Setiap politisi adalah politisi. Dan setiap politisi di Indonesia adalah anggota partai atau akan dipinang oleh partai. Politisi yang juga anggota partai akan menjalankan amanat partai dan arahan pimpinan partai. Pak Bambang Pacul benar, bahwa boss tertinggi anggota dewan bukanlah rakyat, melainkan ketua partai.
Kini terjawab sudah mengapa suara-suara demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak didengarkan, sebab lokasi demonstrasinya rupanya salah alamat. Seharusnya, demonstrasi-demonstrasi itu dilakukan di depan rumah para ketua partai politik.
Sulit membedakan pejabat publik dari statusnya sebagai anggota partai. Contohnya beberapa orang gubernur yang disorot belakangan ini. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, tampil dengan setelan putih ditimpa jas warna kuning ketika melakukan pertemuan online dengan sekelompok pelajar SMPN dari Tasikmalaya.
Namun, rupanya beliau tersinggung ketika ditanya pada kolom komentar ia hadir sebagai apa: kader partai, pejabat publik, ataukah personal? Oknum guru yang mengajukan pertanyaan itu kemudian dipecat, tapi pertanyaan itu sendiri tidak pernah terjawab.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, bahkan menggunakan posisinya sebagai kepala daerah untuk menulis surat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) berisi penolakan hadirnya timnas Israel pada ajang Piala Dunia FIFA U-20 di Bali.
Bersama Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah yang senantiasa diragukan loyalitas kepartaiannya, dua gubernur ini sama-sama menolak Israel meski presiden telah mengamanatkan untuk tidak mencampuradukkan perihal politik dengan olahraga.
Nyatanya, pejabat publik yang dimaksud, sebelum bertanggungjawab kepada presiden, terlebih dahulu mereka rupanya harus tunduk kepada ketua partai. Anda benar! Di atas kuasa presiden, ada kuasa ketua partai. Ketua dari partai yang menaungi presiden sendiri.
Semoga kita tidak mudah kagum pada sosok yang seolah tampil sebagai “penyelamat” mempertanyakan uang negara, ketika Mahfud MD tampil serupa wakil rakyat yang lebih mewakili rakyat daripada wakil rakyat di Senayan itu sendiri. Sebab beberapa tahun yang lalu pun muncul seorang sosok yang sederhana, seperti sebuah harapan baru. Seorang presiden dari kalangan sipil.
Jokowi yang dulu tampak bersahaja pun, kini berhasil mengorbitkan anak dan menantunya sebagai kepala daerah. Terpilih secara demokratis dan sah menurut konstitusi memang, melalui pilkada serentak yang dipaksa dilaksanakan di tengah masa pandemi ketika vaksin belum sampai ke masyarakat. Bukan hanya itu, kini ia pun berhasil mempertahankan adik iparnya, Anwar Usman, sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028.
Di republik ini, politisi adalah orang-orang yang tidak mengenal kata pensiun. Hanya kematian yang bisa menjauhkan seorang politisi dari hasrat untuk berkuasa. Usia yang sudah 70-an tahun pun, nyatanya toh tidak membuat Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Luhut Binsar Pandjaitan meminggirkan diri dari panggung politik. Sepertinya, kekuasaan adalah obat dari segala macam penyakit, kecuali kematian dan hasrat berkuasa itu sendiri.
Pengunduran diri yang dilakukan Jacinda Ardern dari posisinya sebagai Perdana Menteri Selandia Baru pada Januari 2023 lalu, adalah keajaiban jika terjadi di republik ini. Politisi di republik ini akan mengundurkan diri jika itu diperlukan untuk menghindari skandal, atau untuk mencalonkan diri pada jabatan lain yang lebih prestisius. Politisi republik ini bukanlah orang-orang yang bisa lelah dengan tanggungjawab, melainkan sebaliknya, menikmati rangkap jabatan sebanyak mungkin.
Di usia 76 tahun, Megawati Soekarnoputri masih mampu mengemban tiga jabatan sekaligus, yakni sebagai Pembina Duta Pancasila Paskibraka Indonesia tingkat pusat, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), dan Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Bagaimana jika Megawati tak ada lagi, seperti yang sempat ia singgung dalam pidatonya pada Juni 2022 lalu? Jawabannya, mungkin jabatan-jabatan yang ditinggalkannya akan diisi oleh tiga orang yang berbeda. Mungkin juga sebaiknya lembaga-lembaga itu dibubarkan saja.
Atau kita pada akhirnya akan memiliki seorang intelektual tulen- yang tidak menjadikan pencapaiannya sendiri sebagai objek penelitian untuk mendapatkan gelar profesor kehormatan, sebagai ketua dewan pengarah BRIN. Dan tentu kita tidak akan mendengarkan pidato yang menyarankan mengalihkan metode menggoreng menjadi merebus ketika minyak goreng sedang langka di pasaran. Sungguh sebuah solusi yang tidak solutif.
Adapun Prabowo Subianto, adalah sosok pribadi yang pantang menyerah. Tiga kali gagal dalam pemilihan umum bukanlah aib, melainkan sejarah. Dari setiap peristiwa pemilihan presiden, kita seharusnya belajar dengan terang bahwa seorang politisi hanyalah seorang politisi, bukan seorang sosok suci yang harus didukung dengan mengkafirkan kelompok lain, terlebih menetapkan pahala atas sikap dukungan terhadapnya.
