor industri di Pulau Jawa menjadi leading sector dengan kontribusi 29,87 persen terhadap PDRB. Namun demikian, wilayah lain masih belum bisa berkontribusi banyak, Pulau Sumatera dan Kalimantan hanya berkontribusi 23,81 persen dan 8,67 persen.
Sedangkan untuk realisasi investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pemodal asing periode 2010–2015 masih mendominasi sebagian besar di Pulau Jawa, dimana Pulau Jawa memegang realisasi investasi sebesar 55,5 persen dari total seluruh investasi asing yang ada di Indonesia. Sedangkan sisanya ada di Sulawesi sebesar 11,0 persen serta Bali dan Nusa Tenggara sebesar 7,4 persen.
Hal ini kemudian mengakibatkan banyak wilayah di Indonesia dengan potensi alamnya yang cukup besar, namun kontribusinya terhadap perekonomian nasional masih sangat kecil. Salah satunya disebabkan karena pembangunan yang belum merata, penyaluran kredit yang masih terpusat, yang kemudian menyebabkan sebaran investasi dan lapangan usaha yang hanya bertumpuk di sebagian wilayah saja. Maka kemudian berdampak pada kurangnya tempat yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi wilayah, yang pada akhirnya berdampak pula pada minimnya pembangunan fasilitas layanan publik, sehingga berakibat memunculkan kesenjangan akses dan layanan seperti pendidikan dan kesehatan.
Semua ini mengakibatkan sebagian orang tidak memiliki kesempatan awal yang adil dalam hidup mereka. Sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk sukses di masa depan. Akhirnya mereka terjebak dalam pekerjaan berproduktivitas rendah, informal,dan berupah rendah ditengah mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan.
Artinya ketimpangan sosial lebih disebabkan oleh "ketimpangan peluang" yakni ketika tidak semua orang mendapatkan awal yang setara dalam hidup, yang banyak ditentukan oleh faktor-faktor diluar kendali individu seperti di mana Anda lahir (desa-kota, provinsi yang relatif maju atau tidak), seberapa berpendidikan atau kayanya orang tua Anda, dan akses pada pelayanan publik apa saja yang anda dapatkan saat tumbuh dewasa. Padahal kita tahu, mendapatkan awal yang sehat dalam hidup dan pendidikan berkualitas adalah prasyarat mendasar untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan memperoleh penghidupan layak di masa depan.