Akhir-akhir ini kita sedang dihadapkan dengan kabar duka dari saudara kita di Palestina. Konflik panas antara Palestina dan Israel yang kembali pecah sejak senin (10/5/2021) semakin memanas. Serangan bombardier jet milik Israel menghancurkan bangunan dan memakan banyak korban jiwa di Jalur Gaza. Sejak saat itu, serangan demi serangan dikirimkan oleh pasukan Israel yang menghancurkan lebih banyak bangunan dan memakan lebih banyak korban jiwa.

Serangan bertubi-tubi yang dilakukan Israel tentu membuat banyak warga ketakutan tak terkecuali anak-anak. Hingga akhirnya kabar baik datang dari kesepakatan Israel dan dua kelompok utama Palestina di jalur Gaza, Hamas dan Jihad Islam menyetujui genjatan senjata. Ini menjadi momen penting mengakhiri pertempuran selama 11 hari terakhir. Namun dibalik itu, tidak dapat dielakkan  bom Israel meninggalkan trauma yang sangat mendalam bagi anak-anak.

Psikologis Anak

Anak adalah orang dewasa yang bertubuh kecil. Mereka menjalani berbagai perubahan pada saat proses pertumbuhan dan perkembangan mulai dari masa prenatal hingga remaja. Kemajuan yang besar pada perkembangan fisik, emosioanal, mental dan psikososial pada masa anak-anak, semuanya turut berperan dalam membentuk kepribadian seseorang di masa remaja yang akan datang.

Penting untuk dipahami bahwa anak memiliki kebutuhan psikologis. Lingkungan dan orang-orang yang mengelilinginya mempengaruhi perkembangan dan kondisinya secara umum. Masa anak-anak memiliki efek yang besar tentang akan menjadi bagaimana setelah dewasa nanti. Lantas bagaimana keadaan psikologis anak Palestina?

Jika menilik kebelakang banyak korban jiwa dari konflik ini adalah warga sipil yang hak hidupnya dirampas atas nama peperangan. Namun, lebih menyayat hati, banyak korban jiwa yang terkena serangan bom dari Israel ini merupakan anak-anak. Tidak hanya nyawanya yang menjadi taruhan, ratusan anak-anak harus kehilangan orangtua dan sanak saudaranya akibat ledakan bom yang bisa kapanpun saja terjadi.

Peristiwa ini tidak hanya membuat anak-anak yang hidup di wilayah ini harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk saat perang sedang pecah. Mereka yang berhasil selamat juga harus meneruskan hidup dengan segala ingatan mengerikan akan perang yang pernah menghancurkan tempat hidup dan orang-orang yang mereka sayangi.

Suatu ketika penulis menonton sebuah video yang dibagikan di channel youtube organisasi kemanusiaan yang bergerak aktif membantu warga Palestina memperlihatkan seorang anak mungil tidak berdaya di atas tempat tidur pasien sedang dilakukan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan. Beberapa kali tangan tenaga medis menyentuh pipi anak mungil tersebut namun .yang terlihat hanya tatapan mata kosong, melotot menandakan ketakutan. Sesekali kedipan mata mungilnya membawa haru bagi yang melihatnya. Video tersebut menggambarkan bahwa perang menimbulkan trauma bagi anak-anak Palestina.

Palestina : Krisis Mental Health

Kondisi politik dan sosial yang dialami orang-orang Palestina telah membuat bekas luka di kesejahteraan psikologis warga sipil. Bahkan, Palestina menderita gangguan kesehatan mental tertinggi di Timur Tengah salah satunya kesehatan psikologis pada anak-anak.  Ketakutan sudah pasti menderu di setiap jiwa anak-anak.

Anak-anak menjadi korban dalam pemboman ekstensif yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza. Di usia mereka yang seharusnya bermain, belajar harus dihadapkan dengan suara-suara yang menakutkan dari bom Israel. Maka ada risiko gangguan psikologis pada pada anak-anak Palestina.