Politisi adalah politisi. Di hadapan kekuasaan, seorang politisi tidak akan ragu menjilat ludahnya sendiri, mengingkari janji kampanye, hingga meninggalkan para simpatisannya. Pengkhianatan demi pengkhianatan adalah hal yang lumrah terjadi.
Duh! Hanya masalah waktu, rakyat biasa sepertimu dan aku- yang gelagapan ketika pertalite naik Rp2.350 per liter dan panik ketika harga minyak goreng melonjak dan langka di pasaran, akan dihempas bagai habis manis sepah dibuang dan dikhianati dalam serentetan kebijakan rezim yang tidak pro-rakyat.
Uang pajak kita masih akan tetap digunakan untuk menggaji Megawati sebesar 112 juta per bulan untuk jabatannya sebagai ketua dewan pengarah BPIP. Negara ini begitu mabuk doktrin ideologi bahkan jika pendidikan kewarganegaraan diajarkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, rupanya itu semua tidak cukup.
Setelah menjunjung tinggi ideologi Pancasila sejak merdeka pun, negara ini toh masih juga tidak bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, serta mutu pendidikan yang memprihatinkan. Apakah BPIP benar-benar dibutuhkan? Manusia Indonesia yang Pancasilais itu bagaimana? Yang menjepit rakyat kecil dengan kenaikan harga Pertalite-kah? Ataukah yang mengesahkan UU Cipta Kerja dengan sederet polemiknya?
Luhut Binsar Pandjaitan adalah wajah bagi pemerintahan Jokowi. Ia ada di mana-mana. Dalam penanganan Covid-19, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, tata kelola sawit, hingga eksplorasi tambang di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Ups! Hal yang terakhir itu seharusnya tidak disebutkan.
Luhut bukanlah menteri dengan kekayaan terbanyak dalam kabinet Jokowi. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno masih jauh lebih kaya dengan kekayaan triliunan rupiah. Pun, sepertinya mempertanyakan asal-muasal sumber kekayaan pejabat menyalahi logika Presiden Jokowi. Tidak penting bagaimana kekayaan itu didapatkan, asalkan tidak pamer. Iya, kan?!
Lagipula, siapa yang berani mempertanyakan sumber kekayaan Luhut yang mencapai 716 miliar rupiah dalam e-LHKPN KPK itu? Sama tabunya dengan mempertanyakan dari mana sumber data yang diklaim oleh beliau berisi 110 juta penduduk Indonesia yang menginginkan penundaan pemilu.
Mengapa ya orang-orang dengan kekayaan ratusan miliar hingga triliunan masih ingin mengemban tanggungjawab atas hidup 275 juta penduduk yang 26 juta orang diantaranya adalah rakyat miskin yang hidup dengan kurang dari 18 ribu rupiah per hari? Padahal, gaji pensiunan sebagai presiden hanya 30 juta per bulan. Sangat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan harta kekayaan yang sudah miliaran itu.
Jawabannya jelas, bahwa melalui kekuasaan dan lobi-lobi politik, ada yang lebih penting dari mendapatkan keuntungan ekonomi, yaitu mendapatkan lebih banyak lagi keuntungan ekonomi. Lebih mantap lagi jika mampu membuka jalan bagi terbentuknya dinasti politik yang baru.
Demokrasi di Indonesia sepertinya hanya ditandai dengan adanya pemilihan umum. Itu pun dengan memilih tokoh-tokoh yang telanjur disuguhkan oleh partai politik. Sebab indikator lain seperti penyampaian kritik terhadap pemerintah dan pejabat daerah bisa dengan mudah berujung pada somasi dan kriminalisasi dengan memanfaatkan UU ITE.
Hanya seorang Luhut Pandjaitan dengan serentetan jabatan yang diembannya itu yang bisa diamini secara valid ketika menyatakan betapa beratnya mengurus negara. Padahal, tinggal mundur saja toh jika mengurus negara dirasa berat. Tapi, kita tahu hal itu tidak akan terjadi.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa politisi republik ini gemar rangkap jabatan, maka sungguh ironis ketika Jokowi menyatakan untuk tidak mencampuradukkan politik dengan olahraga, sementara ketua umum PSSI sendiri adalah Menteri BUMN yang aktif, Erick Thohir. Dengan kata lain, kepentingan di negara ini memang campur aduk, antara politik dan olahraga, terlebih antara politik dan ekonomi.
Singkatnya, apa yang disebut dengan konflik kepentingan adalah hal yang sejatinya tidak ada. Sebab setiap konflik selalu bisa “diselesaikan” dan setiap kepentingan akan bisa “disesuaikan”.
Terakhir, dari kasus kriminalisasi aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang masih bergulir, menunjukkan kepada kita tebang pilih kasus yang dilakukan oleh Polri. Kepolisian selalu sigap menanggapi laporan yang diajukan oleh pejabat, tapi letoy terhadap laporan kekerasan seksual dari rakyat biasa. Apakah setiap kasus harus viral dulu agar ditangani dengan serius?
Di republik ini, rakyat biasa selalu bisa mati dengan mudah. Dan untuk itu yang salah adalah angin, sebab berembus di waktu dan tempat yang tidak seharusnya. Selebihnya, kita bisa dengan mudah masuk penjara hanya karena pemerintah dan lembaga negara merasa terhina martabatnya ketika kau dan aku bersuara. Atau kita bisa menjadi Brigadir J selanjutnya, yang dibunuh, direkayasa kematiannya, dan difitnah hingga ke liang kubur.
“Dari tempat orang kuat dan kuasa, tak mudah ikut merasakan pedihnya orang-orang yang dipojokkan” –Goenawan Mohamad.