Saat teriakan ‘ketidakadlilan agraria’ berbunyi nyaring di muka publik, isu tentang ketimpangan kepemilikan tanah kerapkali menghiasi laman website atau tema diskusi. Dalam skala yang lebih praktis, tidak jarang sekelompok orang datang ke Kantor Kementerian ATR/BPN, tuntutannya hanya satu: tolong berikan perhatian pada masalah pertanahan yang sedang kami hadapi.

Realitas masyarakat Indonesia memang menghadapi satu dilema pelik, bukan saja masalah merebaknya intolerasi keagamaan, tetapi juga karena ada masalah intoleransi bidang agraria. Tak jarang orang sampai ‘pedang-pedangan’ larut terbuai dalam sengketa dan konflik agraria. Masih hangat dalam ingatan tahun 2018, peluru tajam bersarang di dada seorang warga desa Patiala Bawa Sumba Barat karena konflik agraria.

Kita memang punya pekerjaan rumah bagaimana mengelola kekayaan alam secara berkeadilan. Pada titik itulah, Reforma Agraria menjadi isu yang hangat diperbincangkan sebagai suatu harapan untuk menyelesaikan sengketa dan konflik agraria.

Reforma Agraria yang sejatinya adalah proses restrukturisasi penguasaan tanah dan kekayaan alam yang timpang sehingga terjadi perubahan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) itu lantas dikemas oleh Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Dengan meneguhkan Reforma Agraria dalam satu kerangka hukum, Perpres ini telah menjadi angin segar bagi mereka yang fakir akses dan miskin power supaya bisa lepas dari jerat ekonomi yang selama ini mengikat. Tentu saja, muara akhirnya adalah keadilan agraria sehingga terwujud kemakmuran masyarakat.

Setelah 4 Tahun Perpres Reforma Agraria

Setelah Pemerintah berhasil melaksanakan reforma agraria sampai tahun 2019, target reforma agraria sebesar 9 juta hektar akan dilanjutkan pada tahun 2020- 2024. Langkah taktis yang dilakukan oleh pemeritah ialah dengan melakukan penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria, termasuk melalui pelepasan kawasan hutan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan pelaksanaan redistribusi tanah untuk pengembangan Kawasan transmigrasi dan pemberian sertipikat tanah (legalisasi aser) untuk kawasan transmigrasi yang menempati tanah sebelum tahun 1998.

Upaya dan kerja keras pemerintah terus berjalan hingga hari ini dengan capaian eksponensial. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian ATR/BPN, capaian Reforma Agraria dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tahun 2020-2024 pada Legalisasi Aset yang mengatur soal tanah transmigrasi dan persertipikatan tanah masyarakat secara sistematis telah mencapai 4.140.028 Ha (92%). Masih menyoal reforma agraria, capaian dalam redistribusi tanah yang mengatur tentang redistribusi pada tanah Ex-HGU, tanah terlantar dan tanah negara lainnya serta pelepasan Kawasan hutan telah mencapai 1.478.496,57 hektar (32,85%).

Dalam data yang disajikan, akhirnya kita tahu bahwa ada kesungguhan dari pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria sehingga terbukti capaian redistribusi tanah tahun 2014-2022 (7 tahun) memiliki angka yang lebih baik bila kita bandingkan dengan capaian tahun 1961-2014 (53 tahun). Bagaimana tidak? 1,47 juta hektar telah diredistribusi dalam kurun waktu 7 tahun di saat pemerintahan 53 tahun sebelumnya hanya mencapai 2,4 juta hektar.

Pendek kata, tanpa mengurangi rasa hormat dan takjub saya pada pemerintahan di masa lalu, capaian redistribusi tanah sampai akhir tahun 2022, kiranya saya bisa sampaikan bahwa Pemerintah berada pada jalur yang on the right track.

Kolaborasi untuk Negeri dalam Penyelesaian Sengketa dan Konflik

Dalam praktiknya proses pelaksanaan reforma agraria tidak terjadi secara ‘simsalabim’, ada sejumlah hambatan yang menghalangi proses pelaksanaannya. Sehingga penyelesaiannya bukan hanya dibutuhkan seorang yang paham mengenai selub-beluk pertanahan, tetapi juga seorang problem solver yang persuasif dan mampu mengorganisir berbagai kelompok kepentingan.

Sebutlah konflik agraria di Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan Jawa Timur, yang menjadi obyek redistribusi tanah yang selama ini dikuasai, digarap dan atau dimiliki masyarakat secara turun-temurun sejak tahun 1923, namun terdapat sengketa batas dengan kawasan hutan sehingga masyarakat tidak bisa melakukan proses sertifikasi tanah.

Anda tidak salah baca, benar, sejak tahun sembilan belas dua puluh tiga alias 99 tahun yang lalu mereka berkonflik. Kini, tanah seluas 97,972 hektar yang dihuni oleh 243 (dua ratus empat puluh tiga) keluarga tersebut akhirnya selesai dalam hitungan bulan.

Mari kita cek konflik agraria yang lain, sebutlah konflik antara Suku Anak Dalam (SAD) 113 dengan sebuah perusahaan di Batanghari, Jambi. Konflik yang terjadi sejak tahun 1986 ini bermula karena HGU terbit mendahului pelepasan Kawasan hutan. Ironisnya, sejumlah oknum dari perusahaan justru malah menggeser patok HGU perusahaan dari patok batas HGU awal. Alhasil konflik antara SAD 113 dengan perusahaan tak terhindarkan. Tapi syukurlah, per awal Desember kemarin, kasus yang mandeg selama 36 tahun itu akhirnya selesai.

Namun menjadi pertanyaan kemudian ialah mengapa hal itu bisa selesai? Bagaimana proses yang dilakukan?

Pimpinan tertinggi yaitu Menteri ATR/BPN memimpin secara langsung pertemuan dengan Forkompimda (Forum Koordinasi Pimpinan Daerah) di daerah dalam mencari solusi penyelesaian. Dalam hal ini nampak dengan terang ada political will berupa sinergitas yang baik dibangun antara Kanwil ATR/BPN dengan Pemerintah Provinsi dan Civil Society Organization (CSO) menjadi pondasi utama dalam penyelesaian konflik yang dipimpin secara langsung oleh pimpinan tertinggi.

Dalam penyelesaian konflik ini saya belajar bagaimana pimpinan tertinggi dengan willingness to solve berhasil mengkonsolidasikan dan menyamakan orientasi dalam penyelesaian kasus diantara berbagai stakeholders. Keberhasilan penyelesaian konflik terjadi karena keberhasilan mengubah paradigma untuk keluar dari kungkungan penyelesaian secara sektoral, namun sebaliknya, justru melakukan kerja sama lintas sektoral.

Secercah Harapan Keadilan Agraria

Segudang sengketa dan konflik agraria di berbagai daerah menunggu proses penyelesaian secara win-win solution untuk keadilan agraria di bumi pertiwi. Saya meyakini tahun mendatang akan menjadi tahun yang indah untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria sebagai suatu program strategis pemerintah.

Pelajaran yang saya petik di awal tahun ini menjadi refleksi tersendiri buat saya untuk tidak boleh lelah dan letih dalam mewujudkan keadilan agraria. Untuk itu, upaya yang solid melalui konsolidasi dan komunikasi yang baik untuk menyamakan orientasi penyelesaian kasus secara kolaboratif harus terus dihidupkan demi keadilan agraria yang mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah.