Tahun baru. Bulan Januari tanggal enam aku jadikan hari di mana aku mengunjunginya. Empat tahun tidak bertemu karena aku mengajar di Kepulauan Riau. Aku menikah dengan laki laki yang berasal dari sana. Suamiku memutuskan untuk tinggal di kampungnya. Maka aku ikut ke kampung halamannya untuk tinggal di sana. Aku lanjutkan profesiku sebagai guru.

Saat aku membuat soal ulangan untuk akhir semester, ponselku mendapat panggilan dari salah satu temanku yang sudah lama tidak menghubungiku. Sian. Aku tidak sempat memikirkan apa yang membuatnya menghubungiku. Aku hentikan pekerjaanku untuk menjawab panggilannya.

“hallo?”

“hallo? Liana? Ini aku. Sian” jawab Sian.

“wah, Sian. Apa kabar?”

“kabarku baik. Kau sendiri?”

“aku juga baik. Apa yang membuatmu menelepon, Sian?”

“seperti biasa, aku langsung saja bicaranya. Gifari  jatuh sakit. Sudah dua bulan”

Mendengar nama itu aku teringat sahabatku dan janji yang dia minta padaku untuk menepatinya. Sian selalu mengabari kabar laki laki itu padaku. Aku yang memintanya untuk melakukan itu. Karena rumahnya bersebelahan dengan Gifari.

Aku bertemu dengan Sian lewat profesi kami sebagai guru. Aku dan Sian mengajar di SMP yang sama saat di Jakarta. Dia menikah lebih dulu dan berhenti dari pekerjaannya. Tidak lama setelah itu, ketika aku mengunjungi rumahnya, aku sadari dia bertetanggaan dengan laki laki itu. 

Sejak itu aku hanya menatap rumahnya dengan perasaan ingin menghancurkan janji yang telah aku tepati selama sembilan belas tahun.  Tapi aku tidak pernah melakukannya. Karena aku selalu mengingat matanya yang menatapku dengan sungguh sungguh memohon dan penuh air mata.

Wajahnya mendekat dan menatapku. Kedua matanya membesar. Dari matanya saat itu aku melihat kumpulan keinginan, ingatan, penyesalan, dan keharusan yang menyakitkan namun tetap harus dia lakukan. Itu semua menyiksanya dari dalam.

Dia menggenggam tanganku. Memaksaku berjanji. Dan aku melakukannya.

“kau tidak mau memberitahu temanmu? Maharani itu?” kata Sian.

Aku ingat lagi matanya waktu itu. “aku tidak tahu”

Setelah telepon itu aku terus memikirkan Gifari dan Maharani sambil menimbang nimbang keputusan apa yang harus kuambil. Melanjutkan janjiku atau merusaknya.

Dan hari ini, setelah memutuskan untuk merusak janjiku sendiri, aku terbang ke Jakarta. Menemui Maharani yang satu kota dengan Gifari.

Rumahnya bercat putih dan biru. Bersih dengan halaman penuh tanaman yang ditanam dalam pot. Aku membuka pagar dan berjalan melewati halaman menuju pintu rumahnya. Aku menekan bel. Dia membuka pintu dan menyambutku dengan gembira. Kami saling mengucapkan salam tahun baru. Tidak lama setelah itu aku sudah duduk berdua dengannya di ruang tamu.

Rumahnya selalu tenang. Dia menyuguhkan teh dan kue kecil di atas meja. Melihat senyumnya, aku sempat berpikir untuk membatalkan niatku.

“kenapa kau tidak mengabarkan kedatanganmu, Liana?” katanya sambil memakan cemilan yang dia ambil dari kotak kaca di atas meja. Dia bersandar, tersenyum sambil memakannya. Senyumnya itu. Apa aku harus hilangkan senyuman itu dari bibir sahabatku sendiri?

Aku balas tersenyum memandangnya. Apa aku sudah mengambil keputusan yang baik untuknya? Juga untuk Gifari? Tapi aku sudah ada di sini. Menghabiskan uang tiket pesawat dan melewati malam dengan tangan yang dingin sambil memikirkan Maharani dan Gifari berkali kali. Kemudian aku tiba di Jakarta tanpa sempat membatalkannya.

