Selama ini, pertanian dianggap sebagai landasan utama keamanan dan kesejahteraan pangan. Sejak Revolusi Pertanian pertama kali terjadi, taraf kemungkinan hidup manusia sapiens menjadi meningkat pesat.
Namun, pernahkah kita membayangkan bagaimana kehidupan nenek moyang kita sebelum upaya domestikasi tumbuhan dan hewan ternak dilakukan?
Dalam sebuah karya berjudul Sapiens, Yuval Noah Harari mencoba untuk mengajak kita berjalan-jalan ke kehidupan nenek moyang manusia pada masa pra dan pasca terjadi Revolusi Pertanian.
Menarik bahwa ketika kita selama ini berpikir jika revolusi pertanian merupakan sebuah awal yang positif bagi kesejahteraan umat manusia, maka sebaliknya, Harari akan melihat kemajuan itu sebagai awal malapetaka. Tidak hanya malapetaka bagi manusia, tapi juga alam raya.
Domestikasi bermula sejak sekitar 10.000 tahun silam, ketika manusia mulai mencurahkan waktu dan tenaga ekstra untuk menanam beberapa jenis tanaman (gandum, padi-padian), dan memelihara hewan ternak (domba, unta).
Sekilas tentang Manusia Pemburu Pengumpul
Sebelum manusia hidup menetap dan bertumpu pada pertanian, mereka hidup secara nomaden dan melakukan aktivitas perburuan. Pada masa pra-pertanian ini, sapiens berpindah-pindah untuk mencari makanan. Perpindahan dipengaruhi beragam faktor; perubahan musim, migrasi tahunan hewan, dan siklus pertumbuhan tumbuhan.
Selain itu, terdapat juga faktor-faktor tertentu yang secara represif memaksa mereka untuk meninggalkan daerah teritori. Misal, akibat bencana alam, konflik, luapan angka populasi, dst. Yang jelas, butuh waktu yang tidak singkat untuk benar-benar menetap di suatu tempat secara permanen dan bertani.
Berbekal pengetahuan, mereka memaksimalkan efiesiensi proses pencarian makanan, dengan mengenal pola dan kebiasaan beragam jenis hewan, dan makanan sehat yang berasal dari tumbuhan. Hal itu membutuhkan latihan selama bertahun-tahun.
Dengan begitu, bisa kita bayangkan jika sapiens lebih banyak menghabiskan waktu bersama kawanan untuk melakukan kontak sosial, baik bergosip, bercerita, dan sekadar bercengkerama.
Pola hidup mereka juga bisa dikatakan lebih sehat, karena tidak tergantung pada jenis makanan tertentu. Beragam jenis ketersediaan makanan di alam membuat mereka merasakan diet yang menyehatkan dan bervariasi, dan minggu kerja yang relatif pendek, serta kelangkaan penyakit menular.
Tidak heran jika para pakar mendefinisikan masyarakat pemburu pengumpul sebagai ‘masyarakat makmur pertama’.
Kemewahan Semu Revolusi Pertanian
Transisi menuju pertanian sering disebut sebagai terobosan besar evolusi kecerdasan manusia. Sebuah era, di mana nenek moyang telah mampu mengupas rahasia alam sehingga mampu menjinakkan domba dan membudidayakan gandum.
Bagi Harari, kisah itu merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah. Manusia justru tanpa sadar telah membuat perangkap sendiri bagi dirinya sejak revolusi pertanian itu terjadi.
Berbeda dengan sekawanan pemburu pengumpul, masyarakat pertanian lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk menanam benih, membersihkan gulma, menyiram, dst. sehingga tidak ada lagi waktu luang seperti masa sebelum mereka bercocok tanam.
Selain itu, mengonsumsi gandum tidak menawarkan diet dan varian yang beraneka ragam. Resiko yang ditanggung bahkan jauh lebih besar, paling parah adalah gagal panen dan kematian para petani. Lagi pula, manusia juga merupakan omnivora yang suka memakan segala.
Memang, revolusi pertanian tidak membawa pengaruh signifikan per-satuan individu, tapi ia dapat memenuhi kebutuhan hidup per-satuan wilayah dan memungkinkan untuk hidup menetap, membentuk struktur sosial, dan memperbanyak jumlah populasi.
Pada masyarakat pemburu-pengumpul, manusia mungkin lebih sehat dan bergizi dengan jumlah seratus orang. Pada masyarakat pertanian, manusia dapat bertahan dengan jumlah seribu orang meskipun dengan kondisi lebih menderita karena penyakit dan kurang gizi.
Artinya, esensi revolusi pertanian adalah kemampuan mempertahankan lebih banyak orang agar tetap hidup di dalam kondisi yang lebih buruk.
Dari sinilah awal mula malapetaka, di mana, secara perlahan sistem ekonomi dan sosial mulai terbentuk; hak milik, diferensiasi sosial, persaingan antar-kawanan, tuan tanah, kolektor, dst. dst.
Lahirnya Masyarakat Konsumsi
Jika boleh merujuk pada sumber lain, Baudillard dalam bukunya, “Masyarakat Konsumsi”, membandingkan gaya hidup manusia modern yang fondasinya terbentuk sejak Revolusi Pertanian, dan masyarakat pemburu-pengumpul.
Baginya, kita harus meninggalkan pemikiran bahwa kita memiliki masyarakat kelimpahruahan (kebutuhan serba terpenuhi), di mana semua kebutuhan materi dan budaya dapat terpuaskan dengan mudah.
Masyarakat primitif (pemburu-pengumpul) tidak memiliki apa-apa sebagai milik pribadi, tidak dihantui oleh objeknya, yang mereka pikirkan adalah mengenai bagaimana cara berpindah ke tempat yang lebih baik.
Tidak ada alat produksi, mereka memanfaatkan tenaga manusia, sumber daya alam, dan kemungkinan-kemungkinan ekonomi yang efektif. Sementara itu, semakin lama kita ditandai oleh kesempurnaan teknik.
Bukannya royalitas, yang ada justru muncul ketakutan akan kekurangan sarana manusia, bencana akibat sistem ekonomi dan kompetisi yang tidak merata. Tidak ada waktu luang, yang ada hanya pekerjaan dan kelimpahruahan semu sehingga manusia semakin tenggelam dalam realitas.
Akhirnya, tidak ada relasi subyek-obyek dalam hubungan manusia dengan barang hasil produksi. Manusia dan obyek telah melebur dalam logika ekonomi dan pasar karena obyek telah menguasai manusia dengan jalan menata apa-apa yang dibutuhkan oleh manusia.
Manusia tidak lagi menyesuaikan kebutuhannya berdasarkan alam. Kini, alam telah disesuaikan, dirias, ditata sehingga sesuai dengan pemenuhan keinginan manusia.
Sedikit yang dapat kita petik dari kisah perjalanan sapiens di atas adalah, bahwa, upaya menciptakan kehidupan yang lebih mudah justru telah membawa ke arah yang lebih menyusahkan.
Alih-alih tercukupi, kelimpahruahan atau kemewahan justru selalu melahirkan kewajiban-kewajiban baru. Karena itu, kiranya sangat penting untuk merefleksikan kembali arti kekayaan dan kebahagiaan manusia sebagai makhluk sosial.