Kampus adalah salah satu awal bagi para pemuda/i untuk mulai belajar berpolitik. Kampus juga bisa dikatakan sebagai salah satu miniatur arena berpolitik di tingkat negara. Meskipun demikian, ada satu hal yang harus membedakan politik kampus (dalam hal ini di tingkat mahasiswa/i) dengan politik negara, yakni kampus harus menjadi lembaga independen yang bersih dan jujur di mana mahasiswanya bisa bebas berekspresi, belajar, dan mengaktualisasikan diri.

Kenyataannya, politik kampus sebagai politik bebas, jujur, dan bersih tidak terjadi di sebagian besar kampus, khususnya kampus negeri di Indonesia. Politik kampus hari ini mungkin telah banyak bergeser daripada politik kampus pada masa berjayanya di era reformasi.

Dominasi Kelompok yang Menahun

Hari ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat sebuah kelompok yang mendominasi jalannya pemerintahan atau kegiatan-kegiatan politik di tingkat mahasiswa. Mereka biasanya menjadi elit mahasiswa, dengan mengisi posisi-posisi strategis di tingkat mahasiswa.

Kelompok yang mendominasi sudah pasti memiliki ideologi tertentu. Pada akhirnya, ideologi ini bisa menjamur dan menyebar karena keberhasilan kelompok ini dalam memperjuangkan nilai-nilai dan ideologinya. Hal ini membuat pihak-pihak yang didominasi menjadi diam dan taat karena mereka seolah sudah terbiasa dan menganggap ideologi tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Antonio Gramsci menyebut hal ini sebagai sebuah istilah: hegemoni.

Pengaruh hegemoni yang terjadi di tingkat kampus sangat kuat. Jika seseorang memutuskan untuk menjadi bagian dari kelompok yang mendominasi, maka orang tersebut berwajiban mematuhi segala hal yang berkaitan dengan keputusan kelompok.

Jika orang itu pada kemudian hari berbeda pendapat dengan kelompoknya, maka ada beberapa konsekuensi yang harus diterima, mulai dari sanksi sosial berupa cibiran dari teman sekelompoknya, sampai yang paling pahit adalah tidak lagi dianggap dan dikeluarkan dari kelompoknya.

Hal ini menjadi parah ketika sistem politik kampus di tingkat mahasiswa tidak menganut sistem kepartaian. Semua menjadi samar, karena lawan bersikap seolah menjadi kawan dan yang dianggap kawan ternyata adalah lawan. Selain itu, hal yang membuatnya demikian parah adalah ketika kelompok ini tidak ragu menggunakan isu SARA, khususnya agama, dalam praktik berpolitik mereka.

Penulis sendiri setuju bahwa sebagai orang yang beragama, agama adalah pegangan dan pedoman hidup sehingga agama harus dibawa ke manapun kita berada. Agama memang harus dibawa-bawa dalam perbuatan, tapi bukan untuk dikomersilkan, seperti yang seolah terjadi saat ini.

Implikasi Kelompok yang Mendominasi

Terdapat beberapa implikasi dari adanya kelompok yang mendominasi ini:

1. Bukan kompetensi yang diutamakan, melainkan kelompok

Adanya kelompok yang mendominasi dalam sebuah sistem pemerintahan, membuat demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Kelompok yang mendominasi ini biasanya menjadi salah satu jalan untuk mencapai kekuasaan. Artinya, mahasiswa yang berada di luar kelompok yang mendominasi akan terus dikuasai dan tidak dapat terlibat dalam sistem pemerintahan.

Meskipun mahasiswa lain di luar kelompok mendominasi memiliki kompetensi yang sangat prima, mereka akan tetap sangat sulit untuk masuk ke dalam sistem. Ini juga mengakibatkan mahasiswa lain di luar kelompok mendominasi menjadi tidak dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik.