“Gifari sakit. Sejak dua bulan lalu” dia sudah menelan cemilannya saat aku menyebutkan nama laki laki itu. Aku tidak bisa mengatakan ‘perlahan lahan’ saat melihat senyumannya menghilang begitu saja. Remaja yang berumur tujuh belas tahun dalam dirinya selalu ada di sana, di sisi lain dirinya dan tidak pernah ikut tumbuh dengan sisi lainnya. Matanya penuh ketakutan.

“tidak ada yang merawatnya selain tiga pembantu berumur lima puluhan, dan seorang supir laki laki yang selalu mengantarkannya ke rumah sakit yang umurnya lebih tua dari ketiga pembantu perempuan tadi”

“istrinya?” matanya menatapku tanpa berkedip dan terlihat kosong.

“meninggal tiga tahun lalu”

“anaknya?”

Aku basahi bibirku. “dia tidak punya anak”

Maharani menatapku tanpa bertanya lagi. Itu semua telah menyiksanya. Atau aku yang telah menyiksanya? Membawa kabar ini sekaligus saat dia sudah dapat tersenyum seperti itu selama bertahun tahun. Apa aku melakukan kejahatan pada sahabatku sendiri?

Matanya berkedip satu kali. Dan air mata jatuh dari kedua matanya. “Maharani” Matanya masih menatap kosong ke arahku. Perlahan dia melatakkan tangannya di atas perutnya sambil menunduk. Air mata terus mengalir dari matanya. Masih tidak bergerak. Kemudian dia menangis dengan tangisan yang menyakitkan.

“Maharani” aku berdiri dari bangku dan menghampirinya. Berlutut di hadapannya sambil berusaha melihat matanya yang sekarang sesekali terpejam dengan kecang. Saat itu aku menyesali perbuatanku. “Maharani. Maafkan aku. Maafkan aku” tangannya yang lain menutup mulutnya dan dia semakin terisak dengan kencang. Di tengah tengah tangisannya, aku mendengarnya satu kali. ‘Gifari’.

“aku…”dia berbicara di tengah tangisannya. “aku…tidak berubah…” dia menatapku dan air matanya belum behenti. “aku tidak berubah, Liana” dia pejamkan matanya dengan keras. Seluruh wajahnya telah basah oleh matanya. Dia memukul mukul dadanya berkali kali “aku tidak berubah. Aku tidak berhasil menyelesaikannya dulu. Tuhan menyuruhku untuk menyelesaikan urusanku dengannya” 

kutahan tangannya agar dia berhenti memukuli dadanya. Aku tatap dia sambil menangis. Tapi dia terus memukuli dadanya.

“Maharani, hentikan”

“Tuhan mengirimmu untuk membawaku kembali padanya. Hukuman ini… aku dihukum dengan cara ini berkali kali. Aku dihukum dengan cara ini berkali kali” kupeluk dia dengan kecang sambil menangis agar dia memberhentikan pukulannya.

“berhenti, Maharani. Berhenti memukuli dirimu sendiri. Kau tidak dihukum. Kau telah menyelesaikan masalahmu dengan Gifari dulu. Bukan itu tujuan Tuhan membawaku kemari. Kau telah menyelesaikan masalahmu, Maharani. Kau ingat?”

Aku lepaskan pelukanku dan mengangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Wajahnya basah karena air mata. Dia menatapku masih menangis. “kau ingat kata katamu dulu? Kau adalah matahari sore pukul lima. Yang mengucapkan selamat tinggal dengan perlahan lahan, indah dan begitu mahatari itu tenggelam, tidak ada cahaya yang tersisa. Kau sudah melakukannya”

“tapi kenapa dia kembali lagi, Liana? Dan aku masih saja menangis hanya karena mendengar namanya. Getaran itu, Liana, getaran itu tetap ada ketika wajahnya melintasi hatiku. Kenapa ini tidak selesai? Ini salahku. Aku tidak menyelesaikannya dulu” tangisannya mengiringi kalimatnya. Aku diam untuk menatapnya beberapa lama. Dia terus menangis dan sesekali mengucapkan nama laki laki itu.

