Presiden Joko Widodo, dalam acara Rapat Kerja Pemerintah (RKP) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (24/10/2017), meminta para kepala daerah memperbanyak proyek padat karya yang bisa membuka banyak lapangan pekerjaan. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat agar perekonomian daerahnya bisa terdongkrak.

Selama ini, industri padat karya memang terbilang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan Sensus Ekonomi (SE) 2016 yang dirilis oleh BPS, di mana serapan tenaga kerja didominasi oleh usaha/perusahaan perdagangan besar dan eceran (industri reparasi dan perawatan kendaraan) sebanyak 22,4 juta orang atau 31,81 persen dari tenaga kerja yang ada di Indonesia.

Selanjutnya, berturut-turut diikuti oleh tenaga kerja lapangan usaha industri pengolahan sebesar 15,99 juta orang atau 22,75 persen dan penyediaan akomodasi dan penyediaan makan-minum sebesar 8,41 juta orang atau sebesar 11,97 persen.

Namun, akhir-akhir ini, penyerapan tenaga kerja tak sebaik pada dekade sebelumnya. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, sepanjang kuartal II 2016, realisasi investasi mencapai Rp 151,6 triliun dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 354.739 orang. Sedangkan realisasi investasi kuartal II-2017 menembus angka Rp 170,9 triliun, namun penyerapan tenaga kerja turun menjadi 345.323 tenaga kerja.

Artinya, ada sebuah anomali. Naiknya realisasi investasi ternyata berbanding terbalik dengan tingkat penyerapan tenaga kerjanya. Kenaikan angka realisasi investasi tidak serta-merta menaikkan angka serapan tenaga kerja.

Bahkan tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia semakin berkurang dari tahun ke tahun. Pada 2007, misalnya, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 710 ribu orang. Sementara pada 2012, setiap 1 persen hanya menyerap 184 ribu orang.

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan anomali tersebut terjadi. Pertama, adanya pergeseran karakterisitik investasi dari padat karya ke padat modal. Hal ini masih berkaitan dengan adanya transisi menuju revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan hadirnya artificial intelligent dan digitalisasi yang relatif menggeser karakteristik investasi ke arah padat modal (capital intensive) dan padat teknologi (technology intensive) daripada padat karya (labor intensive).

Hal ini sejalan dengan riset yang dikeluarkan World Economic Forum yang menyebutkan beberapa bidang akan berkurang bahkan hilang kebutuhannya seiring pesatnya perkembangan teknologi saat ini. Bidang administrasi dan perkantoran menjadi bidang pekerjaan yang paling banyak berkurang kebutuhannya, yakni sebesar 4,8 juta pekerjaan berkurang dalam beberapa tahun terakhir.

Bidang pekerjaan kedua yang paling banyak berkurang ialah bidang manufaktur, yakni berkurang sebesar 1,6 juta. Ketiga, diikuti oleh bidang konstruksi dan pertambangan, yang diperkirakan berkurang 497 ribu pekerjaan hilang dalam beberapa tahun terakhir.

Kehadiran gelombang revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan digitalisasi, artificial intelligent, dan robotic dapat dikatakan cukup “memukul” kinerja industri padat karya dalam menyerap tenaga kerja. Berbanding terbaliknya angka realisasi investasi terhadap serapan tenaga kerja menunjukkan kecenderungan semacam itu.

Kehadiran 3D Printing, misalnya, bukan hanya memangkas waktu produksi, namun juga berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Bila saat ini dibutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk memproduksi suku cadang dengan cara lama, dengan printer 3D logam, proses produksi hanya butuh waktu beberapa jam dan menggunakan tenaga kerja manusia yang jauh lebih sedikit.

Tentu hal ini akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran. Terutama pada industri reparasi kendaraan (otomotif), industri pengolahan, industri makanan dan minuman, hingga tekstil dan manufaktur lainnya yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja.

Di China, produsen iPhone Foxconn telah mengumumkan akan menggunakan robot untuk 70 persen bagian perakitan pada 2018. Hal yang sama akan terjadi juga di ASEAN.