Menurut WHO diperkirakan ada 210 ribu orang yang menderita penyakit mental sedang dan parah di Jalur Gaza sejak awal 2021. Sekitar 54% anak laki-laki palestina dan 47 % anak perempuan palestina berusia 6 hingga 12 tahun dilaporkan mengalami gangguan emosi dan perilaku. Tidak heran jika anak-anak akan mengalami Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) akibat peristiwa traumatic yakni perang.

Apa itu PTSD ?

Peristiwa traumatic yang dialami seseorang dapat membekas dalam ingatan selamanya. Tak jarang peristiwa traumatic dapat mempengaruhi kondisi mental. Masalah mental yang disebabkan oleh peristiwa traumatic disebut dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Sudah bukan menjadi rahasia dan hal baru lagi jika PSTD dapat dialami anak-anak yang tinggal di wilayah Palestina.

PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan.

PTSD merupakan gangguan kecemasan yang membuat penderitanya teringat pada kejadian traumatic. Peristiwa traumatic yang dapat memicu PTSD antara lain perang, kecelakaan, bencana alam, dan pelecehan seksual.

Tentu tanda dan gejalanya beragam dimulai dari gangguan tidur, merasa tertekan, gelisah, sedih ,mudah marah, terlalu waspada sampai perubahn perilaku.  Mereka dapat menghidupkan kembali peristiwa traumatic itu melalui kilas balik atau mimpi buruk. Menurut Gaza Community Mental Health Programmme menunjukkan bahwa anak-anak Palestina telah mengembangkan perasaan permusuhan, kemarahan, ketakutan dan frustasi yang mengakibatkan peningkatan kekerasan dikalangan siswa sekolah.

WHO melaporkan bahwa gangguan kecemasan adalah gangguan jiwa yang paling umum terjadi di seluruh dunia. Palestina berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan kecemasan dan PTSD karena paparan terus menerus kekerasan politik, pemindahan berkepanjangan, dan batasan lain pada profesional, pendidikan, peluang keuangan, dan layanan kesehatan mental.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Marie dkk (2020) menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dan PTSD merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling umum terjadi di Palestina. Kecemasan dan PTSD berkembang dari serangkaian faktor risiko yang kompleks, termasuk genetika, kepribadian, dan peristiwa kehidupan.

Cara Anak Palestina Menangkan Diri

Tentu derai air mata acap kali membasahi saat seseorang merasa ketakutan. Namun lain halnya dengan sosok anak-anak negeri palestina. Mereka terlihat tegar di balik kesedihan dan kekecewaan yang dibalut dengan senyuman. Traumatic mungkin tanpa disadari merasuki tubuh-tubuh mungil anak-anak disana. Meski memiliki risiko gangguan psikologis, anak-anak Palestina memiliki self healing untuk mengatasi kecemasan dan ketakutan yang sedang menyelimuti mereka.

Kembali penulis menonton sebuah video di media sosial memperlihatkan seorang anak yang menangis akibat ketakutan mendengar suara bom di luar rumahnya. Sontak anak- anak yang lain disekitarnya memberikan semangat dan meminta anak tersebut untuk melafalkan Allahu Akbar, Allahu Akbar ,Allahu Akbar dengan penuh semangat hingga akhirnya anak tersebut berhenti menangis.

Video lain memperlihatkan seorang gadis yang sedang melantunkan “Subhanallah walhamdulillah wala ilahaillallah wallahu akbar” untuk menenangkan dirinya. Lantunannya kesekian kali, sementara ledakan bom terdengar di luar ruangan persembunyiannya.

Betapa kagumnya melihat cara anak-anak Palestina untuk menenangkan diri dari ketakutan yang sedang mengelilingi mereka. Tentu ini menjadi contoh untuk anak-anak lainnya di seluruh dunia bahwa Allah selalu bersama kita. Doa terbaik akan selalu dilangitkan untuk anak-anak Palestina, semoga selalu diberikan kesehatan, ketegaran dan kebahagian disana. Aamiin Ya Rabbal Alamin.