“Maharani, dengar” kataku dengan memerintah setelah mengusap air mataku sendiri. “tidak ada waktu untukmu menuntut apa yang terjadi. Kau tanya kenapa dia kembali? Memangnya kenapa dia tidak boleh kembali? Dia pernah menjadi alasan hatimu untuk bisa merasakan perasaan yang sempurna. Apa ini sebuah kesalahan jika Tuhan mengutusmu untuk menolongnya sekarang?” dia mulai menatapku. Meski air matanya belum berhenti, dia terlihat mendengarkan ucapanku. Perlahan wajahnya melentur.

“sekarang, jika Tuhan berbalik bertanya padamu, ‘memangnya kenapa hal ini tidak boleh terjadi? Kenapa dia tidak boleh kembali, Maharani? Kenapa tidak boleh jika kau masih mencintainya?’ Kau bisa menjawabnya?” sisa sisa air matanya jatuh beberapa kali. Namun dia tidak menangis lagi.

“kau bisa mengerti ucapanku, Maharani?” dia masih menatapku dengan diam. “Gifari membutuhkanmu sekarang. Dia sendirian dan kau pasti tahu bahwa dia kesepian dengan semua hal yang terjadi padanya. Dan apa kau lupa? Dulu kau berdoa, jika kelak dia butuh bantuan dan kau bisa membantunya, kau berdoa agar saat itu kau tahu supaya kau bisa datang untuk membantunya. Sekarang Tuhan mengabulkan doamu. Dan kau menyalahkan-Nya?”

“aku bisa membantunya” dia menggumamkan kalimat itu. Lebih untuk dirinya sendiri. Aku menunggu. Melihat kedua matanya yang bergerak gerak. Wanita penyusun rencana yang selalu aku lihat dalam dirinya mulai mucul ke permukaan. Dia masih diam seperti itu.

Dua bulan setelah kejadian itu, aku melihat kejadian yang membahagiakan. Namun di sisi lain ada kejadian yang menyedihkan pula.

Awalnya suami Maharani mengizinkan Maharani untuk merawat Gifari. Sebagai alasan bahwa laki laki itu teman sekolahnya dulu. Dia menjelaskan keadaan Gifari dan suaminya memperbolehkan. Tapi seiring berjalannya waktu,---hanya orang bodoh yang tidak dapat melihat tatapan itu di mata Maharani---suami Maharani melihat kedua mata istrinya bukan lagi sebagai miliknya.

Di suatu pagi. Pagi sekali. Maharani menyiapkan  obat. Dari yang dia ramu sendiri dengan bahan bahan yang sederhana sampai yang ia beli. Membawa makanan yang---menurutnya---dibutuhkan Gifari. Dia tetap membuat makanan itu di rumahnya sendiri meski Gifari memiliki pembantu untuk memasak di rumah laki laki itu.

Saat itulah suami Maharani menatapnya dengan tatapan telah kehilangan suatu miliknya yang berharga. Dia menegur Maharani dengan halus namun juga dengan nada seakan meminta agar miliknya untuk kembali. Maharani menjelaskan apa yang telah dia jelaskan sebelumnya. Namun suaminya semakin merasakan rasa kehilangan itu.

Aku tidak bisa jelaskan urutan kejadian yang sebenarnya. Itu semua terlalu rumit. Tapi singkatnya, sampai alasan tertentu suaminya meninggalkan Maharani. Dan Maharani terus merawat Gifari sampai laki laki itu tidak bisa lagi disembuhkan. Aku dan Maharani mengurusi pemakamannya. Aku kembali ke Riau, Maharani sendirian.

Aku bisa kembali ke Riau karena aku tahu, meski dia sendirian sekarang, aku tidak melihat rasa kesepian dalam matanya. Aku bahagia tujuan hidupku terpenuhi, katanya. Dia kehilangan suaminya dan Gifari. Dia sendirian, namun aku harus mengakui ini berkali kali sebagai sebuah fakta. Bahwa dia tidak pernah kesepian setelah apa yang dilakukannya.

Dan aku tidak punya hak untuk mengatakan apakah Maharani melakukan kesalahan atau tidak.