Saya akan memulai pembahasan ini dengan pertanyaan yang menjadi rumusan masalah pada topik ini. Apakah sebenarnya fungsi agama? Apakah agama menjadikan manusia lebih bermoral? Apakah untuk manusia bisa merasakan kenikmatan surgawi? Apakah agama menjadikan manusia makin cerdas? Atau agama membuat manusia merasa ketakutan akan kuasa Tuhan?
Pertanyaan tersebut muncul dari benak saya ketika saya melihat banyaknya konflik yang disebabkan oleh cara pandang dan tafsir yang berbeda-beda mengenai agama di negara kita ini. Seolah-olah setiap pihak meyakini bahwa pihak lainnya berada di posisi yang salah bahkan tersesat pandangannya.
Apabila kita menelusuri sejarah, sebenarnya konflik terkait agama sudah terjadi sejak era awal agama muncul. Dari perang salib yang pecah sejak abad 11 hingga kasus terorisme pada abad 21 sekarang ini seolah memberi pandangan kita bahwa konflik antar manusia yang membawa nama agama dan Tuhan tak pernah selesai.
Agama yang diyakini berasal dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang justru banyak menyebabkan penderitaan, kematian, dan teror. Ironisnya, para pelakunya justru meyakini yang mereka lakukan itu demi nama Tuhan, demi kebenaran agama, bahkan demi surga yang mereka idamkan.
Banyaknya fenomena tersebut akhirnya mengundang banyak kaum intelektual menyampaikan kritik-nya terhadap religiusitas. Salah satunya adalah seorang filsuf dari Jerman, Friedrich Nietzsche, yang mengatakan bahwa manusia yang percaya pada agama dan Tuhan adalah ciri dari manusia yang bermental budak.
Apabila Nietzsche mengkritik cenderung pada sisi kemanusiaan, seorang Ilmuwan bernama Richard Dawkins membuat kritik keras terhadap agama. Dawkins menganggap agama itu adalah dogma yang bersifat delusif sehingga bisa menyebabkan orang melakukan kekejian dengan mengatasnamakan Tuhan.
Richard Dawkins memposisikan dirinya sebagai seorang ateisme militan dengan menolak kepercayaan pada Tuhan dan menganggap agama sebagai kepercayaan yang membodohkan manusia. Lalu apakah dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa agama benar-benar sumber masalah?
Hal seperti ini sebenarnya patut diperhatikan bagi para pemeluk agama sebagai jalan untuk menguji diri dan keimanannya supaya dirinya mengalami purifikasi sehingga otentisitas imannya terjaga. Maka dari itu, sebagai titik pijak, kita harus merefleksikan lebih dalam antara Agama, Kemanusiaan, dan Ketuhanan.
Kegiatan refleksi adalah kemampuan eksistensial kita sebagai manusia. Dengan akal budi yang sudah dianugerahkan kepada kita, kita tak hanya mampu mengenali dunia tempat kita dilahirkan. Kita juga mampu merenungkan apa-apa saja yang mengenai diri kita untuk mendapatkan apa yang kita sebut sebagai “makna”.
Kita tak akan pernah keluar dari diri rasio subjektivitas kita selama kita hidup, Maka dari itu “makna” ada hal yang paling esensial di dalam subjektivitas manusia, meskipun representasi nilai dari makna bisa berbeda-beda pada seseorang. Lalu bagaimana kita memandang agama dalam posisinya di antara kemanusiaan dan ketuhanan.
Dalam refleksi antara Agama, Kemanusiaan, dan Ketuhanan, kita akan memulai dengan membedakan antara agama, manusia, dan Tuhan. Dengan memberikan ruang distingsi secara khusus pada tiga aspek tersebut, kita bisa melihat duduk permasalahan dan akar permasalahannya lebih jernih.
Agama bisa dipahami sebagai sebuah sistem dan atribut identitas individu maupun kolektif yang memuat epistemik mengenai cara pandang kehidupan dan cara-cara menjalani kehidupan yang baik dan benar sesuai dengan ajarannya. Agama sebenarnya juga tak lepas korelasinya dengan kebudayaan, karena agama terbentuk dari budaya dan agama membentuk budaya.
