Saya pikir kenalan-kenalan saya yang beragama Islam sudah mulai keterlaluan dalam aktivitas MLM-nya sebagai sesama muslim demi mengamankan kuota mereka di surga nanti. Lama-lama saya muak juga melihatnya.
Perkara awalnya sederhana. Beberapa waktu lalu, kenalan saya datang ke Banda Aceh untuk mengikuti sebuah acara. Dalam kesehariannya tinggal di kota lain, dia tidak menggunakan jilbab. Sebelum bertandang ke kota ini, kenalan saya bertanya apakah dia harus mengenakan jilbab atau cukup selendang saja.
Saya sih bilang cukup memakai selendang saja. Toh aturan syariah di provinsi ini berlaku untuk penduduk tetap, bukan tamu atau turis. Tapi, mungkin karena segan, akhirnya dia memutuskan untuk menggunakan jilbab.
Layaknya kebanyakan tamu atau pelancong di era media sosial ini, tentulah foto-foto saat bepergian diunggah di akun media sosial. Begitu juga foto si kenalan yang menggunakan jilbab selama berada di Banda Aceh. Karena akun saya ditandai pada foto-foto yang diunggah tersebut, saya jadi ikut membaca komentar di foto-fotonya.
Setelah melihat berbagai komentar di beberapa foto, saya menjadi muak. Begitu banyak komentar dari rekan-rekannya (yang saya kenal maupun tidak), yang intinya mengatakan begini, "kamu cantik ya kalau pakai jilbab, mudah-mudahan selamanya pakai jilbab."
Membaca komentar demi komentar seperti itu membuat saya ingin menjerit. Ada apa dengan orang-orang ini? Kok sepertinya ada propaganda khusus untuk hal-hal berbau agama?
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi. Sejak awal tahun 2000, setiap ada perempuan yang menggunakan jilbab, teman dan kenalannya langsung berbondong-bondong memberikan ucapan selamat, pujian, dan sebagainya.
Bahkan kalau ada perempuan yang belum berjilbab, akan disindir-sindir agar segera berjilbab. Kalau ada yang hanya berjilbab untuk acara tertentu, langsung dibombardir dengan anjuran agar meneruskan gaya busana berjilbabnya itu.
Konon, alasannya sederhana. Alasannya karena Tuhan memerintahkan di dalam kitab suci agar perempuan menutup auratnya. Kalau alasannya itu, kenapa kita-kita yang ribut betul apakah si Aminah pakai jilbab atau si Susi tidak pakai jilbab? Itu, kan, perkara pribadi, antara Aminah atau Susi dengan Tuhan mereka?
Kenapa kita yang sibuk? Sementara ulama sendiri masih bersilang pendapat tentang ayat di mana Tuhan menyuruh perempuan untuk menutup auratnya itu. Ada yang mengatakan harus ditutup rapat-rapat dengan mengenakan jilbab hingga burqa; ada yang mengatakan berpakaian pantas saja sudah cukup.
Sibuknya para muslimah mendorong rekannya untuk berjilbab juga sepertinya didorong oleh pendapat yang bilang bahwa kita harus menyerukan kebaikan pada sesama muslim.
Untuk apa? Jaminan agar masuk surga? Apakah dengan makin banyak orang yang kita dakwahi, maka akan makin banyak bonus pahala kita nanti? Kalau begitu, apa bedanya kita dengan agen MLM? Apakah jangan-jangan agama ternyata hanya sebentuk usaha MLM?
Kembali ke persoalan jilbab ini. Saya akui, di awal tahun 2000-an, saya juga termasuk orang yang akan memuja-muji bahkan memberikan ucapan selamat pada teman-teman perempuan saya yang memutuskan menggunakan jilbab. Seolah-olah itu prestasi. Seolah-olah menggunakan jilbab adalah suatu pencapaian spiritual yang dahsyat.
Sebelum akhirnya saya berpikir, apanya yang hebat dengan menggunakan jilbab? Apa pengaruhnya buat saya bila Susi (yang tadi tidak berjilbab) kemudian menggunakan jilbab?
