Tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf tiba-tiba melontarkan kalimat menarik. Ia sepakat Aceh melakukan referendum dengan opsi tetap dalam NKRI atau berpisah dari Indonesia.
Pemikiran itu sejalan dengan artikel saya, Jakarta Kacau-Balau, Aceh Merdeka. Apakah ini pertanda bahwa diskursus Aceh Merdeka merupakan bentuk kekecewaan Aceh terhadap pusat?
Diskursus ini kembali menarik dibicarakan pasca hasil pileg yang menggambarkan partai lokal mulai dihabisi partai nasioanl. Apakah diskursus referendum sebatas isu yang perlu diangkat guna mengembalikan suara partai Aceh?
Bisa jadi benar, bisa jadi salah. Yang pasti, mayoritas rakyat Aceh ingin pemimpin baru. Setidaknya kekalahan telak Jokowi di Aceh merupakan bukti nyata. Tak bisa dimungkiri, realitas rakyat Aceh ingin new president.
Tuduhan Islam garis keras tidaklah masuk akal. Pasalnya, tidak ada partai Islam yang menang di Aceh. Malah partai berbasis nasionalis yang lebih unggul dibandingkan partai Islam.
Realitas itu sekaligus membantah isu agama yang menjadi landasan rakyat Aceh memilih Prabowo ketimbang Jokowi. Dan ketika pusat sibuk dengan 'drama' politik, Muzakir Manaf menghembuskan wacana referendum.
Kabar gembira itu disambut beragam. Ada yang pro dan tak sedikit yang meremehkan. Pusat (Jakarta) boleh setuju dan halal tak setuju, sebaiknya referendum untuk Aceh diberikan. Alasannya sederhana, Jakarta harus membuktikan bahwa kepemimpinan mereka sukses selama ini.
Jakarta sudah sukses membuat rakyat Aceh mencintai kebersamaan bersama Indonesia. Melalui referendum, pemerintah pusat dapat mengukur diri, apakah program reintegrasi Aceh yang miliaran sukses 'mencuci' otak rakyat Aceh.
Saya tetap yakin, pusat bakal menolak memberikan referendum for Aceh, kecuali sumber daya alam Aceh sudah habis. Selama masih banyak, selama itu pula referendum hanya sebatas wacana.
Karenanya, elite Aceh maupun intelektual Aceh harus lebih sering bersuara. Lebih proaktif menyuarakan keinginan rakyat Aceh. Sejenak elite Aceh menyatukan visi, buang dengki sesama, lupakan perbedaan parpol. Jika hanya berharap dari pusat, maka sama saja dengan berharap pelangi muncul di siang terik.
Situasi politik Indonesia hari ini memberi peluang. Jika tidak sekarang, sulit rasanya akan ada peluang lagi. Memaksimalkan peluang merupakan ciri manusia cerdas.
Menurut saya, elite Aceh mampu menggerakan massa, memiliki jaringan luar negeri, termasuk PBB dan media asing. Rakyat Aceh dapat mengundang media asing dan nasional dalam rangka penyampaian aspirasi, dalam rangka menuntut referendum.
Jika rakyat abstain karena kecewa pada elite Aceh, maka wacana referendum bisa segera dimuseumkan. Rakyat sudah bisa menyudahi wacana itu, termasuk para elite Aceh. Jangan lagi 'jualan' isu referendum dan Aceh Merdeka.
Namun bila rakyat Aceh masih ingin, maka wacana itu harus dimatangkan. Menurut saya, Muzakir Manaf mampu melakukan itu. Hal itu bisa dimulai dengan kongres rakyat Aceh. Inisiasi kegiatan bisa dimulai dengan kompromi partai lokal.
Partai Aceh, PNA, PDA, Partai Sira, bersatu guna menginisiasi desakan referendum. Gerakan politik ini halal di dalam negara demokrasi, bukan makar.
Kalau kemudian ditafsirkan sebagai makar, maka menambah keyakinan bahwa rezim sedang berdendang tiran dengan musik demokrasi. Bait-bait tiran akan suka menangkap, mengeksekusi perbedaan pandangan. Tentu saja darah masih merah, Jenderal, namun jangan tumpahkan untuk syahwat politik oligarki.
Pertanyaan mendasar yang hingga kini belum mampu dijawab pusat ialah: sudahkah demokrasi ditegakkan di Aceh? Jika sudah dan sedang dilakukan, mengapa takut memberikan referendum sebagai salah satu mekanisme demokrasi?
Apa sih yang membuat pusat enggan melaksanakan referendum untuk Aceh? Toh hasil referendum akan menguntungkan pusat. Mayoritas rakyat Aceh dipastikan tetap ingin bersama Jakarta.
Silakan lakukan survei awal untuk menjajaki suara keinginan rakyat Aceh. Bisa dipastikan, 60 persen rakyat Aceh dukung integrasi, dan selebihnya memilih merdeka. Terlepas soal hasilnya, pemerintah pusat harus berani jujur, apa kendala tidak melaksanakan referendum untuk Aceh.
Barangkali pusat balik bertanya, urgensi referendum untuk Aceh apa? Nah, jawaban urgensinya referendum bagi Aceh ialah agar wacana itu tidak lagi muncul, sebagaimana Wales melaksanakan referendum.
Saya kira hasil referendum Wales dan Aceh bakal sama. Hanya Jakarta saja yang terlalu berlebihan menggambarkan Aceh.
Padahal, jika tahun 2020 dilaksanakan referendum untuk Aceh, pusat tidak akan rugi karena rakyat Aceh merasa didengarkan aspirasinya. Bukankah referendum yang dilaksanakan Timor Leste tidak merugikan pemerintah pusat? Barangkali yang paling dirugikan adalah para bohir yang mengeksploitasi sumber daya.
Pemerintah pusat pasti tak mau patuh pada bohir. Pemerintah pusat pastinya ingin rakyatnya bahagia. Jika melaksanakan referendum dapat membahagiakan rakyat Aceh, mengapa tidak dilaksanakan?
Ruang demokrasi jelas mendukung referendum, kecuali, sebagaimana yang saya ungkap di atas, kita menuju negara demokrasi rasa tiran. Sebuah demokrasi yang kaku, demokrasi yang sesuai dengan keinginan segelintir orang, diatur beberapa orang, dan untuk keuntungan segelintir orang pula.
Selamat berjuang, rakyat Aceh.