Menurut laporan International Labour Organization (ILO) terbaru, terdapat 242,2 juta buruh (56 persen) di lima negara ASEAN yang berisiko kehilangan pekerjaan seiring penggunaan sistem automasi (robot) dalam dua dekade ke depan. Jumlah itu meliputi buruh di pasar lapangan kerja Vietnam, Kamboja, Indonesia, Filipina, dan Thailand.

Di Indonesia, pekerja yang paling tinggi risikonya, di antaranya, adalah pramuniaga di pasar dan toko yang jumlahnya mencapai 14 juta. Ada juga pegawai kantor, semacam bagian administrasi. Jumlahnya hampir 1,7 juta. Buruh bangunan dan penjahit pakaian pun termasuk. Angkanya masing-masing 2,1 juta dan 1,1 juta orang.

Fenomena ini justru terlihat bertentangan dengan keinginan Presiden Joko Widodo. Keinginannya untuk memperluas serapan tenaga kerja melalui industri padat karya justru bertentangan dengan iklim hilangnya bidang pekerjaan, terutama dalam bidang manufaktur, akibat adanya perkembangan teknologi dan revolusi industri 4.0.

Di lain sisi, kita juga dihadapkan pada masalah yang cukup berat terkait tenaga kerja domestik, di mana alih fungsi teknologi ini menciptakan tuntutan pada permintaan sumber daya manusia ke level high skill. Sedangkan faktanya kita tahu, komposisi tenaga kerja Indonesia masih dihadapkan pada masalah produktivitas dan pendidikan yang relatif rendah.

Menurut data BPS, jumlah penduduk Indonesia usia kerja yang berumur di atas 15 tahun mencapai 186,1 juta jiwa pada Agustus 2015. Dari jumlah tersebut, 26 persennya atau 48,3 juta jiwa hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Sebanyak 22 persen berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan 17 persen tamatan Sekolah Menengah Umum.

Penyerapan tenaga kerja per Agustus 2016 masih didominasi oleh penduduk dengan pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 49,97 juta orang (42,20 persen) dan Sekolah Menengah Pertama sebanyak 21,36 juta orang (18,04 persen). Penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi hanya sebanyak 14,50 juta orang, meliputi lulusan diploma sebanyak 3,41 juta orang (2,88 persen) dan lulusan universitas sebanyak 11,09 juta orang (9,36 persen).

Untuk produktivitas, tenaga kerja Indonesia juga memiliki produktivitas yang masih relatif rendah. Berdasarkan data yang dihimpun Asian Productivity Organization (APO) pada 2014, tingkat produktivitas pekerja Indonesia berada pada nilai sekitar US$ 23 ribu terhadap total PDB per tahun.

Indonesia masih tertinggal dari Thailand dan Malaysia, yang masing-masing US$ 24,9 ribu dan US$ 54,9 ribu. Bahkan sangat jauh dari angka produktivitas yang dicapai Singapura di posisi pertama, yaitu US$ 125,4 ribu.

Maka, perlu adanya alternatif kebijakan yang mampu menanggulangi dampak adanya transformasi ekonomi dan revolusi industri terhadap penyerapan tenaga kerja, yang tentunya kita tidak dapat bertaruh pada sektor industri yang jelas-jelas akan menghadapi ancaman revolusi industri, seperti industri padat karya yang selama ini berjalan.

Negara harus bersiap menghadapi realitas baru ini untuk menghindari gejolak perubahan sosial. Hal yang paling mungkin ialah bertumpu pada potensi dalam negeri yang perkembangannya dapat beriringan dengan perubahan yang terjadi secara global.

Ekonomi Kreatif dan Sharing Ekonomi, bukan Padat Karya

Potensi Industri Kreatif Tanah Air cukup besar untuk menjadi kekuatan ekonomi baru. PDB Ekonomi Kreatif tumbuh sebesar 4,38 persen pada tahun 2015, yakni dari Rp 784,82 triliun di tahun 2014 menjadi Rp 852,24 triliun pada tahun 2015 (meningkat rata-rata 10,14 persen per tahun). Dengan pertumbuhan ini, Ekonomi Kreatif memberikan kontribusi sebesar 7,38 persen terhadap total perekonomian nasional.

