Hoaks tentang pengeroyokan Ratna Sarumpaet benar-benar gila. Tidak saja mengundang keributan di kalangan warganet, antarpolitisi negeri inipun ikut tenggelam, kacau balau, hingga saling tikam dengan komentar.

Awalnya, seperti Ratna akui sendiri, hoaks tentang pengeroyokan dirinya itu beredar terbatas hanya di kalangan keluarganya saja. Anaknyalah yang pertama sekali mendapat informasi bohong seperti itu bahwa dirinya benar sebagai korban pemukulan massal alias pengeroyokan.

Dari keluarga, hoaks itu lalu berkembang ke teman-teman dekatnya, dalam hal ini Prabowo Subianto dan tim. Informasi awal Ratna ke teman-temannya inilah yang kemudian mengundang pelbagai media sosial dan massa menampilkan pemberitaan tentang pengeroyokan. Perang komentar pun tak terkendali, bak jamur di musim penghujan.

Prabowo Subianto dan tim, misalnya, menghidangkan hoaks itu dalam pelbagai versi masing-masing. Ada yang sebut Ratna trauma akut, dianiaya oleh 2-3 orang di Bandara Bandung, dihajar dan diinjak-injak perutnya, serta menghendaki agar para pelaku segera ditangkap dan diadili secara setimpal.

“Ini menurut kami suatu tindakan yang represif, tindakan yang di luar kepatutan, tindakan (yang) jelas (merupakan) pelanggaran hak asasi manusia,” kata Prabowo.

Koordinator Juru Bicara Prabowo-Sandi Dahnil A Simanjuntak juga ikut memoles. Meski kicauan tentangnya sudah tak bisa saya temukan, besar kemungkinan sudah dihapus, tetapi kabar itu beredar luas di media massa. Dahnil mengklaim bahwa Ratna dimasukkan ke dalam mobil lalu dikeroyok oleh orang tak dikenal di Bandara Bandung pada 21 September lalu.

Secara berlawanan, banyak orang lalu menyangkal. Isu itu diyakini tidak benar alias hoaks. Bahkan seorang warganet berprofesi dokter berani bertaruh kala merespons kicauan Fadli Zon yang menilainya sebagai dokter produk “revolusi mental” lantaran mengkritik rekan sejawatnya Fahri Hamzah.

“Izinkan saja saya periksakan luka-luka beliau (Ratna). Insyaallah, semua akan jelas. Saya yang keliru atau Anda yang keliru. Easy! Cukupkan,” kata @dr_tompi.

Tak berselang lama, isu pengeroyokan itu benar-benar terbukti sebagai hoaks. Pihak kepolisian mengabarkan tidak ada pengeroyokan. Wajah lebam Ratna bukanlah karena dipukuli, melainkan efek operasi plastik.

Dokumen hasil penyelidikan yang melibatkan Polda Metro Jaya inipun kemudian beredar luas. Pihak Polda Jawa Barat juga telah memastikan bahwa tidak ada tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan terhadap Ratna Sarumpaet di wilayahnya.

“Tidak ditemukan bukti-bukti kejadian 170 jo 351 (penganiayaan secara bersama-sama) dengan korban RS (Ratna Sarumpaet) di Jabar,” terang Kombes Umar Surya Fana.

"Clear, tidak ada pengeroyokan," tambahnya.

Dengan demikian, segala perkara tentang pengeroyokan Ratna sudah bukan sebatas dugaan lagi sebagai hoaks! Bahkan Ratna, di akhir kisah, dinyatakan sebagai “Pencipta Hoaks Terbaik”. Dan gelar itu berdasar pengakuan yang bersangkutan sendiri:

“Saya meminta maaf kepada semua pihak yang selama ini mungkin dengan suara keras saya kritik dan kali ini berbalik ke saya. Kali ini saya pencipta hoaks terbaik ternyata, menghebohkan semua negeri.”

Bisikan Setan

Tentu kita patut mengapresiasi upaya Ratna tampil ke hadapan publik. Meski agak telat, karena polisi sudah lebih dulu menyatakan isu itu sebagai hoaks, tetapi beberan fakta dari Ratna semakin memperkuat kebenaran hoaks tersebut.

Ya, lantaran terbukti hoaks, Ratna mengakui sendiri bahwa hasil penyelidikan polisi terhadap kasusnya itu benar adanya. Ia lalu meminta maaf ke keluarganya, termasuk dan terkhusus ke Prabowo Subianto dan timnya. Ratna sadar, manipulasi fakta darinya telah mendorong keterlibatan rekan-rekannya itu dalam memproduksi hoaks secara massal.

Sekali lagi, kita patut mengapresiasi upaya Ratna ini. Setidaknya, beberan fakta darinya langsung mampu meredam mutlak kesimpangsiuran isu pengeroyokan dirinya itu.

Tetapi, satu hal yang mungkin patut disesali, pembelaan diri Ratna terlalu berlebihan. Ia tampak lebay dalam memberikan pernyataan hingga membuat eksistensi Ratna sendiri jadi bahan pertanyaan besar.

Dengar saja ketika Ratna mengklaim kalau tindakan berbohongnya itu berasal dari bisikan setan: “Itu hanya cerita khayalan yang diberikan oleh setan mana ke saya dan berkembang seperti itu.”

Miris? Tentu saja. Saya, secara pribadi, kenal beliau sebagai aktivis, punya nalar kritis, dan selalu berpikir logis. Tetapi, dengan pengakuan berlebihan seperti itu, membuat segala pengetahuan saya tentang beliau runtuh habis. Tak ada yang tersisa lagi kecuali ampas.

Tidak masalah memang jika Ratna mau membela diri, terlebih jujur mengakui kesalahan. Tetapi menyebut pihak lain—termasuk setan sekalipun—sebagai penyebab masalah yang dibuatnya, saya kira bukan tindakan yang tepat, apalagi dari sosok yang dikenal luas sebagai aktivis dan berdaya pikir logis. Itu terkesan melindungi kesalahan dengan kesalahan: kembali berbohong alias nge-hoaks.

Maka gelar “Pencipta Hoaks Terbaik”, saya kira, masih belum patut terlepas dari diri Ratna. Upayanya untuk meredam itu justru jadi momentum penguatnya sendiri. Dengan lain kata: hoaks melahirkan hoaks.