Salah satu teman saya adalah seorang tenaga kesehatan. Hampir setiap hari saya mengikuti status-statusnya di media sosial. Beberapa kali dia seperti memperkenalkan istilah-istilah medis untuk khalayak lewat status-statusnya itu.

Seperti beberapa hari kemarin, dia mengunggah statusnya yang membuat kening saya berkerut. Begini statusnya: “Pengen flatus tapi khawatir kebablasan.” Kemudian di akhir statusnya diberi emoticon wajah yang galau.

Saya kemudian berpikir, apa yang dimaksud oleh teman saya tersebut dengan istilah flatus. Saya kemudian mencari istilah medis itu untuk diketahui orang awam semacam saya. Ternyata flatus adalah proses pembuangan gas pencernaan melalui anus. 

Kondisi semacam ini juga dikenal sebagai kentut yang dialami semua orang yang memiliki pencernaan normal. Oalah, ternyata flatus itu sama dengan kentut. Ah, tertawa saya jadi terlambat.

Beginilah enaknya punya teman dari tenaga medis. Jadi paham beberapa istilah medis. Bisa menambah khazanah perbendaharaan istilah. Entah sengaja atau tidak, sebenarnya dia telah mengajari saja untuk mengetahui hal-hal baru.

Dari statusnya tentang flatus itu, saya jadi paham bagaimana religiusitasnya. Setidaknya dia memiliki moralitas terkait flatus. Memang, agama telah mengatur hal remeh temeh semacam flatus ini. 

Kita tahu, flatus memang suatu peristiwa biologis biasa dan keniscayaan sebagaimana kita membuang air kecil dan air besar. Baik flatus maupun buang air sama-sama bisa membatalkan wudhu kita.

Dari premis ini, tentunya kita bisa menyimpulkan, bila kita flatus di depan khalayak, tentu nilainya sama dengan ketika kita buang air di depan khalayak. Ya, sama-sama memalukan. 

Makanya agama mengatur bagaimana kita memperlakukan flatus. Tentu ada dua persoalan dalam hal ini, pertama soal bau atau aroma yang mengganggu dan kedua soal etika sosial. 

Pada masalah pertama, soal bau yang mengganggu dan aroma tidak sedap pasti  bisa membuat orang tidak nyaman. Agama pasti melarang keras orang-orang yang tega menyakiti saudaranya. Sekalipun itu hanya bau dari flatus.

Dulu Rasul tidak memperkenankan para sahabatnya untuk masuk masjid yang memakan bawang putih tanpa bersih-bersih mulut karena aromanya dapat mengganggu orang lain. 

Dengan demikian, kita tidak diperkenankan untuk mengganggu orang lain dengan aroma tidak sedap, baik mencakup tubuh dan pakaian kita. Tentunya kita harus memastikan tubuh dan pakaian tidak mengandung aroma busuk sebelum berjumpa dengan orang lain.

Dari sini kemudian para ulama membuat kaidah bahwa gangguan atas kenyamanan orang lain karena aroma dari mana pun sumbernya, yaitu mulut, tubuh atau pakaian seseorang dilarang dalam Islam, yaitu ‘segala aroma yang menyakitkan orang lain maka itu dilarang.’ 

Hal ini bisa dipahami karena kita tidak dapat membayangkan bagaimana dampak aroma busuk atas kenyamanan orang lain ketika ada seseorang mengalami flatus, lebih-lebih di ruang tertutup, baik di pasar, bus kota, krl atau ruangan berpendingin. 

Tentunya tidak bisa dipahami pula seseorang boleh flatus sembarangan di ruang terbuka.

Memang, kadang ada flatus yang tidak menghasilkan aroma busuk. Dari satu sisi, tentunya hal ini tidak menyakiti orang ain. Tetapi persoalannya, kita tidak tahu apakah flatus yang akan keluar itu dipastikan bau atau tidak. 

Makanya, masalah ini berkaitan dengan masalah kedua, yaitu etika sosial. Meski tidak melahirkan aroma busuk, flatus yang bersuara di depan umum dapat merusak mood, konsentrasi, dan gangguan psikis terhadap orang lain seperti mereka yang sedang makan atau minum.