Sub-sektor yang memiliki kontribusi paling tinggi pada perekonomian nasional, yakni kuliner sebesar 41,69 persen, fashion sebesar 18,15 persen, dan kriya sebesar 15,70 persen. Sedangkan sub-sektor yang memiliki pertumbuhan paling pesat ialah desain komunikasi visual yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 10,28 persen, musik sebesar 7,26 persen, animasi video sebesar 6,68 persen, dan arsitektur sebesar 6,62 persen.

Dalam neraca eskpor nasional, ekspor ekonomi kreatif masuk dalam kategori ekspor non-migas yang angkanya terus mengalami penguatan dan memiliki prospek yang cerah, sejalan dengan penurunan harga minyak dunia, anjloknya sektor pertambangan, serta menurunnya harga dan permintaan komoditas mentah. Pada tahun 2015, nilai ekspor ekonomi kreatif mencapai 19,4 miliar US$ atau setara 12,88 persen dari total ekspor nasional.

Serapan tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif ini juga terus mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 4,38 persen per tahun. Pada tahun 2011, sektor ini mampu menyerap 13,45 juta tenaga kerja, kemudian meningkat menjadi 15,96 juta orang di tahun 2015 atau setara dengan 13,90 persen dari total tenaga kerja nasional. Adapun 542 ribu di antaranya adalah pekerja baru (new comer), dengan share sebesar 21,59 persen terhadap new comer nasional.

Selain penyerapan tenaga kerja, ekonomi kreatif banyak memberikan multiplier effect terhadap perekonomian, yakni 82,69 persen bahan baku pengembangan ekonomi kreatif berasal dari dalam negeri, terutama dari dalam Kabupaten/Kota.

Bahkan partisipasi penduduk usia muda pada sektor ekonomi kreatif ini cukup besar, yakni sebesar 17,8 persen. Bahkan rata-rata dari mereka berprofesi sebagai pengusaha dengan proporsi terbesar, yakni pengusaha yang bergerak di bidang Aplikasi dan Game Developer sebesar 93,38 persen dan Fashion sebesar 42,83 persen.

Dalam sektor ekonomi kreatif ini, penggunaan teknologi informasi juga relatif cukup tinggi, yakni 64,24 persen usaha ekonomi kreatif menggunakan komputer (device), 30,39 persen memiliki website, dan 68,83 persen menggunakan internet (network). Dalam penggunaannya, akses teknologi informasi ini digunakan untuk keperluan layanan surel (e-mail) sejumlah 82,01 persen, mencari info sebanyak 76,29 persen, dan melayani pelanggan sebesar 64,62 persen.

Pelaku usaha kreatif umumnya menjual produk langsung ke konsumen. Sehingga fenomena ekonomi digital ternyata sudah berjalan dengan baik karena sebagian besar pelaku usaha ekonomi kreatif sudah menggunakan teknologi informasi dalam menjalankan bisnisnya.

Realitas ini sejalan dengan adanya fenomena “digital ekonomi” dan perkembangan revolusi industri 4.0 yang juga menunjukkan bahwa sejatinya ekonomi kreatif kita memiliki modal awal yang cukup baik untuk bersaing secara global di era revolusi industri 4.0. Hal ini juga sejalan berkembangnya generasi milenial sebagai penggerak ekonomi dalam era bonus demografi.

Namun, ada beberapa kendala yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan agar ekonomi kreatif dapat berkembang sehingga dapat menjadi alternatif untuk menjawab tantangan perubahan.

Pertama, terkait akses kredit dan keuangan. Angka kredit dan pinjaman yang mengalir untuk usaha ekonomi kreatif relatif kecil. Tercatat hanya 24,44 persen usaha kreatif yang memperoleh akses pinjaman bank dan penggunaan modal ventura sebagai alternatif pembiayaan hanya di bawah 1 persen. Pemerintah harus segera menerapkan inklusi keuangan untuk usaha ekonomi kreatif, di mana akses kredit tidak hanya untuk usaha besar.

