Terhitung 60 tahun silam, 24 September 1960 merupakan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 cum Hari Tani Nasional. Kelahiran UUPA ini merupakan perlambang bagi segenap kaum tani, masyarakat adat, nelayan dan rakyat secara umum dalam memukul mundur sistem feodalisme dan kolonialisme dengan memperioritaskan agenda Land Reform.
Menyambut lahirnnya UUPA tersebut, pada 24 September 2020 kaum tani dan elemen masyarakat yang tersebar di berbagai titik-titik daerah tengah menggalang aksi menuntut reforma agraria sejati. Aksi perlawanan tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk metode gerakan. Salah satu bentuk gerakan aksi heroik tersebut ialah upaya reklaiming yang dilakukan oleh ribuan warga Pakel dan solidaritas tani di Banyuwangi.
Konflik perebutan tanah perhutanan di Banyuwangi sudah ada sejak era kolonial, dimulai ketika pada tahun 1925, sekitar 2956 orang warga yang diwakili oleh tujuh orang yakni Doelgani, Karso, Senen, Ngalimun, Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Kaseran yang terletak di desa Pakel ke pemerintah kolonial Belanda.
Selama era kolonial perjalanan pengelolaan tanah di Pakel yang dilakukan oleh Doelgani cs mengalami berbagai rintangan, termasuk intimidasi dan proses hukum oleh pemerintah pada saat itu. Memasuki era orde baru tahun 1965 keturunan dan penerus Doelgani cs mengajukan kembali permohonan untuk bercocok tanam di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi, namun surat tersebut tidak mendapatkan jawaban apa pun dari pemerintah.
Sedangkan untuk menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel bercocok tanam di wilayah Taman Glugoh bekas perkebunan Belanda yang tidak aktif. Tidak lama kemudian, meletus tragedi kemanusiaan 30 September 1965. Pasca peristiwa tersebut warga tidak berani menduduki kawasan hutan karena khawatir akan dituduh sebagai anggota PKI.
Di pihak lain, lahan yang mereka kelola secara tiba-tiba diklaim milik perusahaan perkebunan PT. Bumi Sari. Pada tanggal 13 Desember 1985 Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Hak Guna Usaha di atas tanah tersebut dengan luas 1189.81 hektar kepada PT. Bumi Sari.
Dalam perjalanannya pasca reformasi, sesuai surat dari BPN Banyuwangi Nomor. 280/600.1.35.10/II/2018 ditegaskan jika tanah desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT. Bumi Sari, dari sini warga mengangap ada peluang untuk mendapatkan kembali tanah mereka. Namun ketika pada tahun 2019 warga dilaporkan oleh Djohan Sugondo pemilik perusahan karena tengah menanam ribuan pohon pisang di area tanah desa Pakel.
Alasan Pembenar Reklaiming
Lahirnya gerakan reklaiming dalam kasus di atas dilatari karena conditio sine qua non, yang dipicu oleh kejadian yang sama sebelumnnya yaitu, perampasan secara paksa hak atas kepemilikan sumber daya alam yang dikelola oleh rakyat selama berpuluh-puluh tahun.
Tipologi gerakan reklaiming sama sekali tidak dapat diidentifikasikan dengan upaya penjarahan lahan orang lain, karena mereka yang melakukan tindakan sesungguhnya merupakan korban dari penjarahan itu sendiri.
Pengertian reklaiming merupakan sebuah tindakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air dan sumber daya alam serta alat-alat produksi lainya secara adil demi terciptanya kemakmuran rakyat.
Setidaknya ada tiga alasan pembenar kenapa rakyat melakukan reklaim. pertama, alasan moralitas, tanpa memiliki pondasi moral yang kokoh, gerakan reklaiming akan kehilangan eksistensinya. Persoalan pilihan moral tidak dapat pandang secara kaku yang hanya berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan sosial pembangunan, tetapi harus pula dipertimbangkan posisi politis, sosial dan budaya dari kasus per-kasus yang dihadapi.
Gerakan moralitas reklaiming ini merupakan upaya untuk menentaskan kejahatan perampasan ruang hidup kepada yang lemah dan demi kepentingan lebih luas. Kedua, alasan ketidakadilan sistem, mayoritas penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh keberadaan masyarakat miskin. Kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas merupakan perwujudan dari hilangnya hak-hak atas ruang hidup bagi petani dan rakyat secara umum.