2. Minimnya partisipasi politik dari mahasiswa (banyak golput)

Kelompok yang mendominasi dianggap hanya menomorsatukan kepentingannya dan tidak memperhatikan kebutuhan sebenarnya dari mahasiswa/i di kampus. Kebijakan-kebijakan dari para pejabat di tingkat organisasi mahasiswa dianggap tidak berpengaruh terhadap kehidupan para mahasiswa sebagai warga kampus.

Para mahasiswa yang dipimpin kemudian menjadi jenuh, acuh dan banyak yang memilih untuk menjadi golput dalam pemilihan pemimpin mahasiswa di tingkat kampus. Mereka memilih untuk “bodo amat” karena siapapun pemimpinnya, tidak membawa perubahan bagi mereka. Artinya, adanya kelompok mendominasi yang sudah menahun di kampus membuat kesenjangan antara kelompok mendominasi (kelompok yang berkuasa) dengan kelompok yang dikuasai.

3. Hilangnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa/i

Poin ini adalah salah satu dampak paling fatal dari adanya kelompok yang mendominasi di kampus. Hilangnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa, salah satunya dikarenakan para mahasiswa yang berada di dalam kelompok yang mendominasi diwajibkan untuk mengikuti arahan dari kelompoknya. Mereka tidak lagi kritis untuk bisa menilai mana yang sebenarnya benar dan tidak. Bagi mereka, semua yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh kelompoknya adalah kebenaran.

Hal ini sebenarnya juga bisa dilihat dari program-program yang dibuat oleh organisasi-organisasi di tingkat mahasiswa, yang cenderung hanya meneruskan apa yang telah dilakukan oleh pengurus sebelumnya. Jika pengurus sebelumnya berasal dari satu kelompok, maka hal ini bisa jadi dianggap bahwa pengurus sebelumnya telah melakukan sesuatu yang benar.

Hari ini kita juga sudah jarang menyaksikan para mahasiswa turun langsung ke masyarakat atau paling tidak ke sesama mahasiswa/i dan menyampaikan aspirasi mereka sesuai dengan kondisi lapang sebenarnya.

Organisasi mahasiswa saat ini mulai tampak tak ada bedanya dengan organisasi siswa yang mengadakan acara-acara saja, hanya meneruskan apa yang pengurus sebelumnya telah lakukan, tanpa banyak melakukan kajian kritis tentang permasalahan yang sedang melanda kampus dan bangsa ini.

Kampus-kampus di Indonesia, tidak jarang juga banyak menghadirkan artis-artis papan atas ibu kota dalam acara-acara mereka. Hal itu bukan berarti salah, melainkan berarti para mahasiswa belum dapat berpikir lebih kreatif untuk mengoptimalkan dan menampilkan potensi (seni, dll.) dari para mahasiswa itu sendiri sehingga memilih untuk mendatangkan orang luar atau artis ke kampusnya.

Daya kritis dan kreativitas yang hilang juga dapat terlihat dari kegagalan para mahasiswa yang menjabat di organisasi mahasiswa untuk menempatkan porsi perempuan secara adil dalam pemerintahan.

Pola pikir konservatif bahwa laki-laki-lah yang seharusnya memimpin, masih dirasakan di tingkat kampus, bahkan kampus dengan mayoritas mahasiswanya adalah perempuan atau mahasiswi. Keadilan gender dalam sistem pemerintahan mahasiswa saat ini belum sepenuhnya bisa dirasakan.

Faktor Lain

Meskipun demikian, harus diakui bahwa kelompok yang mendominasi memang bukan satu-satunya penyebab dari hilangnya daya kritis dan kreativitas mahasiswa saat ini. Beberapa hal yang memperparah adalah penerapan presensi (kehadiran) 80-100%, tugas yang membludak, sistem pembayaran UKT, dan lain-lain.

