Kini sudah menjadi hal lumrah di tahun politik untuk mengumbar janji. Tentu saja tujuan dari perilaku semacam ini jelas, yakni meraih suara sebanyak-banyaknya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari perilaku ini. Namun haruskah elite politik mengorbankan integritas demi sebuah janji palsu? Tentu saja tidak.
Miris. Fenomena ini yang sering kali penulis jumpai dalam penuntasan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia.
Memang benar bahwa saat ini kita hidup di era reformasi, di mana seharusnya supremasi hukum dan birokrasi kian ditegakkan, mengingat agenda reformasi yang dulu dideklarasikan seluruh rakyat Indonesia. Namun sudahkah seluruh agenda reformasi diterapkan? Nyatanya belum.
Sesungguhnya terdapat 6 agenda reformasi yang dirumuskan atas dasar aspirasi rakyat, di mana rakyat menginginkan suatu perubahan struktural di bidang sosial-politik tanah air.
Sehingga dirumuskan berbagai tuntutan, yakni adili Soeharto dan kroni-kroninya, hapuskan dwifungsi ABRI, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, hapuskan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dan supremasi hukum.
Adapun di bidang hukum, salah satu tuntutan adalah keadilan atas dasar HAM. Sehingga aksi pemerintah era reformasi yang seakan ‘mengabaikan’ penuntasan kasus HAM jelas tidak dapat dipandang sebelah mata.
Miris. Bukan penyelesaian konkret yang dirasakan masyarakat, melainkan buaian politik praktis yang justru mengawang-awang dan tidak memiliki political will yang kuat dalam penyelesaian pelanggaran HAM.
Ironis. Penuntasan kasus HAM yang sering kali dijanjikan penguasa hanyalah janji palsu belaka. Jika kita menelusuri lebih jauh, kita akan paham bahwa aksi perjuangan penuntasan kasus HAM di Indonesia tak pernah lekang oleh waktu. Setidaknya itulah yang penulis lihat melalui Aksi Kamisan.
Aksi Kamisan merupakan reaksi dan kritik sosial terhadap pemerintah yang tak kunjung menyelesaikan kasus HAM. Aksi ini merupakan wadah bagi pegiat HAM masa kini yang terus berjuang demi tegaknya keadilan dan supremasi hukum di Indonesia.
Aksi yang kini berusia 12 tahun, nyatanya belum mampu ‘mendobrak’ tirai besi, tirai besi yang selama ini menghambat pengusutan kasus-kasus HAM di masa lampau.
Memang terdapat banyak faktor yang menyebabkan lambannya pemerintah dalam mengusut kasus HAM di masa lampau. Namun, jika benar pemerintah dan elite politik mengaku kesulitan mengusut kasus HAM, untuk apa mengumbar janji dan citra?
Karena semua itu tidak ada gunanya, kecuali dibuktikan dengan kerja nyata.
Seperti Maria Sumarsih, salah seorang penggagas Aksi Kamisan sekaligus ibunda korban pelanggaran HAM pada peristiwa Semanggi, seperti kawan-kawan aktivis HAM lainnya, ia terus berjuang mendorong pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM di masa lalu. Tidak pernah sekalipun kata menyerah keluar dari tuturnya.
Meskipun harapan terlihat tipis, ia tetap berusaha ‘mengingatkan’ rezim ini untuk menegakkan keadilan sepenuhnya. Ia tidak seperti politisi pada umumnya yang gemar mengumbar janji-janji kampanye, tetapi mudah sekali janji-janji tersebut ‘menguap’ dalam ingatan mereka sendiri.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita akan lupa dengan pembantaian 1965, peristiwa Trisakti, Semanggi, serta pembunuhan aktivis HAM Munir? Jelas tidak, bukan?
Karena sesungguhnya mereka adalah manusia yang layak disebut “pejuang kemanusiaan”. Mereka yang tak takut menghadapi ajal serta gigih menyuarakan kebenaran dan keadilan merupakan tokoh yang patut ditiru.
Untuk itu perlu adanya peran serta seluruh komponen bangsa dalam mendorong upaya penuntasan kasus HAM serta ‘menekan’ pemerintah untuk segera merealisasikan janjinya dalam koridor demokrasi.
Upaya konkret yang dapat kita lakukan sebagai ‘penghuni’ ruang publik adalah membuat narasi-narasi yang mendorong terciptanya keadilan dan supremasi hukum, baik di media sosial maupun diskursus-diskursus yang terjadi di sekitar kita.
Misalnya, dengan menciptakan suatu ‘social awareness’ terhadap kondisi HAM di sekitar kita; serta dengan aktif menyuarakan pendapat di ruang publik, sehingga setiap orang ‘melek’ terhadap kondisi supremasi hukum yang sebenarnya di tanah air.
Sebagai masyarakat dari sebuah bangsa yang beradab, kita perlu menciptakan suatu iklim hukum yang baik, mmulai dari penuntasan kasus HAM di masa lalu, hingga mendorong terciptanya suatu wadah hukum yang mendukung asas-asas kemanusiaan.
Sehingga, sebagai suatu bangsa yang berideologi Pancasila, kita tidak hanya menghafal dan ‘tahu’ isi Pancasila, tetapi mengaplikasikannya dalam kehidupan berdemokrasi.
Akhir kata, bangsa ini tidak pantas melupakan mereka yang bergelut dalam koridor demokrasi, memperjuangkan keadilan dan humanisme di tengah ganasnya gelombang ketidakadilan dan tirani. Namun, jika penguasa tetap melupakan mereka, biarlah.
Setidaknya saya akan terus menulis agar nama mereka tercatat abadi di ruang publik. Sehingga setiap individu yang membaca akan mengenang “mereka” yang pernah berjuang demi tegaknya keadilan dan kebebasan di republik ini. Merdeka!
Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. ― United Nations, Universal Declaration of Human Rights