Berdasarkan catatatn Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68%, artinya 1% penduduk menguasai 68% tanah. Ketimpangan struktur agraria ini penanda bahwa sumber-sumber agraria sebagian besarnya dikuasai oleh oligarki yang tak menghendaki sistem reforma agraria yang adil.
Selama satu dekade terakhir (2009-2019) sedikitnya telah terjadi 3.447 konflik agraria seluas 9.201.429 hektar yang melibatkan 1.507.374 rumah tangga petani. Ketika ketidakadilan terakumulasi dalam suatu titik maka wujudnya berubah menjadi kekuatan yang kemudian mendorong dan menjadi alasan pembenar bagi rakyat untuk melakukan pemulihan dari kondisi yang penuh ketidakadilan tersebut.
Ketiga, alasan yurudis konstitusional, hubungan yang kuat antara gerakan reklaiming dengan pijakan yuridis konstitusional dapat dilihat dalam muatan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indinesia Tahun 1945. Yang menyatakan ”bumi air dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuh-penuhnya untuk kemakmuran rakyat”.
Amanah konstitusi tersebut menjadikan refleksi tentang sumber daya alam untuk kesejahteraan sosial, sedangkan dalam realitasnya negara tampak gagal membawa reforma agraria sejati, yakni melanggengkan konflik agraria yang berkelanjutan dan tanpa penyelesaian yang adil.
Rakyat dapat melihat, mendengar dan merasakan dan meneriakan bahwa selama ini ”bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan para politik pemburu rente. Atas dasar refleksi kefrustasian tersebutlah diperoleh gambaran secara jelas bahwa reklaiming adalah tindakan yang benar dan abasah menurut prinsip-prinsip demokrasi, konstitusi dan nafas reformasi.
Sehingga, atas nama rakyat, oleh rakyat dan untuk kedaulatan rakyat atas bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikembalikan kepada rakyat demi keadilan dan kemakmuran rakyat
Konflik Sebagai Keharusan dalam Reklaiming
Tidak sedikit masyarakat umum mencibir paradigma konflik dengan sebuah sumber bencana dalam lingkungan masyarakat. Konflik selalu dikonotasikan sebagai keadaan yang menghendaki ketidakteraturan, kekerasan dan membahayakan bagi masyarakat liyan.
Berbeda dengan pandangan tersebut, pendekatan kritis terhadap konflik lebih menempatkan sebagai suatu realita sosial dan bagian yang dibutuhkan dalam proses perubahan sosial. Mengutip pandangan Robert H. Lauer (1993) dalam karyanya yang berjudul “Prespektif Tentang Perubahan Sosial” bahwa konflik dipandang sebagai mekanisme yang mendorong perubahan, dan konflik berpengaruh efektif terhadap seluruh tingkat realitas sosial, serta mempunyai peranan penting dalam mensukseskan gerakan sosial.
Pada saat rejim Orde Baru berkuasa, rakyat dipaksa percaya bahwa konflik adalah sumber bencana. oleh karena itu wajah dari konflik senantiasa buruk atau memiliki makna negatif. Disatu sisi rejim Orba mempromosikan keharmonisan, namun pada waktu yang bersamaan memproduksi konflik untuk melanggengkan kekuasaanya. Hal ini tentu semakin membenarkan bahwa konflik sesungguhnya tidak bisa dilihat dari satu dimensi.
Dalam gerakan reklaiming justru dibutuhkan manajemen konflik, dalam artian rakyat/petani memainkan perananya sebagai subjek dalam konflik yang terjadi. Metode konflik untuk reklaiming ruang hidup tentu berbeda dengan metode konflik yang dimainkan oleh trah elite politik kekuasaan.
manajemen konflik dalam reklaiming didasarkan kepada kesadaran etis yang bertujuan untuk kepentingan kaum tani dan mencapai cita-cita bersama, sedangkan metode konflik yang dibuat oleh kepentingan elite politik rakyat hanya dijadikan sebagai obyek melalui manipulasi kesadaran yang bertujuan untuk kepentingan penguasa; posisi rakyat hanya sebagai pelumas mesin-mesin politik kekuasaan tanpa sadar dan justru berdampak pada pertempuran antar masyarakat horizontal.
Melalui rumusan konsep semacam itu, maka secara otomatis, konflik yang terjadi selalu berada dalam kendali moral, etika dan nilai-nilai yang luhur. Konflik menjadi satu keharusan yang berangkat dari kesadaran kritis kaum tani untuk merebut kembali keadilan agraria secara kolektif.