Mahasiswa akan banyak berpikir ulang untuk mengaktualisasikan diri di organisasi mahasiswa, karena: 1) malas bergelut dengan kelompok mendominasi yang sudah menjemukan, 2) disibukkan dengan berbagai tugas dan kegiatan akademik lain.

Tugas mahasiswa memang belajar, tapi belajar bukan hanya bisa didapatkan di ruang kelas, melainkan bisa di manapun. Alih-alih mendapat kebebasan karena menyandang gelar ‘mahasiswa’, mereka justru dibatasi oleh berbagai kegiatan akademik yang membelenggu. Parahnya, mereka juga menjadi punya keterbatasan waktu untuk membaca buku secara komprehensif.

Yang mereka tahu adalah sekadar membaca slide powerpoint dan kisi-kisi soal untuk Ujian Tengah atau Akhir Semester. Bagaimana nasib masa depan suatu bangsa, jika pemuda/inya tidak membaca secara utuh?

Banyak hal lain, yang menjadi dampak turunan dari adanya kelompok mendominasi di tingkat kampus. Jika disimak dari awal tulisan ini, maka kita akan mendapati bahwa apa yang tertuang di tulisan ini juga dapat dijumpai pada kondisi politik di tingkat negara.

Penulis tidak heran jika pada akhirnya, terdapat kekacauan di sistem politik tingkat negara. Hal ini salah satunya disebabkan karena para pelakunya mungkin sudah terbiasa menganut sistem politik yang tidak pas semenjak mereka menjadi mahasiswa/i. Mereka kerap kali berujar, “Tapi beginilah cara berpolitik....” Pertanyaannya, apakah memang begitu cara berpolitik atau apakah kita hanya sudah terbiasa saja dengan sistem politik yang tidak pas itu?

Dengan demikian, penulis juga tidak heran jika banyak pihak ditangkap karena adanya dugaan kasus korupsi, tetapi mereka (pihak yang ditangkap tsb.) tidak tahu bahwa ternyata yang mereka lakukan adalah korupsi. Mereka mungkin memang berkata yang sebenarnya bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka lakukan.

Namun demikian, hal itu bukan berarti mereka tidak melakukan apa-apa, tetapi mereka mungkin sudah terbiasa melihat dan melakukannya sejak lama sehingga menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.

Pelajaran Berharga

Jika hal ini terus menerus dibiarkan, Indonesia akan miskin kaderisasi pemuda-pemudi berkualitas yang kritis dan tulus untuk membangun bangsa ini kedepannya. Politik hanya akan menjadi ajang mencari kekuasaan, bukan ajang pengabdian.

Tulisan ini adalah hasil refleksi dan apa yang dirasakan penulis ketika penulis pernah terlibat dalam dinamika dan arus hegemoni di tingkat kampus. Tulisan bisa menjadi salah satu dokumentasi bahwa pada tahun 2014, hal ini pernah terjadi pada sistem politik kampus di tingkat mahasiswa.

Melalui tulisan ini penulis juga ingin membagi pelajaran berharga, khususnya kepada para pemuda/i yang nantinya akan berkiprah di kancah politik Indonesia untuk: selalu belajar, bebaskan pikiran dan tindakan kita dari belenggu suatu kelompok tertentu. Pastikan kita jujur mengikuti hati nurani dan berpihak pada kebenaran, pada mereka yang perlu dipihaki, bukan pada mereka yang punya tahta dan harta saja.

Terbukti, orang yang bebas dari belenggu kelompok akan lebih berhasil dalam membangun, seperti Kang Ridwan Kamil dan Ibu Tri Rismaharini. Meskipun Ibu Tri Rismaharini berada dalam partai, tetapi jika ada kebijakan partai yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, dia akan tetap memilih hati nuraninya.

Jadi kepada seluruh pemuda pemudi di bumi pertiwi, perbanyaklah membaca, ikutilah kata hati, bukan pada kelompok, partai atau politisi. Dan jangan lupa: berpihaklah pada mereka yang perlu diberpihaki.