Membaca, bukan perkara hobi atau kebutuhan belajar di sekolah dan bangku kuliah. Lebih dari itu, membaca adalah sebuah laku hidup. Dengan membaca kita berupaya untuk menyelami teks bacaan dan sekaligus teks diri kita sendiri. Apa yang kita cari dan seharusnya kita temukan dalam kegiatan membaca adalah diri kita sendiri. Oleh karenanya, saya menyebut kegiatan membaca sebagai Laku Hidup.

Sekarang, mari kita coba perhatikan situasi tempat-tempat umum di sekitar kita. Misalnya di ruang tunggu bandara, stasiun kereta, dan halte busway. Aktivitas apa yang biasa dilakukan oleh mayoritas orang (untuk tak mengatakan semuanya) saat mengisi waktu senggang tersebut? 

Kita akan dapati pemandangan yang seragam, orang-orang yang asik dengan gadget. Hampir tidak ada yang memegang buku bacaan. Kalaupun ada, ini sangat jarang sekali terjadi.

Fenomena di atas juga bisa kita dapati dalam acara pertemuan-pertemuan di masyarakat, baik itu saat arisan atau reuni, fenomena gadget minded akan sangat mudah dijumpai. 

Dunia ada di telunjuk jemari. Demikian kata yang menggambarkan kondisi di mana gadget menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Pakar marketing Hermawan Kartajaya pernah berkata dalam sebuah seminar di Hotel Ritz Carlton Jakarta, “Kalau orang zaman dulu prinsipnya makan gak makan yang penting kumpul, orang zaman sekarang berbeda, makan gak makan yang penting connect.” Maksudnya adalah connect dengan internet, berselancar di media sosial.

Peradaban manusia adalah peradaban teks. Ilmu pengetahuan diwariskan dan dikembangkan dari generasi  demi generasi melalui perantara aksara atau tulisan yang tertera di batu, daun lontar, kertas dan media digital. Semua itu akan berguna jika budaya baca ditegakkan terlebih dulu. Karena memang salah satu sumber utama ilmu adalah tulisan, dan dibutuhkan ketekunan, kegigihan serta keuletan dalam kegiatan membaca. Tanpa adanya budaya baca yang tinggi, akan sulit rasanya sebuah masyarakat, sebuah bangsa bertumbuh dan maju.

Tanah air kita, sayangnya, ternyata tak mampu menjadi teladan dalam hal budaya baca. Dari data yang pernah dirilis oleh UNESCO tahun 2012, indeks baca masyarakat kita 0,001. Artinya dari jumlah seribu penduduk, hanya ada satu orang yang mau dan mampu membaca secara serius. Penelitian lainnya, misalnya dari Central Connecticut State University, USA, ternyata hasilnya senada dengan informasi dari UNESCO, yang menempatkan tanah air kita pada posisi ke-60 dari total 61 negara yang disurvei perihal budaya baca.

Data penelitian tentang rendahnya budaya baca bangsa kita di atas, mungkin bagi sebagian kalangan masih akan diperdebatkan dan digugat validitasnya. Namun indikasi lainnya dapat kita lihat pada kondisi dunia perbukuan tanah air. Terkenal istilah kutukan 3.000 di kalangan perbukuan tanah air, di mana setiap judul buku yang dicetak umumnya hanya sejumlah 3,000. Bahkan saat ini banyak buku yang cetak terbatas di bawah angka 3.000. Jika kita bandingkan dengan Turki, yang jumlah penduduknya sepertiga kita, namun rata-rata per bukunya dapat dicetak tiga kali lipat lebih banyak, yakni sejumlah 10,000.

Perihal buku, yang seringkali dijadikan keluhan kebanyakan orang terkait dengan harga yang dianggap mahal. Namun kita bisa saksikan betapa bioskop XXI di tak pernah sepi setiap akhir pekan. Juga fakta menarik lainnya, misalnya beberapa produsen gadget memilih Indonesia sebagai tempat launching perdana di dunia.

Hal itu menunjukkan bahwa perkara rendahnya budaya baca tidak sekaku karena harga. Juga bukan karena masyarakat tak mampu membelinya. Namun masalahnya adalah, karena cinta dan perhatian kita yang cukup rendah terhadap budaya membaca.

Jika di Amerika seorang pemimpin perusahaan merasa belum beradab jika tidak mampu menyediakan ruang perpustakaan di perusahaannya, maka di sini sebaliknya, mungkin beberapa bos perusahaan akan terheran-heran dengan anak buahnya yang suka membaca. Seloroh yang acap terdengar ialah, “Buat apa membaca buku-buku, toh juga tak akan berdampak pada karier dan belum tentu bisa diterapkan dalam pekerjaan.” 