Kedua, terkait riset dan pengembangan, di mana terdapat 71,35 persen pengusaha ekonomi kreatif tidak melakukan penelitian dan pengembangan. Padahal tercatat 62,30 persen pengusaha ekonomi kreatif telah berupaya melakukan inovasi, khususnya pada sub-sektor Aplikasi dan Game Developer, Televisi dan Radio, serta Desain Komunikasi VIsual.

Maka, dukungan pemerintah dalam upaya meningkatkan aktivitas riset dan pengembangan bagi pelaku usaha ekonomi kreatif sangat penting. Selain untuk meningkatkan keuntungan, juga untuk meningkatkan indeks daya saing nasional.

Ketiga, yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah ialah “ekspansi pasar”. Pasar usaha ekonomi kreatif ini 97,36 persen masih berada di dalam wilayah Kabupaten/Kota. Untuk pasar luar negeri, usaha kreatif ini baru mampu menjangkau 8,41 persen. Sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah dalam ekspansi pasar agar tercipta permintaan yang lebih tinggi yang kemudian berdampak pada peningkatan produktivitas dan pengembangan usaha.

Hal yang lebih penting untuk meningkatkan kinerja ekonomi kreatif, pemerintah harus mendorong model bisnis kolaboratif antara pelaku usaha ekonomi kreatif lokal dengan startup global.

Dengan kata lain, pemerintah harus mendorong pelaku usaha ekonomi kreatif lokal untuk terlibat dalam peer production, yang terkoneksi dalam bisnis kolaborasi global. Karena terbukti dengan model sharing ekonomi, pelaku usaha tak perlu mengeluarkan modal begitu besar, namun efektif untuk mempertemukan supply and demand.

Berkembangnya Go-Jek, Grab, Alibaba Group, dan lain sebagainya, terbukti sangat mampu meningkatkan nilai tambah ekonomi dengan model collaborative economy yang beroperasi di atas basis keuntungan efisiensi dari proses mengeleborasikan aset-aset yang menganggur.

Dengan perkembangan teknologi, demografi, dan ekonomi global telah menunjukkan bahwa model bisnis baru yang berbasis pada komunitas, kolaborasi, dan organisasi-mandiri (self-organized) terbukti lebih efisien dan kompetitif daripada produksi massal yang masih konvensional dan terpusat.

Kini, ekonomi dunia telah menjadi sangat demokratis (menuju ke arah demokratisasi alat produksi) di mana semua orang dan komunitas dapat punya peran vital ketimbang hanya menjadi pasar. Dan pemerintah harus mampu meraih peluang ini agar potensi-potensi lokal dapat termanfaatkan dengan baik, sehingga dapat menjadi kekuatan ekonomi baru.

Ke depan, dunia akan masuk ke dalam era ruang kerja wiki (era Wikinomics), di mana ruang kerja tak lagi terpaku di ruang kerja tradisional dan proses produksi tak lagi dijalankan secara terpusat, melainkan produksi dengan model kolaborasi global yang membuat proses produksi melibatkan banyak supplier dengan spesifikasi tertentu dan lintas geografis.

Dengan model ini, para produsen bertanggung jawab secara kolektif, bahkan untuk membuat desain komponen dan subsistem secara terperinci, yang memungkinkan sistem klaster dengan menempatkan supplier dan produsen di wilayah yang sama (yang dapat menjadi kanal bagi penciptaan jejaring produksi) yang terbukti mampu mempersingkat penetrasi pasar, memangkas ongkos produksi, tetapi sekaligus meningkatkan kualitas.

Dengan kehadiran banyak produsen komponen, maka harga dan kualitas makin kompetitif. Hal ini terlambat disadari oleh raksasa otomotif seperti Honda, Suzuki, dan Toyota yang memproduksi semua komponennya secara in-house.

Model sharing ekonomi ini menciptakan peluang bagi sektor ekonomi kreatif nasional yang telah memiliki potensi yang besar untuk berkembang. Namun, untuk pemanfaatan yang lebih optimal, perlu mendapat dukungan pemerintah, sehingga sektor ekonomi kreatif dapat menjadi alternatif penyerapan tenaga kerja di tengah transisi ke arah revolusi industri 4.0 yang banyak menghilangkan bidang pekerjaan dan pengurangan tenaga kerja.