Walaupun ada budaya dari beberapa saudara kita di dunia ini justru flatus itu adalah momentum untuk menyenangkan orang. Aneh kan? 

Coba saja Anda pergi bertamu ke suku Eskimo atau ke Kanada, Anda akan mendapati momentum aneh terkait dengan flatus. Kabarnya, bila kita dijamu makan di sana, untuk menunjukkan apresiasi kita terhadap makanan, kita dianjurkan untuk flatus setelah makan.

Flatus setelah makan dianggap menunjukkan rasa terima kasih dan menyatakan bahwa makanan yang kita makan itu memiliki rasa yang enak sehingga tuan rumah merasa puas dengan pelayanannya.

Makanya kalau kita ingin flatus di depan orang makan, pergi saja ke sana. Kita malah bisa menyenangkan tuan rumah. Tetapi kalau kita hidup di negeri tercinta ini, ada moralitas yang harus dijaga. 

Bila kita flatus sebaiknya menjauh dari keramaian, seperti menepi atau mencari ruang publik yang seharusnya. Di mana pun asal tak ada orang yang mendapat efek dari flatus kita.

***

Kitapun tak perlu mengolok-olok bila mendapati teman kita yang keprocot kedapatan flatus. Saya jadi ingat, betapa indahnya Rasul menyikapi sahabat yang pernah kebobolan flatus

Dulu, ketika para sahabat sedang berkumpul menikmati sajian daging unta di masjid bersama Rasul, salah seorang dari sahabat ada yang flatus. Bau tak sedap itu langsung menusuk-nusuk hidung para sahabat lain dan Rasul. Bayangkan saja, bau flatus dari orang yang habis makan daging, tentu begitu wow bila menusuk hidung.

Salah seorang yang tidak kuat menahan bau flatus itu berdiri dan mengatakan siapa pun yang merasa telah flatus hendaknya berdiri. Tetapi tak seorang pun dari mereka bangkit dan berdiri untuk mengaku. Mengetahui hal itu, Rasul tidak meminta sahabat yang merasa flatus untuk berdiri. Beliau hanya diam.  

Ternyata, sahabat yang tengah menahan amarah untuk mencari tahu pelaku flatus itu mendapat dukungan dari sahabat lain. Bahkan sahabat lain mengatakan: “Orang yang flatus tentu akan berwudhu setelah ini. Kita tunggu saja.” 

Mendengar hal itu, Rasul kemudian mengajak para sahabat untuk berwudhu meskipun mereka semua belum batal wudhunya. Alasan beliau adalah karena habis makan daging unta.

Setelah itu para sahabat yang berkumpul di masjid itu mengambil air wudhu atas seruan Rasul sehingga tak diketahui siapa yang sebenarnya pelaku flatus karena semua orang mengambil air wudhu. 

Asyik sekali cara Rasul mendidik para sahabat untuk tidak mempermalukan saudara sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana perasaan pelaku flatus saat itu. Pasti akan sangat malu bila ketahuan dirinya pelaku flatus. Bagaimanapun flatus di tengah kerumunan orang banyak adalah memalukan.

Hal yang menarik dalam peristiwa ini adalah Rasul menyeru para sahabat untuk berwudhu. Rasul tidak secara langsung mengaitkan wudhu itu dengan percobaan pengusutan kasus pelaku flatus yang dilakukan salah seorang sahabat, tetapi mengaitkannya dengan daging unta yang telah mereka makan bersama pada saat itu di masjid.

Jadi, bila kita mendapati kawan yang flatus, jangan mengolok-olok atau menuduh-nuduh siapa yang flatus. Ini sangat memalukan. Tetapi bila kila adalah pelaku flatus, ya sebaiknya menyingkir dulu. Kasihan teman yang lain. Kira-kira begitu.

---

Moch Taufiqurrohman adalah ASN Kementerian Agama yang senang menulis dan melukis.