Apa poin pahala saya bertambah kalau ada satu muslimah, yang nggak ada sangkut pautnya dengan saya, menggunakan jilbab? Toh saya tidak pernah tahu apa alasan sebenarnya kawan saya berjilbab. Bisa karena berbagai hal, kan?
Bisa karena pemahamannya sendiri, karena disuruh orang tua, karena diminta oleh suami atau calon mertua, karena tinggal di kota tertentu. Bagaimana saya bisa tahu apa alasan sebenarnya dia berjilbab? Apa yang diucapkan, kan, bisa berbeda dengan apa yang ada di hati dan pikira?
Saya jadi muak. Apalagi dengan komentar-komentar: "Aduh, kamu tambah kelihatan cantik setelah menggunakan jilbab." Maksudnya apa? Apakah sebelum dia berjilbab, kecantikannya mirip Si Manis Jembatan Ancol? Ngeri-ngeri sedap? Apakah sebelum dia berjilbab, dia cantik, tapi dengan bayangan api neraka menjilati sekujur tubuhnya?
Lalu bagaimana dengan koruptor atau pelaku kejahatan yang ujug-ujug menggunakan jilbab ketika menjalani persidangan? Kok nggak ada yang berbondong-bondong berdiri di hadapan dia dan memberikan ucapan selamat, cipika-cipiki, lalu bilang, "Masyaallah, kamu tambah cantik deh berjilbab begini, semoga kamu tidak dihukum mati, ya."
Dalam pikiran saya, ketika seseorang menggunakan gaya berbusana tertentu, lalu kita ramai-ramai memberikan komentar yang di satu sisi memuji, di sisi lain sebenarnya bukankah kita sedang menyindir atau membujuk untuk tetap menggunakan gaya busana itu? Atau jangan-jangan sebenarnya kita sedang melakukan bullying (merisak) orang tersebut?
Kita ambil contoh si Susi lagi.
Susi mengenakan jilbab saat menghadiri perayaan Isra Mi'raj. Beramai-ramai kawannya berkomentar, "Susi, kamu cantik sekali pakai jilbab. Semoga istiqamah ya, dipakai terus jilbabnya."
Bayangkan ada 100 orang kenalan Susi berkomentar begitu. Kemudian Susi menggunakan jilbab (entah karena alasan apa).
Selang beberapa tahun kemudian, Susi memutuskan untuk melepas jilbabnya. Dan ada 150 orang yang berkomentar, "Kenapa kamu lepas jilbab, Susi? Itu kan ajaran agama! Kamu padahal lebih cantik kalau berjilbab."
Susi akhirnya merasa bersalah, menjadi stres, padahal dia memang sudah tidak nyaman berjilbab. Tindakan para komentator itu sudah masuk ke tindakan perisakan.
Jadi, apakah demi sebuah kuota di surga atau bonus pahala (yang belum tentu pun diberikan oleh Tuhan, bukan?) kita sah-sah saja melakukan perisakan? Atau perisakan dibolehkan atas nama agama, demi mencapai bonus pahala yang diinginkan?
Kita-kita ini kan sebenarnya tidak punya hak untuk berkomentar apa pun tentang pilihan busana seseorang, terutama yang urusannya dengan perintah agama.
Betul, ada anjuran untuk mengajak berbuat kebaikan, tapi tidak lantas seperti orang berjualan yang memaksa pembeli membeli barang dagangannya. Tidak perlulah sampai menyindir, menghujat, memuji berlebihan dengan maksud merayu dalam rangka mengajak berbuat kebaikan. Kita juga risih kalau diperlakukan seperti itu, bukan?
Mau dia pakai jilbab kek, mau dia lepas jilbab, terserah yang bersangkutan. Kita tidak perlu kampungan dengan memberi ucapan selamat atau pujian norak kalau ada teman perempuan kita yang menggunakan jilbab. Kita juga tidak perlu kebakaran jenggot kalau ada teman kita yang melepas jilbabnya.
Yang mungkin perlu kita pikirkan, sebenarnya, bagaimana cara kita melihat agama yang kita pegang. Jangan-jangan kita menganggap agama kita seperti bisnis MLM. Dan kita sama-sama sudah tahu, kan, kalau bisnis MLM lebih banyak bohongnya ketimbang menguntungkannya?