Bagi masyarakat yang imajinasinya masih terjebak sebatas pada urusan makan dan kenyang, keindahan bacaan memang tak akan mampu dibayangkannya. Kita akan kesulitan memahami kata Jorge Luis Borgez yang mengatakan, “I have always imagined that paradise will be a kind of library.”

Nicholass Carr pernah menerbitkan hasil penelitiannya tentang dampak internet bagi kehidupan, dalam buku The Shallow (2012) ia menyimpulkan, ternyata internet menyebabkan kedangkalan berpikir. Luberan informasi ternyata tidak ekuivalen dengan meningkatnya kecerdasan penggunanya. Di tengah kehidupan berlimpah ruah informasi seperti sekarang ini, ternyata kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam kian berkurang.

Mengapa hoaks begitu mudah menyebar dalam lingkungan kita, salah satunya karena budaya baca di masyarakat masih sangat rendah dan belum mapan. Akibatnya daya berpikir kritis kita pun tak cukup memadai untuk merespons informasi yang datang bertubi-tubi. Selain itu, mempertanyakan validitas informasi juga belum terbiasa. 

Jika kita bandingkan dengan Barat, di sana budaya visual atau menonton televisi, datang belakangan setelah budaya baca kuat di masyarakat. Sedangkan di Indonesia, ketika masyarakat masih tertatih-tatih menghadapi budaya menonton televisi yang mengalahkan budaya baca, lalu kita dihajar dengan hadirnya budaya media sosial. Maka semakin beratlah upaya untuk menegakkan budaya baca.

Maka tak mengherankan jika hoaks cepat meruyak dan mengoyak sendi-sendi kehidupan sosial kita. Fenomena hoaks semakin bertambah massif terutama bila dikaitkan dengan momentum politik seperti Pilkada dan Pemilu Presiden. 

Jika kita tidak berhati-hati dan menyikapi secara cepat, maka fenomena hoaks ini akan sangat mungkin menyebabkan disintegrasi. Masyarakat akan menjadi serupa buih yang dipermainkan oleh informasi-informasi yang belum tentu valid. Repotnya, informasi yang belum tentu valid tersebut sudah buru-buru dibagikan ke berbagai saluran informasi. Akibatnya, semakin besarlah laju bola salju informasi tak valid ini. 

Para penyebar hoax terus beraksi karena mereka menyadari rumusan berikut, “sebuah kebohongan jika disampaikan terus menerus maka pada akhirnya ia akan dianggap sebagai kebenaran.”

Setiap peradaban besar jika kita teliti secara mendalam, pastilah memiliki etos intelektual yang tumbuh di dalamnya. Komunitas epistemik sebagai wadah etos intelektual akan banyak kita temukan di dalamnya. Etos intelektual akan memacu setiap anggota masyarakatnya (tak peduli apa pun agamanya) untuk menciptakan karya terbaiknya. 

Etos intelektual tak terlihat secara gamblang, namun sangat vital perannya. Ia berperan seperti jiwa terhadap raga, serupa cahaya bagi mata. Tanpa jiwa raga tak bisa apa-apa, juga takkan mampu menghasilkan karya yang bernilai, karena raga akan menjelma zombie jika ia tanpa jiwa. Sedangkan mata, jika tanpa cahaya, ia akan kesulitan menyaksikan segenap keindahan ciptaan Tuhan.

Etos intelektual, bisa dilihat dari banyak aspek. Salah satunya dapat terlihat melalui apresiasi terhadap teks, baik itu berupa budaya membaca, menulis, dan juga riset. Namun tak berhenti pada ketiga kegiatan tersebut. Karena faktanya, ketika ketiga kegiatan tersebut dilakukan pun, bisa saja sebuah masyarakat tidak tumbuh menjadi tercerahkan. 

Jadi, ketiga aktivitas intelektual tersebut haruslah terkait erat dengan sisi ilahiyah (spiritual). Dan ilahiyah di sini tak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan. Artinya, pendasaran ilahiyah dan insaniyah harus terpadu. Dan keduanya harus berporos pada keadilan sebagai parameternya. 

Dengan demikian aktivitas intelektual memiliki tujuan yang jelas dan tidak terjebak pada absurditas ilmu untuk ilmu atau seni untuk seni. Tapi ilmu dan seni untuk kebermanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat luas, dengan memberikan pencerahan, inspirasi dan harapan akan kehidupan lebih baik yang akan menghantarkan masyarakat menuju kepada kesempurnaan dan kebahagiaan.

Dengan prasyarat seperti di ataslah budaya baca perlu kita tegakkan di tengah-tengah kita. Sehingga kegiatan membaca sebagai laku hidup dapat tercipta dan memberikan manfaat serta berkah yang luas bagi segenap makhluk di bumi manusia seisinya.