Jika setiap agama memiliki kitab suci, maka setiap universitas maupun sekolah harus memiliki kitab rasional. Jangan terlalu cepat naik tensi, cobalah untuk merenungkan kembali, bahwa tak ada yang salah dengan akal melainkan ada yang salah dengan sikap yang terlalu mengutamakan agama. 

Manusia tidak bisa selamanya beragama terlalu kuat dengan banyak ibadah, ada kalanya manusia harus rajin menggunakan akal pikiran untuk berfilsafat, bertanya dan mencari sehingga ia mengetahui bahwa kekuasaan mengenai Tuhan itu lebih besar dari keyakinan manusia di saat beragama. 

Tentu akan ada banyak kecaman yang datang dari ormas radikal. Tempat berkumpulnya orang-orang yang terlalu cepat memastikan diri masuk surga padahal demo demi nasi bungkus beserta amplop berisi uang warna biru dan merah. Mereka yang langsung berontak kepada kalangan liberal dengan sebutan kafir, sesat. 

Ide dan gagasan itu harus dipublikasikan, jangan dipendam, agar manusia tidak terlelap oleh keyakinan semu yang tak berlandaskan pengetahuan sains. Lantas, itu semua berujung pada spekulasi 'aku yang paling benar'. 

Spekulasi tersebut menyebabkan manusia terlalu cepat memantaskan diri masuk surga. Pemahaman yang berbahaya. Bisa-bisa orang larut pada imajinasi takhayul karena memusatkan prinsipnya kepada yang tak menemukan sebab akibatnya. 

Sementara itu, banyak orang yang tidak peduli pada surga tetapi nampak tepat sebagai penghuni surga. Jadi, semacam ada keganjilan dalam keyakinan, bagi agama dan bagi orang yang terlalu beragama.

Baca Juga: Nalar Agama

Di sini penulis ingin bertanya, lebih baik mana, dituduh kafir atau dituduh saleh? Dituduh memiliki ilmu tinggi atau dituduh imannya paling bagus? 

Ini bukan pertanyaan yang memancing keributan, melainkan pertanyaan yang memancing lahirnya inspirasi. Ada orang yang tak ingin terlihat saleh di mata orang lain karena ia ingin terlihat saleh di mata dirinya sendiri tanpa berharap pujian maupun pujaan. Coba bayangkan Anda tengah berbuat baik, beribadah yang rajin namun tujuannya karena ingin dipuji dan dikatakan alim.

Saya terinspirasi oleh Richard Dawkins bahwa memiskinkan keyakinan beragama dengan mempertajam pemikiran rasional adalah kunci menuju kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini senada dengan pesan Pancasila, bahwa manusia bisa mengatur dirinya sendiri untuk menghasilkan keadilan tanpa perlu pergi ke surga. 

Adalah pandangan yang menyesatkan bahwa toleransi hanya bisa diberikan kepada mereka yang berbeda agama, bukan kepada mereka yang tak beragama. Tumpulnya rasionalitas itu disebabkan konsumsi teologi yang begitu besar, terlalu menuhankan agama yang menyebabkan seseorang menjadi teroris. Membom dirinya sendiri demi mendapatkan bidadari di surga.

Keyakinan beragama versus rasionalitas humanisme yang tengah bergejolak telah memberi fakta bahwa tak selamanya manusia bicara mengenai iman. Mengedepankan iman tanpa mempertajam pikiran adalah suatu kegagalan membangun peradaban baru. Terlalu konservatif dan melupakan misi progresif. 

Ketajaman rasional humanisme mendorong manusia menciptakan terobosan tentang ketuhanan dalam perspektif Artificial Inteligent. Manusia tidak perlu repot dalam beragama karena ia mampu menciptakan tuhan yang ia inginkan berdasarkan revolusi kesadaran rasional. 

Yang menjadi kekhawatiran di masa depan adalah manusia telah terbiasa beradaptasi untuk menuhankan pikirannya sehingga cerdas menciptakan apa yang ia mau. Inilah yang menjadi ketakutan para pemeluk agama. Bagaimana mengatasi sesuatu yang pada prinsipnya akan terjadi tanpa pernah mengingatkan keyakinan manusia tentang kitab suci.

Bertuhan dengan Pemikiran yang mendalam.

Dalam buku Yuval Noah Harari berjudul Homo Deus, dijelaskan bahwa manusia masa kini dengan kecerdasan buatan berupa artificial inteligent, akan menjadi manusia setara dengan tuhan. Tentunya tak mudah mengamini hal tersebut, namun bukti dan tanda-tandanya sudah mulai terlihat di masa kini. 

Akan terjadi semacam paradoks bahwa Tuhan yang menciptakan manusia, dan manusia mampu menciptakan tuhan. Ketika manusia mampu menciptakan kecerdasan buatan pada robot, maka perlahan sains terus berkembang dan manusia mampu menciptakan manusia dengan akal dan logikanya. Ini menjadikan manusia mampu  menyerupai tuhan.

Semakin manusia tumbuh, semakin akalnya tercerahkan. Ia mampu membedakan dengan pandangan analisis mana dongeng, mitos, mitologi maupun tradisi yang diceritakan secara turun temurun. 

Kita terlalu mencemaskan tuhan namun di satu sisi sibuk mengejar kehidupan duniawi yang menyebabkan kita menduakan tuhan. Itu sah-sah saja selama tidak meremehkan apa yang menjadi keyakinan seseorang, karena keputusasaan itu sering menyebabkan manusia merasa agama adalah segala-galanya. 

Di sekolah, banyak pelajaran tentang beragam ilmu namun sedikit yang membahas tentang agama. Sekolah maupun perkuliahan adalah tempat di mana kebebasan berpikir itu tidak dilarang. Pelajar bebas menjadi liberal, sekurel, anarkis, marxist. Pelajar harus mengasah pikirannya setajam mungkin, bukan berlomba-lomba menjadi saleh. Guru harus mengajar muridnya menjadi ccerdas, bukan saleh. Ini adalah upaya mendorong kemajuan manusia itu sendiri.

Bertuhan dengan pikiran sendiri adalah kunci menuju kehidupan sosial dan bermoral. Pertanyaannya adalah, akankah agama bertahan? Adakah perubahan dari agama menjadi sekadar beragama? Sampai batas mana keyakinan manusia terhadap Tuhan? Apakah sama dengan seperti keyakinan dan ketakutan terhadap waktu? Melupakan agama menjadi menuhankan waktu.

Semoga tidak menimbulkan kegaduhan yang menyebabkan peperangan karena lebih baik menjadi resah dengan hidup terlalu yakin pada surga.