Kemanusiaan (humanism) adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa manusia adalah titik pusat yang menjadi subjek dari segalanya. Manusia sebagai makhluk yang harus diutamakan kemaslahatan hidupnya. Maka dari itu, harkat dan martabat manusia harus menjadi tanggung jawab bersama-sama sesama manusia.
Tuhan dalam konteks ini bisa kita pahami sebagai suatu dzat tertinggi yang mendasari dan menciptakan segala sesuatu. Kekuasaan Tuhan bersifat absolut dan tidak bisa diganggu gugat. Tuhan adalah sang pencipta yang menghendaki adanya manusia dengan segala keutuhannya. Tuhan memberikan petunjuk pada manusia berupa kitab suci dan akal budi manusia.
Pada umumnya ketiga hal tersebut memiliki hubungan yang dialektis. Agama dianut oleh manusia, manusia diciptakan oleh Tuhan, Tuhan menurunkan wahyu, wahyu diajarkan oleh agama, dan seterusnya. Pertama harus disadari bahwa kebenaran pernyataan relasional tersebut bersifat kebenaran logis (rasional).
Kebenaran logis artinya benar apabila sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir secara nalar. Berbeda dengan kebenaran objektif yang mempersyaratkan adanya objek di luar diri subjek yang menjadi titik tolak kebenarannya. Sedangkan, proses pewahyuan dan Tuhan tidak bisa kita saksikan secara objektif.
Permasalahan sering kali terjadi ketika ada manusia yang salah menempatkan dirinya dalam beragama dan ber-Tuhan. Mereka yang menolak refleksi kritis atas ajaran agama dan cara pandang terhadap Tuhan akan merasa hanya dengan percaya secara buta (tanpa kekritisan), mereka telah menjadi manusia religius yang ber-Tuhan secara benar.
Mereka yang menolak penalaran tersebut disebut kaum fideisme. Kaum fideisme menganggap agama dan ketuhanan tak perlu dipikirkan secara rasional dan cukup diyakini saja. Pandangan ini cenderung berisiko menghilangkan fungsi kritis akal budi manusia. Justru akan terdengar mengerikan apabila Tuhan menciptakan kita dengan akal namun tak ingin kita menggunakannya,
Untuk menolak penolakan atas penalaran agama dan Tuhan, izinkan saya menawarkan sebuah proposisi antara peran kita sebagai manusia dalam merefleksikan agama dan ketuhanan. Proposisi ini adalah titik awal penulis untuk merenungkan dan mempelajari lebih dalam tentang ajaran-ajaran agama dan bagaimana memahami Tuhan secara lebih dalam.
Intinya adalah bahwa agama harus kita posisikan kebenarannya dalam kehidupan eksistensial kita sebagai kebenaran pragmatis. Artinya, ajaran agama itu benar apabila berguna dan bermanfaat secara praktis bagi penganutnya. Karena agama berisi ajaran tentang moral, artinya kebenaran agama itu terletak pada pemeluknya dalam bertindak dengan mematuhi hukum moral.
Kisah-kisah dan sistem peribadatan dalam kitab suci juga dimaknai kebenarannya berada pada praktik moralitas pembacanya. Kebenaran mistis dalam agama tak perlu diperdebatkan kebenarannya secara korespondensif (benar apabila ada kesesuaian antara pernyataan dan objek konkritnya).
Bukan berarti tak perlu dipelajari. Justru ajaran dan kisah-kisah mistis dalam agama bisa ditafsirkan secara tak habis-habisnya untuk disesuaikan pada situasi dan kondisi pemeluknya. Pada akhirnya juga kitab suci tak akan tertelan oleh zaman yang semakin maju dan beragama tetap bisa menjadi pilihan yang rasional bagi umat manusia.
Selanjutnya, kebenaran akan Tuhan adalah sesuatu yang hanya bisa kita pahami melalui jalur iman transendental. Iman transendental bisa diartikan iman yang amat mendalam, melampaui, dan suprarasional. Soren Kierkegaard mengatakan bahwa Tuhan adalah ketidakpastian yang absolut (absolut uncertainty), maka beriman adalah berani bertahan dalam ketidakpastian.
Kesimpulannya, agama bertujuan untuk menuntun manusia beriman pada Tuhan, sehingga manusia mampu memanusiakan manusia sebagai sesama makhluk yang ber-Tuhan dengan cara memeluk sebuah agama.