Generasi milenial memperoleh kesan yang mendalam tentang hal-hal hebat dari bagaimana mereka berkomunikasi, melakukan perjalanan, cara mendapatkan dan menyebarkan informasi, sumberdaya mereka, interaksi dengan pekerjaan dan banyak lagi. Sekarang mereka harus melihat sesuatu yang hebat daam pilihan politik mereka yang representatif dan membuat mereka tetap bertanggungjawab. Jika tidak, generasi saya akan- secara tidak sengaja- tetap melakukan perampasan masa depan mereka secara berlebihan.
Mohamed El-Erian is chief economic adviser at Allianz and chairman of US President Barack Obama’s Global Development Council.
(The Guardian)
Saya sempat bertanya pada beberapa anak muda tentang apa yang terlintas di pikiran mereka ketika mendengar kata politik. Anak muda ini berada pada rentang umur 18 hingga 25 tahun.
Pendapat mereka bervariasi mulai dari organisasi, pemerintahan, pemilu, dan yang menarik korupsi dan politik itu busuk. Ditambah lagi dengan kenyataan politisi muda yang tidak berkualitas. Mulai dari kader-kader politik di perguruan tinggi, politisi lokal hingga nasional yang membuat anak muda semakin apatis terhadap politik dan terbuatlah stereotip bahwa jika kamu bukan dari trah keluarga politisi, tidak punya uang banyak maka politik adalah ruang ketidakmungkinan.
Politik Lokal
Indonesia tak hanya Jawa dan sekitarnya. Maka bolehlah saya mengantarkan esai saya dari isu lokal yang mungkin tidak lebih menarik dari pilkada DKI atau pergerakan politik anak muda di Jawa? Toh gubernur kami yang superstar dan kegantengannya setara dengan saya itu sempat naik namanya setelah muncul sebagai gubernur yang muda.
Tahun 2015 lalu Provinsi Jambi merayakan pemilihan kepala daerah yaitu gubernur. Ada dua kandidat muda di sana yaitu Zumi Zola dan Edi Purwanto dan dua kandidat tua. Namun, dua kandidat muda ini berlawanan.
Edi Purwanto yang melepas jabatannya sebagai ketua DPRD Kota Jambi menjadi wakil dari petahana Hasan Basri Agus. Sedangkan Zumi Zola yang tentu saja pemain yang lumayan baru dalam pentas politik lokal berpasangan dengan Fachrori Umar yang dulunya adalah wakil dari Hasan Basri Agus.
Satu hal yang menggelikan dalam debat adalah saat Edi Purwanto mengaku prestasi organisasinya yang paling tinggi adalah presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di salah satu perguruan tinggi negeri di Jambi. Hal ini menggelikan karena saya membandingkannya dengan bagaimana pergerakan BEM perguruan tinggi hari ini.
Organisasi eksekutif mahasiswa yang bernama BEM hari ini lebih sibuk membuat seminar-seminar ketimbang melakukan advokasi dan tugas eksekutif mereka sendiri. Tak hanya dalam organisasi internal tapi juga organisasi eksternal yang anda-anda tau sendirilah!
Jika ditarik ke belakang lagi saya lebih merasa geli. Baliho dan poster-poster mahasiswa menggunakan almamater dan melipat tangannya dengan diikuti jargon-jargon yang tidak konkret bertebaran di kampus. Belum lagi saat pemilihan organ eksternal seperti HMI, KAMMI atau yang lainnya bermain politik yang tidak menggunakan deterjen.
Setelah terpilih mereka menghabiskan dana kampus yang entah jadi apa habisnya. Sama sekali tidak berdampak pada kehidupan mahasiswa di kampus Jambi.
Pungutan-pungutan liar terus berjalan di kampus, jual-beli diktat, Uang Kuliah Tunggal (UKT), biaya praktikum yang terus dibayarkan padahal praktiknya sudah tidak ada dan sebagainya. Kemana orang-orang yang hobi menggunakan jargon ini?
Tidak heran sebenarnya. Politikus-politikus kampus bisa jadi merupakan cermin bagaimana politikus aras pemerintah daerah bermain. Politikus kampus takut dengan rektorat karena anggran dari rektorat. Jujur, sulit sekali mau membandingkan politikus mahasiswa tataran kampus di Jambi dengan di Jawa. Khususnya untuk kota Jambi, sebab di beberapa kabupaten banyak juga mahasiswa yang kritis terhadap kampus yang menipu mahasiswanya sendiri.
Hal ini kemudian memperkuat ruang untuk perubahan semakin tak mungkin. Mahasiswa menjadi politisi karena ada mau pribadi, bukan untuk masyarakat. Entah itu beasiswa atau kedekatan dengan pejabat rektorat. Kemunduran yang jelas-jelas dilihat oleh mahasiswa yang tidak mengaku aktivis malah dinafikkan oleh mahasiswa yang mengaku aktivis.
Tak hanya pergerakannya, tapi juga isu-isu yang dikawal. Sedikit sekali aktivis kampus di Jambi mengangkat isu lokal. Mereka hanya menyerang Jokowi dan Jokowi yang jelas-jelas tak akan mendengar tuntutan mereka sama sekali. Mengapa mereka tidak menuntut turun rektor mereka yang menjadi tersangka korupsi? Mereka malah mencium tangan pejabat yang korup dan menyanjung-nyanjung koruptor tersebut.
Ini mungkin kesalahan banyak orang termasuk saya mungkin, tapi apakah kita tetap diam? Ya terserah sih sebenarnya.
Saya hanya kepikiran bagaimana politik masa depan jika politisi mudanya, seperti yang pernah saya ajak bicara, sering-sering mengatakan: Sudahlah, ndak usah idealis-idealis, ndak hidup orang idealis di Indonesia ni. Dyar!
Masih muda kok sudah cari aman!
Rendang
Kejengkelan saya kemudian membuat lapar dan menimbulkan rasa ingin makan rendang. Kamu tahu rendang? Ya, masakan yang terkenal berasal dari Sumatera Barat (sumbar) itu.
Rendang konon tak bisa dilepaskan dari bahan dasarnya daging dan kelapa. Daging sapi bertemu dengan santan dan ditambahkan rempah-rempah. Aromanya yang amboi ini tentu tak lepas dari kekayaan alam sumatera barat sendiri.
Kelapa atau dalam bahasa minangnya karambia juga berpengaruh dalam rasa. Salah seorang pemilik rumah makan padang saya tanyai apakah berbeda karambia di Sumbar dengan di tempat lain.
“Bedalah!” kata ibu pemilik rumah makan padang itu.
Dia mengatakan kelapa dari Sumatera Barat lebih enak dari yang berasal daerah lain. Terlebih kelapa yang diambil pohonnya berada dekat dengan laut. Katanya itu jauh lebih nikmat.
Dia mengatakan bahwa minyak yang ada dalam kelapa keluar saat dimasak, selain untuk rasa itu juga berpengaruh pada ketahanan rendang sendiri. Ya, rendang dapat tahan hingga satu hingga dua minggu.
Dalam laporan antroplogi kuliner Tempo, sempat dikutip pernyataan Nur Indrawaty Lipoeto selaku ahli gizi di Universitas Andalas, bahwa rendang itu tahan lama karena orang minang suka merantau. Karena suka merantau maka dibuatlah makanan yang tahan lama.
Lama membuatnya pun bervariasi. Semakin banyak rendang yang kamu buat maka waktu yang dibutuhkan semakin lama. Kalau hanya satu kilogram tidak lama memasaknya. Namun, kalau sepuluh kilogram jelas membutuhkan waktu lebih dari satu jam.
Kalaulah boleh saya mengibaratkan perjuangan dengan rendang. Ingin sekali mengandaikannya dengan bagaimana politisi muda di kalangan kampus, pergerakan mahasiswa yang menjadi bibit. Apalagi mahasiswa posisinya tidak terikat dengan para pemodal, hanya terikat ketakutan dengan birokrasi kampus- untuk yang tidak kritis.
Kembali ke rendang. Rendang menurut sejarahnya tidak lepas dari sumberdaya yang dekat dengannya. Sumatera Barat konon sudah banyak ditanami kelapa sejak lama. Rendang adalah sumatera barat karena dia dekat dengan tanah asalnya, dibuat dengan melihat potensi alam sekitarnya.
Kelapa yang berkualitas pun menurut urang awak ini adalah yang dekat dengan laut. Bahan dasar yang dapat kita ambil sambil memandang luasnya dunia.
Terkait dengan pembuatannya, semakin lama dia dibuat, diolah dan dipanaskan maka semakin lama tahannya. Daya tahan inilah yang membuat perantau minang tidak kelaparan untuk waktu yang cukup lama.
Nah, bisa nggak pemuda kita seperti rendang? Hidup, tumbuh dan mengambil ilmu dari tanah tempat dia berpijak. Mengawal isu-isu yang lebih dekat dengan tempat hidupnya dan sembari kreatif memikirkan solusinya dengan alam informasi yang terkembang luas seperti sekarang.
Aktifis muda atau pemuda yang semakin terlatih dengan pemikiran dan aksi yang tidak melangit ini yang seperti rendang. Daya tahannya akan ditempa dan lebih tahan lama, ya jika dia bertahan.
Bukankah Soekarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka tidak seperti mie instan yang merupakan anak kemarin sore? Mereka berdiskusi bertahun-tahun, bergerak bertahun-tahun, bergerilya, menyentuh persoalan rakyat bertahun-tahun, bergerak di ‘bawah tanah’ bertahun-tahun dan membaca banyak buku.
Tidak ada Soekarno dipilih jadi presiden pertama hanya karena dia pernah dididik Cokroaminoto dan berorganisasi di PNI (Partai Nasional Indonesia), tapi lebih karena pergerakannya. Tidak ada Hatta dipilih hanya karena pernah memimpin Perhimpunan Indonesia saja melainkan pergerakannya. Semua dipilih karena pergerakan mereka yang menyentuh persoalan riil masyarakat.
Maka dari itu semakin lokal isu yang dikawal mahasiswa, pemuda dan aktivis atau politisi muda maka semakin lama memperhatikan lokalitas maka akar mereka akan semakin kuat dan menjadi bibit yang unggul. Bibit unggul inilah yang kemudian akan meretakkan ketidakmungkinan yang membuat saya apatis mulai dari politik daerah hingga politik tataran nasional.
Rendang dan Ruang Ketidakmungkinan
Filosofi rendang kemudian berlaku disini. Usaha meminimalisir lintasan-lintasan pikiran negatif anak muda soal politik dapat berkurang jika kader-kader politik muda punya kualitas yang bagus.
Jika politik di ruang-ruang yang lebih luas lebih berkualitas, bukan tidak mungkin terjadi perumusan ulang definisi politik.
Seperti definisi politik menurut Slavoj Zizek bahwa politik dirumuskan sebagai gerak subjek yang istimewa untuk mengintervensi ruang ketidakmungkinan.
#LombaEsaiPolitik